Memberikan Sentuhan Teknologi dalam ”Smart Farming”
Inovasi teknologi bidang pertanian menjadi keniscayaan. Selain untuk meningkatkan produktivitas hasil pertanian, inovasi dibutuhkan untuk menjaga ketahanan pangan di masyarakat.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F27%2Ffd62747d-6164-4ad0-8be3-04c5cf3fdb88_jpg.jpg)
Nuryanto, tenaga ahli teknis lahan pertanian Kelompok Wanita Tani (KWT) Tani Asri GWKP di Kompleks Griya Wana Karya Permai, Bubulak, Bogor, mengoperasikan pengendali jarak jauh penyiraman tanaman di lahan tersebut melalui gawainya, Minggu (27/2/2022).
Konsep smart farming atau pertanian cerdas semakin berkembang seiring makin besarnya tantangan yang dihadapi di bidang pertanian. Salah satunya, adanya pergeseran penduduk dari perdesaan ke perkotaan.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, persentase penduduk di perkotaan diperkirakan meningkat dari 55 persen pada tahun 2020 menjadi 65 persen pada 2050. Pergeseran penduduk itu berdampak pada berkurangnya sumber daya manusia yang bekerja di bidang pertanian.
Selain itu, tantangan lainnya terkait dampak perubahan iklim. Kekeringan panjang akibat perubahan iklim dapat mengganggu produktivitas hasil pertanian. Lahan pertanian juga berkurang.
Data BPS mencatat, lahan pertanian beralih fungsi jadi lahan nonpertanian sekitar 60.000 hektar per tahun. Data Kementerian Pertanian juga mencatat pengurangan lahan pertanian sawah dari 7,7 juta hektar pada 2013 menjadi 7,1 juta hektar pada tahun 2018.
Untuk itu, terobosan baru dengan inovasi teknologi di bidang pertanian dibutuhkan. Konsep pertanian cerdas atau smart farming dinilai dapat menjadi solusi atas permasalahan yang ada.
Smart farming mengombinasikan teknologi informasi dan pertanian konvensional. Konsep ini bisa meningkatkan efisiensi penggunaan sumber daya pertanian, seperti air dan pupuk dengan teknologi sensor dan pemantauan secara real-time demi meminimalkan limbah dan menghemat biaya produksi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F27%2F9e806e5a-e146-4d73-a3e4-31b34e630a44_jpg.jpg)
Seorang anggota Kelompok Wanita Tani (KWT) Tani Asri GWKP di Kompleks Griya Wana Karya Permai, Bubulak, Bogor, ketika membersihkan rumput di sekitar lahan pertanian mereka, Minggu (27/2/2022). Tempat lahan pertanian KWT tersebut menjadi proyek percontohan penerapan Smart Farming KWT di wilayah Jawa Barat.
Peneliti ahli madya Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Organisasi Riset Pertanian dan Pangan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Joko Pitono, mengutarakan, konsep smart farming memakai platform yang terkoneksi dengan perangkat teknologi seperti tablet atau telepon pintar.
Platform tersebut digunakan untuk mengumpulkan informasi penting seperti status hara tanah, kelembaban udara, serta tingkat suhu dan pH pada tanah yang diperoleh dari perangkat yang ditanamkan pada area obyek pertanian.
Terobosan baru dengan inovasi teknologi di bidang pertanian dibutuhkan. Konsep pertanian cerdas atau smart farming dinilai dapat menjadi solusi atas permasalahan yang ada.
Adapun perangkat yang dapat digunakan dalam penerapan pertanian cerdas, antara lain robot, pesawat nirawak atau drone, teknologi analisis pencitraan (image analysis), serta kecerdasan artifisial (artificial intelligence).
”Tujuan akhirnya, yakni meningkatkan produktivitas dan mutu hasil pertanian, efisiensi pada input, serta meningkatkan nilai ekonomi dari hasil pertanian,” kata Joko dalam acara HortiEs Talk yang diadakan secara daring pada Rabu (6/9/2023).
Baca Juga: Ketahanan Pangan Perlu Menerapkan Sistem Pertanian Cerdas
Joko menuturkan, smart farming dapat diaplikasikan pada berbagai proses pertanian, mulai dari pengaturan input produksi tanaman, pembenihan, perawatan pertumbuhan tanaman, pengendalian organisme pengganggu tanaman (OPT), pencahayaan, panen, hingga evaluasi hasil pertanian.
Pada proses penyiapan lahan, misalnya, traktor otomatis yang telah diprogram dapat dimanfaatkan dalam pertanian cerdas. Dengan demikian, penyiapan lahan menjadi lebih efektif dan efisien.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F27%2Fb2bde77c-884a-46cf-8466-75a69c31ea4c_jpg.jpg)
Sensor pengukuran tingkat keasaman dan kelembaban tanah di lahan pertanian Kelompok Wanita Tani (KWT) Tani Asri GWKP di Kompleks Griya Wana Karya Permai, Bubulak, Bogor, Jawa Barat, Minggu (27/2/2022). Tempat lahan pertanian KWT tersebut menjadi proyek percontohan penerapan Smart Farming KWT di Jabar.
Meski belum masif, konsep smart farming sudah berjalan di Indonesia. Saat ini, konsep tersebut paling banyak digunakan untuk intervensi iklim mikro pada pertanian dalam ruangan (indoor) lewat pengaturan suhu di ruangan serta tingkat pH tanah.
Pada beberapa kondisi, teknologi juga bisa dimanfaatkan untuk mengatur kadar karbon dioksida pada lahan pertanian dalam ruangan.
Menurut Joko, aplikasi pertanian cerdas cukup kompleks sehingga memerlukan keterlibatan dan sinergi dari bidang kepakaran. Itu mulai dari bidang elektro, fotonik, agronomi fisiologi, hama penyakit, agroklimat, tanah, dan mekatronika.
Pertanian cerdas berbasis Internet of Thing (IoT) juga memerlukan dukungan server awan (cloud server). Hal itu digunakan untuk menunjang proses monitoring parameter dalam pertanian, penyimpanan big data dan analitik, serta kontrol manajemen sistem pertanian.
Pengembangan
Joko menuturkan, sejumlah pengembangan telah dilakukan oleh BRIN dalam penerapan smart farming. Pada sistem pertanian hidroponik, pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan sistem NFT (Nutrient Film Technique) yang dibantu dengan teknologi automasi kontrol unsur hara, pH, dan EC (larutan nutrisi).
Baca Juga: Inovasi Pertanian agar Tepat Guna bagi Petani
Sementara pada sistem pertanian fertigasi, pengembangan dilakukan dengan memanfaatkan teknologi automasi kontrol untuk pemantauan pertumbuhan tanaman.

Pengembangan Smart Farming oleh BRIN
Tidak hanya itu, pengembangan lain juga dilakukan dengan memanfaatkan teknologi flexible sunlight transmitter untuk pertanian dalam ruangan.
Teknologi tersebut menggunakan teknologi serat optik yang memungkinkan adanya pengaturan cahaya di dalam ruangan sesuai dengan kebutuhan dari pertumbuhan tanaman.
Inovasi lainnya berupa teknologi tepat guna prapanen berupa controlled-microclimate chamber yang digunakan untuk induksi pembungaan. Teknologi ini memungkinkan terjadi pembungaan lebih cepat. Untuk sementara, teknologi ini dikembangkan untuk pembungaan pada tanaman bawang merah.
Peneliti ahli madya dari Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, Asep Nugraha menambahkan, teknologi pengendalian residu persida juga dikembangkan dalam penerapan smart farming.
Masalah pestisida perlu menjadi perhatian serius sebab bisa berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Penggunaan pestisida masif digunakan pada pola pertanian masa lalu, tetapi tidak tertutup kemungkinan pestisida masih digunakan pada pertanian saat ini.
Dalam penerapannya, penanganan pestisida dalam konsep pertanian cerdas dilakukan pada tiga fase, yakni pencegahan di bagian saluran masuk (inlet), pencegahan di lahan, dan pencegahan di saluran keluar (outlet). Di bagian saluran masuk dan saluran keluar memanfaatkan filter inlet outlet (FIO) dengan bahan biochar dan arang aktif.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F27%2F0295541a-43d3-4daf-bbcb-f7e7a550d0a5_jpg.jpg)
Penyiraman tanaman di lahan pertanian Kelompok Wanita Tani (KWT) Tani Asri GWKP di Kompleks Griya Wana Karya Permai, Bubulak, Bogor, dengan menerapkan pengendali jarak jauh melalui gawai, Minggu (27/2/2022). Tempat lahan pertanian KWT itu jadi proyek percontohan penerapan Smart Farming KWT di Jawa Barat.
Sementara pencegahan pestisida di lahan pertanian menggunakan urea biochar dan urea arang aktif sebagai pengganti pestisida. ”Bahan FIO, yakni biochar dan arang aktif berbasiskan pemanfaatan limbah pertanian sehingga teknologi ini juga ramah lingkungan,” kata Asep.
Persiapan
Joko mengatakan, penerapan pertanian cerdas mutlak dibutuhkan pada masa depan. Untuk itu, berbagai persiapan harus dilakukan secara tepat agar pengembangan konsep pertanian tersebut dapat optimal.
Hal utama yang perlu disiapkan, yakni penguatan infrastruktur pendukung seperti jaringan internet. Penerapan pertanian cerdas tidak bisa lepas dari penggunaan internet.
Selain itu, perlu dilakukan pula penguatan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi di bidang pertanian cerdas. Kelembagaan pendukung pun perlu diperkuat, mulai dari permodalan, produksi, hingga pemasaran hasil pertanian.
Baca Juga: Teknologi Digital Mewujudkan Pertanian Berkualitas dalam Genggaman
Peneliti ahli pertama Pusat Riset Ekonomi Makro Keuangan (PREMK), BRIN Agung Budi Santoso, menambahkan, regulasi terkait penerapan pertanian cerdas juga perlu disiapkan. Hal itu terutama terkait dampak transformasi tenaga kerja, pemasaran, serta pengembangan berbasis komunitas.
”Pengembangan smart farming ini akan memiliki risiko jika tidak ada regulasi pendukung. Itu terutama jika hasil produksi dari smart farming sudah masuk ke pasaran dan terjadi oligopoli. Kondisi itu hanya akan memberikan keuntungan pada sejumlah individu,” katanya.