Penguatan Masyarakat Pesisir Perlu Keberpihakan Kebijakan
Upaya untuk membangun masyarakat pesisir terlebih dahulu harus dilakukan dengan mengevaluasi berbagai kebijakan. Ini akan sia-sia jika tidak ada keberpihakan terhadap nelayan dalam melakukan beragam kegiatan usaha.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi ekonomi berbasis pesisir yang harus terus dioptimalkan pemanfaatannyauntuk kesejahteraan masyarakat. Namun, upaya mengoptimalkan potensi ini harus didukung dengan kebijakan yang berpihak pada masyarakat pesisir.
Menteri Kelautan dan Perikanan 2014-2019, Susi Pudjiastuti, mengemukakan, upaya untuk membangun masyarakat pesisir terlebih dahulu harus dilakukan dengan mengevaluasi berbagai kebijakan. Pembangunan ini akan sia-sia jika tidak ada keberpihakan terhadap masyarakat pesisir, khususnya nelayan, dalam melakukan beragam kegiatan usaha.
”Nelayan adalah manusia unggul. Dibandingkan petani, nelayan jauh lebih memiliki ketahanan. Jadi, salah satu kelompok masyarakat yang memiliki potensi besar untuk menjadi komponen cadangan bangsa adalah para nelayan,” ujarnya dalam seminar nasional bertajuk ”Pesisir Tangguh untuk Indonesia Maju” di Gedung Heritage Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, Jakarta, Rabu (13/9/2023).
Kita sebenarnya memiliki modalitas untuk pesisir tangguh. Caranya tidak selalu dengan melihat laut dari sisi komoditas dan teknokratik atau teknologi modern yang justru meningkatkan ketergantungan terhadap pihak luar.
Susi menekankan bahwa sebagai salah satu negara kepulauan terbesar sudah sepantasnya pembangunan Indonesia harus dijadikan sebagai poros maritim dunia. Kepala daerah hingga tingkat bupati dan wali kota yang memegang daerah pesisir atau kepulauan juga tetap perlu memegang dasar pembangunan ini meskipun arah kebijakan pemerintah pusat berbeda.
Susi tidak menampik bahwa pembangunan di tingkat kabupaten/kota khususnya untuk pengembangan kawasan pesisir kerap terkendala anggaran yang terdapat di provinsi. Di sisi lain, pemerintah provinsi juga tidak bisa fokus di satu daerah karena keterbatasan anggaran.
Oleh karena itu, Susi menilai bahwa ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Otonomi Daerah harus memuat klausul khusus yang memberikan keistimewaan kepada kabupaten/kota yang memiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Keistimewaan ini bisa berupa peningkatan anggaran karena pertimbangan geografis dan aksesibilitas yang jauh dari pusat kota atau daerah lain.
”Kita ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir. Hal pertama yang harus dilakukan yaitu melihat aturan atau ketentuan yang mendukung keberpihakan hitam di atas putih. Nomenklatur anggaran bisa diubah terutama dalam UU Otonomi Daerah,” tuturnya.
Selain itu, bupati juga perlu diberikan kedaulatan untuk mengurus wilayah perairannya dalam batas tertentu sehingga tidak ada konflik horizontal. Sebab, selama ini banyak kasus konflik antara masyarakat di pesisir atau pulau-pulau kecil dan pihak lain khususnya dalam memanfaatkan potensi sumber daya ikan di area tersebut.
Salah satu kebijakan yang dapat menjaga laut tetap lestari dan produktif yaitu Peraturan Presiden Nomor 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka. Salah satu aturan dalam Perpres tersebut yakni tidak mengizinkan pihak asing untuk melakukan aktivitas penangkapan ikan di kawasan perairan nasional.
”Saya dengar perpres ini sudah tidak dijaga kembali. Padahal, perpres ini dibuat untuk memastikan industri penangkapan ikan tidak boleh ada modal, perusahaan, kapal, dan orang asing. Sebab, orang Indonesia sudah jago menangkap ikan,” kata Susi.
Marjinalisasi nelayan
Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Ahmad Najib Burhani mengatakan, komunitas pesisir khususnya nelayan kerap dikaitkan dengan kemiskinan, keterbelakangan tingkat pendidikan, dan kekumuhan. Padahal, sebenarnya komunitas pesisir merupakan pilar urama dari potensi laut Indonesia.
”Hanya karena nelayan kita bisa menikmati ikan-ikan yang hidup di laut. Daya tangkap nelayan di Indonesia cukup besar. Pada tahun 2019, tercatat produksi ikan dari nelayan sebesar 8,2 juta ton dan 96 persen aramada tangkap adalah kapal kecil,” ujarnya.
Menurut Ahmad, marjinalisasi terhadap komunitas pesisir dan nelayan di Indonesia terjadi karena adanya perampasan lahan. Bentuk perampasan lahan ini salah satunya terkait reklamasi pantai di berbagai wilayah dengan total luasan mencapai lebih dari 79.000 hektar hingga berdampak terhadap 747.000 ekosistem air menjadi daratan.
Selain itu, kegiatan lain yang juga mengancam komunitas pesisir yakni pengembangan perkebunan kelapa sawit dan konversi laut. Kegiatan konversi laut ini kerap membatasi manusia dari aksesnya terhadap konservasi dan cenderung keputusannya dilakukan dari pusat ke akar rumput (top-down).
”Kita sebenarnya memiliki modalitas untuk pesisir tangguh. Caranya tidak selalu dengan melihat laut dari sisi komoditas dan teknokratik atau teknologi modern yang justru meningkatkan ketergantungan terhadap pihak luar. Padahal, masih banyak titik konektivitas yang tergantung nelayan tradisional dengan pendekatan budaya,” ujarnya.