Genjring Akrobat, Perkasa di Panggung tetapi Kalah pada Kehidupan
Kesenian khas Cirebon dan Indramayu, genjring akrobat, pernah membuat pelakunya sejahtera. Kini, zaman berganti. Pelakunya susah payah menghidupi diri sendiri. Kesenian itu sangat rawan punah.
Puluhan tahun silam, seni tradisi genjring akrobat yang memadukan tabuhan genjring dan atraksi setia menghibur penonton di Cirebon dan sekitarnya. Alih-alih berakrobat di panggung, para pemainnya kini bertarung pada kerasnya kehidupan.
Karsinih sudah berusia lebih dari 60 tahun. Fisik perempuan ini mulai renta. Jangankan berlari, bangkit dari duduknya saja ia susah payah. Namun, anggota grup genjring putri Kuda Kecil pimpinan Lilis Kasiri itu masih perkasa ketika mencontohkan bagian atraksi mengangkat beban.
Seperti siang itu di rumah keluarga Lilis di Desa Bayalangu Kidul, Kecamatan Gegesik, Cirebon, Minggu (17/9/2023). Karsinih merebahkan tubuhnya dalam posisi menengadah di atas lantai beralaskan tikar. Tongkengnya, punggung sebelah bawah, bertumpu pada sebuah bantal hijau.
Sejurus kemudian, kakinya terjulur tegak lurus dan membentuk sudut sekitar 45 derajat. Telapak kakinya yang keriput lalu mengangkat kotak kayu dengan berat lebih 3 kilogram (kg). Kakinya kemudian memutar-mutar kotak itu selama semenit tanpa terjatuh. ”Kalau mau satu orang naik di kotak juga bisa,” ucap Karsinih menantang.
Baca juga : Sintren, Pesan Kehidupan dari Pantura Jawa untuk Rakyat dan Penguasa
Ia tidak sesumbar. Jejak digital di Youtube dengan kata kunci ”kuda kecil” merekam kekuatannya. Dalam salah satu video tahun lalu, misalnya, kedua kakinya mengangkat kotak balok dengan perempuan remaja. Pada video lainnya yang diunggah 2016, kedua kaki Karsinih bahkan mengangkat dua balok, tiga anak perempuan, dan dua pria dewasa. Total bebannya lebih dari 150 kg.
”Bahkan, waktu masih muda dulu, saya pernah angkat enam orang dewasa dan satu sepeda motor,” ungkapnya.
Atraksi Karisnih menjadi ”sajian utama” dalam pertunjukan genjring akrobat. Kesenian tradisi khas Cirebon dan Indramayu ini diawali dengan tari rudat yang gerakannya seperti bela diri. Tarian oleh delapan anak perempuan ini diiringi tabuhan genjring dan barzanji atau selawatan.
Puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW itu dilantunkan penyanyi perempuan dengan vokalis latar pria. Tidak hanya genjring, ada juga suara beduk, gong, melodi gitar elektrik, hingga kibor. Setelah itu, masuklah musik panturaan yang berbahasa Cirebon dan bernada serupa gamelan.
Seiring tabuhan genjring, suara pesinden, serta lagu cirebonan itu, Karsinih dan sejumlah perempuan lain berakrobat. Mulai dari naik sepeda satu roda, berjalan di atas tali, memutar kotak dengan kaki, hingga mengangkat orang plus sepeda motor. Lagi-lagi pakai kaki.
Saya lebih banyak menganggur. Mata kanan saya sudah operasi katarak. Yang kiri mau dioperasi juga. Tangan saya yang pernah kepelintir waktu akrobat sering kesemutan.
Sejak bocah
Karsinih memulai ”kariernya” di genjring akrobat sejak tahun 1966. Ia lupa berapa usianya, jelasnya masih bocah. ”Waktu itu saya enggak sekolah (dasar). Saya enggak ngerti huruf I dan S. Enggak bisa baca. Jadi, ikut genjring saja,” kenangnya.
Kala itu, ia bergabung dengan grup Sedep Malem pimpinan Asbullah di Bayalangu Kidul. Grup yang berdiri sejak 1965 itu lalu berganti nama dengan Kuda Kecil. Ia tak tahu maknanya. Namun, kala itu memang marak grup dengan nama berimbuhan ”kuda”, seperti Kuda Liar, Kuda Terbang, dan Kuda Putih.
Mulanya, Karsinih kecil menjadi penari rudat. Seiring waktu, ia mulai berlatih akrobat, seperti main tangga, kotak, hingga mengangkat beban dengan kakinya. Latihannya pun bertahap, mulai dari menyangga yang paling ringan sampai berat. Ia menampik anggapan adanya kekuatan lain.
”Enggak ada yang begitu (mistis). Cuma latihan dan telaten saja. Kalau puasa, pasti. Namanya masih muda, pengin ada yang tertarik,” ucapnya tersenyum.
Tidak hanya Karsinih, ada perempuan perkasa lain, seperti Lilis, anak H Asbullah, dan Nasiti. Mereka tidak hanya tampil dalam hajatan, acara desa, dan acara adat di Cirebon, tetapi juga di Indramayu, Majalengka, Kuningan, Jakarta, hingga Bali.
Menggunakan truk, sekitar 40 anggota grup menginap di rumah pemilik hajat. Tahun 1970–1980-an, nama Kuda Kecil melejit.
”Sebulan lebih saya enggak pulang-pulang. Mau pulang Lebaran saja enggak bisa karena banyak panggungan. Waktu itu, bayarannya dari Rp 1.000-Rp 5.000 per orang,” ungkapnya. Uang itu ia gunakan untuk makan, belanja baju, hingga beli emas. Boleh dikata, Karsinih makmur kala itu.
Grup Kuda Kecil juga makmur. Tidak hanya dari tanggapan panggung, grup ini juga mendapatkan pemasukan dari sejumlah album berisi lagu karya sendiri yang direkam di Jakarta.
Kuda Kecil bahkan tampil di sejumlah stasiun televisi yang mengundangnya. Di beberapa acara, para perempuan Kuda Kecil yang perkasa pernah mengangkat Olga Syahputra (alm) serta Ivan Gunawan dengan kaki mereka.
Baca juga : Surip, Menjaga Nyala Irama "Pat Im"
Diimpit ekonomi
Namun, itu cerita lama. Belasan tahun terakhir ini, grup Kuda Kecil telah mengalami kemunduran. Beberapa anggotanya telah meninggal. Tiga tahun yang lalu, Lilis sang pemimpin juga meninggal. Ia kemudian digantikan anak perempuannya, Suheri. Anggota lama yang masih hidup antara lain Karsinih, Narti, Nasiti, Tarwi, Dawira, Rastam, dan Karyadi, suami Lilis. Usia mereka di atas separuh abad.
Panggilan pentas juga telah menyusut dan makin hari makin langka. Terakhir kali, grup Kuda Kecil tampil tahun lalu. Saking jarangnya pentas, plang papan nama grup sudah dicopot. Peralatannya teronggok di tanah. Genjring terkunci di lemari.
Pemainnya pun berpencar mencari penghidupan. Karsinih kadang merias pengantin jika ada panggilan. Hasilnya untuk makan saja. ”Tapi, saya lebih banyak menganggur. Mata kanan saya sudah operasi katarak. Yang kiri mau dioperasi juga. Tangan saya yang pernah kepelintir waktu akrobat sering kesemutan,” ucapnya.
Kini, Karsinih yang tak punya anak dan telah ditinggal mati suami bergantung pada keponakannya. Kemenakannya menjadi pekerja rumah tangga di Taiwan.
Begitu pun dengan Rastam (51), anggota grup Kuda Kecil, yang berharap kiriman uang dari istrinya, Suheri. ”Anak pertama saya juga kerja di Taiwan,” ucap Rastam.
Menurut dia, grup Kuda Kecil seharusnya bisa mendapat royalti karena telah menghasilkan lebih dari lima album yang masing-masing berisi 10 lagu. Ia pun pernah mendapati lagunya diputar di internet. Namun, ia tak tahu cara mengurusnya.
Karyadi (70) juga tak lagi menabuh beduk untuk mengiringi genjring akrobat. Beberapa tahun ini, ia sibuk mencari bekatul di pabrik penggilingan padi. Jika beruntung, ia bisa mendapatkan uang Rp 300.000 jika bekerja dari pagi hingga malam. Namun, hasil itu hanya sesekali. Jika ada pentas, ia bisa meraup Rp 300.000 tanpa harus berpanas-panasan seharian. Tapi, keinginan itu masih sebatas angan.
”Pemerintah harusnya kembangkan genjring. (Kesenian) Ini, kan, dari masa penyebaran agama Islam di Cirebon (sekitar abad ke-14),” ujarnya.
Seperti wayang dan kesenian tradisi lainnya, kata Karyadi, genjring juga mengenalkan Islam sekaligus menghibur. Selain berisi puji-pujian kepada Nabi Muhammad SAW, empat genjring yang ditabuh juga menunjukkan tahapan dalam tasawuf, yakni syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat.
”Empat genjring ini, ditambah satu beduk, jadinya lima (alat musik). Artinya, (shalat) lima waktu ini jangan dilepas sehari semalam,” ujar Karyadi.
Seiring waktu, muncul instrumen lain serta akrobat untuk menarik penonton. Setelah 1960-an, katanya, pemain akrobat adalah perempuan.
Penampilan perempuan mengangkat beban, katanya, lebih mencuri perhatian dibandingkan pria berakrobat. Apalagi, masih banyak anggapan bahwa perempuan itu identik dengan makhluk lemah, tak berdaya. Genjring akrobat mendobrak pandangan itu.
Kini, keperkasaan Karsinih dan yang lain di atas panggung seakan kalah oleh kerasnya kehidupan. ”Sekarang, hanya Kuda Kecil yang masih eksis di Kecamatan Gegesik. Mungkin tinggal satu-satunya di Cirebon. Padahal, dulu setiap desa ada grup genjring akrobat,” ujar Karyadi.
Tidak ingin kesenian itu mati, ia pun melatih sejumlah anak perempuan berusia belasan tahun secara gratis sebagai penerusnya. Meski tidak mudah, ia terus mengajak siapa pun melestarikan genjring akrobat. ”Ini, kan, warisan leluhur. Jangan sampai punah,” katanya.
Ketua Dewan Kesenian Kabupaten Cirebon Sulama Hadi mengatakan, genjring akrobat termasuk dalam beberapa seni tradisi yang terancam punah di Cirebon. Kesenian lain adalah berokan, sintren, tarling, dan tari rudat. Penyebabnya mulai dari regenerasi hingga minimnya pentas.
”Kesenian ini perlu dukungan pemerintah. Misalnya, melibatkan kesenian yang mau punah itu dalam berbagai acara. Kalau banyak kesenian tradisi punah, dampaknya anak-anak kurang beretika kepada orangtua sampai masalah persatuan,” ungkap Sulama.
Baca juga : Merawat Kesenian Tradisional yang Nyaris Punah
Karsinih dan anggota Kuda Kecil lainnya pada masanya memang dikenal sebagai penakluk panggung. Keperkasaan para perempuan penampilnya dalam berakrobat hampir selalu berhasil membuat mulut penonton menganga. Tetapi, sekali lagi itu cerita indah di masa lalu. Kini, mereka harus menghadapi panggung kehidupan nyata yang terlalu sulit untuk ditaklukkan. Kisahnya sama dengan kisah banyak seni tradisi lainnya.