Lestarikan Sumbu Filosofi Yogyakarta sebagai Warisan Budaya Dunia
Penetapan sumbu imajiner Yogyakarta diputuskan oleh Komite Warisan Dunia UNESCO di Riyadh, Arab Saudi, Senin (18/9/2023). Sumbu ini melambangkan keseimbangan hubungan antara manusia, alam, dan Tuhan.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO
·3 menit baca
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Peserta tradisi mubeng beteng berjalan keluar dari kompleks Keraton Yogyakarta, Yogyakarta, Kamis (20/7/2023) dini hari. Tradisi berjalan kaki dalam keheningan mengelilingi benteng yang berada di kawasan Keraton Yogyakarta itu kembali digelar untuk menyambut Tahun Baru Islam 1445 Hijriah. Mubeng beteng menjadi sarana laku prihatin, perenungan, sekaligus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi para pesertanya.
JAKARTA, KOMPAS — Garis sumbu filosofi atau kosmologis Yogyakarta ditetapkan sebagai warisan budaya dunia oleh Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa atau UNESCO pada 18 September 2023. Warisan budaya dunia tersebut mesti dilestarikan sebagai kontribusi Indonesia untuk peradaban dunia.
Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Hilmar Farid, Senin (18/9/2023), dalam siaran pers, di Jakarta, menyampaikan pengusulan sumbu kosmologis Yogyakarta menjadi warisan budaya UNESCO sudah dimulai sejak tahun 2014. Bersama Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, mereka menetapkan nilai penting universal dari sumbu kosmologis Yogyakarta dan penanda bersejarahnya.
”Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, selain bangga, kita juga punya tugas untuk terus melestarikan warisan ini sebagai kontribusi Indonesia untuk peradaban dunia,” kata Hilmar. Warisan peradaban masyarakat Jawa yang telah berkembang sejak abad ke-18 ini menjadi warisan budaya dunia keenam di Indonesia.
Sebelum sumbu kosmologis Yogyakarta, UNESCO telah menetapkan lima warisan budaya Indonesia, yakni kompleks Candi Borobudur (1991), kompleks Candi Prambanan (1991), situs prasejarah Sangiran (1996), sistem subak sebagai manifestasi filosofi Tri Hita Karana (2012), dan tambang batubara Ombilin di Sawahlunto (2019).
Setelah ditetapkan sebagai warisan dunia oleh UNESCO, selain bangga, kita juga punya tugas untuk terus melestarikan warisan ini sebagai kontribusi Indonesia untuk peradaban dunia.
Selain kategori budaya, Komite Warisan Dunia UNESCO juga menetapkan kategori warisan alam dunia. Dalam kategori warisan alam dunia, saat ini Indonesia memiliki empat situs yang telah ditetapkan oleh UNESCO, yaitu Taman Nasional Ujung Kulon (1991), Taman Nasional Komodo (1991), Taman Nasional Lorentz (1999), dan hutan hujan tropis Sumatera (2004).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Pekerja mengecat pilar Pendopo Agung Ambarrukmo di dalam kompleks Hotel Royal Ambarrukmo, Sleman, DI Yogyakarta, Kamis (1/12/2022). Pendopo Agung Ambarrukmo dibangun tahun 1857 oleh Raja Keraton Yogyakarta Sultan Hamengku Buwono VI dan hingga kini terus dilestarikan sebagai salah satu bangunan cagar budaya.
Penetapan sumbu kosmologis Yogyakarta ini diumumkan pada pertemuan Komite Warisan Dunia UNESCO ke-45 di Riyadh, Arab Saudi, Senin (18/9/2023). Sidang penetapan ini dihadiri oleh Duta Besar LBBP RI untuk Arab Saudi Abdul Aziz Ahmad didampingi oleh Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO Ismunandar, Wakil Gubernur DI Yogyakarta Paku Alam X, dan delegasi Indonesia lainnya. Dalam pertemuan itu dibahas juga 53 nominasi yang terdiri dari kategori budaya, alam, dan campuran.
”Hasil evaluasi dari Tim Ahli UNESCO merekomendasikan nominasi Indonesia dan sidang Komite Warisan Dunia UNESCO secara aklamasi merekomendasikan sumbu kosmologis Yogya diinskripsi,” kata Duta Besar dan Wakil Delegasi Tetap Republik Indonesia untuk UNESCO Ismunandar di Riyadh, Senin.
Pertemuan Komite Warisan Dunia ke-45 ini diselenggarakan pada tanggal 11-25 September 2023. Pertemuan tahunan ini dimandatkan oleh Konvensi UNESCO Tahun 1972 tentang Perlindungan Warisan Budaya dan Alam Dunia (Convention Concerning on the Protection of World Cultural and Natural Heritage), atau disebut sebagai Konvensi Warisan Dunia UNESCO 1972.
Keselarasan
Sumbu kosmologis Yogyakarta merupakan sumbu imajiner yang terbentang sepanjang enam kilometer dari utara ke selatan Yogyakarta. Garisnya lurus ditarik dari Panggung Krapyak, Keraton Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, dan Tugu Pal Putih atau Tugu Golong-gilig.
Sumbu tersebut melambangkan keselarasan dan keseimbangan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, serta manusia dengan alam. Adapun lima anasir pembentuknya adalah api (dahana) dari Gunung Merapi, tanah (bantala) dari bumi Ngayogyakarta dan air (tirta) dari Laut Selatan, angin (maruta), dan akasa (ether).
KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO
Peserta Jogja World Heritage Walk mendengarkan penjelasan saat mengunjungi perempatan Tugu, Yogyakarta, Senin (5/9/2022). Kegiatan yang berlangsung sepekan ini mengajak masyarakat mengenal lebih dekat sumbu filosofi Yogyakarta yang, antara lain, terdiri dari Tugu Pal Putih, kawasan Malioboro, Keraton Yogyakarta, dan bangunan cagar budaya Panggung Krapyak. Hal ini merupakan bagian upaya pengajuan sumbu filosofi Yogyakarta kepada UNESCO agar diakui sebagai salah satu warisan dunia.
Hal ini termasuk mencakup tiga unsur kehidupan, yakni fisik, tenaga, dan jiwa. Sultan Hamengku Buwono yang menyandang gelar Sayidin Panatagama Kalifatullah mengubah konsep filosofi sumbu kosmologis yang hinduistis ini menjadi konsep filosofi Islam Jawa ”Hamêmayu Hayuning Bawana” dan ”Manunggaling Kawula lan Gusti”
”Hal ini merupakan wujud konsep filosofis Jawa yang kompleks tentang keberadaan manusia. Lebih dari tiga dekade, Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat telah menjadi episentrum peradaban masyarakat Jawa, menembus beragam tradisi dan praktik kebudayaan, seperti di dalam pemerintahan, hukum adat, kesenian, literatur, festival, dan upacara ritual,” kata Wakil Gubernur DI Yogyakarta Paku Alam X.