Varietas Sagu Unggul Spesifik Lokasi
Potensi sagu sebagai ketahanan pangan dapat terancam karena rendahnya produktivitas. Pemanfaatan varietas unggul dengan budidaya presisi diharapkan bisa meningkatkan produktivitas sagu di sejumlah daerah.
Luas lahan tanaman sagu di Indonesia diperkirakan mencapai 5,5 juta hektar yang tersebar di beberapa wilayah, seperti Papua, Maluku, Sumatera, Sulawesi, Kepulauan Riau, dan Kepulauan Mentawai. Total areal tersebut merupakan 80 persen dari distribusi tanaman sagu di dunia.
Sebanyak 95 persen atau 5,2 juta hektar mayoritas lahan sagu di Indonesia tersebar di wilayah Papua, Papua Barat, Papua Selatan, dan Papua Tengah. Sementara sisanya, yakni 5 persen tersebar di daerah Maluku, Sulawesi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Barat, Jambi, Bangka Belitung, Riau khususnya Indragiri Hilir, dan Sumatera Barat khususnya Mentawai.
Indonesia juga terkenal sebagai wilayah yang memiliki keanekaragaman jenis sagu. Tercatat lebih dari 65 jenis sagu terdapat di Papua, 14 jenis di Papua Barat, 5 jenis di Maluku, 2 jenis di Sulawesi Utara, 3 jenis di Sulawesi Tenggara, 2 jenis di Sulawesi Selatan, dan 3 jenis di Riau.
Meskipun lahan dan jenis sagu di Indonesia sangat melimpah, tetapi pemanfaatannya masih sangat terbatas. Panen batang sagu masih kesulitan dan mahal karena infrastruktur terbatas. Hal ini menyebabkan produktivitas sagu masih rendah dan beragam sekitar 2,5-10 ton per hektar. Padahal, potensi sagu bila dikelola dengan baik bisa mencapai 20-40 ton per hektar.
Empat nama varietas unggul tersebut, yakni sagu molat, selat panjang meranti, bestari, dan tana luwu.
Selain itu, pemanfaatan hasil pati sagu. khususnya di Papua juga belum terintegrasi secara langsung dan belum melibatkan masyarakat adat secara aktif. Sementara areal tanaman sagu di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera makin menyusut yang disebabkan alih fungsi lahan untuk perumahan, jalan, maupun diganti dengan komoditas lainnya.
Profesor Riset Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Novarianto Hengky mengemukakan, upaya pengembangan sagu untuk industri harus dilandasi dengan antropologi sosial dan budaya di setiap daerah di Indonesia. Sebab, setiap daerah khususnya Papua memiliki karakteristik khusus, termasuk dari sisi masyarakatnya.
”Potensi sagu sangat besar, tetapi ketersediaannya di pasar masih sangat terbatas. Ada tantangan khusus juga kenapa sagu ini tidak dibangun di Papua atau Maluku. Hal terpenting, yaitu kita harus fokus ke industri sagu agar bisa dimanfaatkan untuk menjaga ketahanan pangan,” ujarnya dalam diskusi daring Horties Talk, akhir Agustus lalu.
Menurut Novarianto, peningkatan produktivitas sagu harus memanfaatkan varietas unggul dengan produksi pati tinggi karena jenisnya yang beragam. Kemudian perlu juga seleksi benih, pembibitan, dan penanaman bibit unggul. Di sisi lain, budidaya sagu harus dilakukan secara semi-intensif dan diintegrasikan dengan ternak, ikan, atau komoditas lain.
Baca Juga: Sagu sebagai Sumber Pangan dan Energi Masa Depan
Sebagai upaya pengembangan sagu, peneliti Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN juga telah melakukan riset dan inovasi varietas unggul. Salah satu hasil riset terkait plasma nutfah sagu telah diidentifikasi dan dikarakterisasi terdapat puluhan aksesi sagu yang tumbuh dan menyebar di Papua serta Papua Barat dengan berbagai keragaman nama lokal.
Peneliti juga melakukan riset terkait jumlah aksesi sagu, karakteristik morfologi, dan asam deoksiribosanukleat (DNA). Hasilnya, tanaman sagu Indonesia banyak yang berasal dari Papua dan kemudian menyebar ke wilayah lain seperti Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Riau.
”Produktivitas sagu baik yang berduri maupun tidak berduri bisa sampai 1 ton pati per pohon, tetapi ada juga yang 20 kilogram per pohon. Oleh karena itu, kegiatan pemuliaan mulai dari seleksi dan kegiatan lainnya untuk meningkatkan produksi sagu masih sangat berpeluang besar,” tutur Novarianto.
Varietas sagu unggul
Sejak tahun 2010 hingga 2022, Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan BRIN, yang dulu merupakan periset Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan), telah melepas empat varietas sagu unggul yang merupakan hasil observasi di Maluku, Riau (Kepulauan Meranti dan Indragiri Hilir), Sulawesi Selatan (Luwu Utara). Empat nama varietas unggul tersebut, yakni sagu molat, selat panjang meranti, bestari, dan tana luwu.
Varietas sagu molat dari Maluku pertama kali dilepas pada 2010, kemudian selat panjang, meranti dari Kepulauan Meranti tahun 2013 dan bestari dari Indragiri Hilir tahun 2017. Sementara tana luwu merupakan varietas unggul sagu terbaru dari Sulsel yang dilepas pada 2022.
”Varietas yang sudah dilepas ini bibitnya bisa disebarkan di seluruh provinsi. Akan tetapi, varietas tunik di Maluku yang belum dilepas tetapi sudah disertifikasi sebagai sumber bibit itu hanya boleh beredar di provinsi yang sama dan tidak boleh dikirim ke daerah lain sebagai peraturan dari Kementerian Pertanian,” kata Novarianto.
Keempat jenis varietas unggul tersebut memiliki morfologi dan produktivitas yang berbeda-beda. Namun, secara umum morfologi dan produktivitas varietas terbaru sagu tana luwu lebih unggul dibandingkan ketiga jenis varietas lainnya.
Dari aspek morfologi, sagu tana luwu memiliki panjang batang 14 meter dan lingkar batang bawah 162 sentimeter (cm). Sementara panjang batang varietas molat, yakni 10 meter, selat panjang meranti 9 meter, dan bestari 8 meter. Kemudian untuk lingkar batang bawah varietas molat hanya 150 cm, selat panjang meranti 140 cm dan bestari 148 cm.
Tana luwu juga memiliki produktivitas yang lebih tinggi dari varietas lain dengan produksi pati basah mencapai 1.110 kilogram (kg) dan pati kering 598 kg. Sementara produksi pati basah varietas molat sebesar 640 kg, selat panjang meranti 369 kg, dan bestari 495 kg. Adapun produksi pati kering molat 544 kg, selat panjang meranti 226 kg, dan bestari 255 kg.
Dipengaruhi lingkungan
Produktivitas pati sagu tana luwu yang tinggi ini diperoleh dari hasil data sampling empelur melalui pengolahan mesin keseluruhan batang sagu yang dilakukan oleh tim pada 2021 dari tiga desa di Luwu Utara, yakni Pengkajoang, Tokke, dan Takkalala.
Menurut Novarianto, produktivitas tinggi ini terjadi karena pohon sagu yang terdapat di Luwu Utara memiliki batang yang lebih tinggi dibandingkan pohon di tempat lain, seperti Riau. Ia menduga lingkungan tumbuh dari pohon sagu ini berbeda dengan wilayah lain.
Baca Juga: Pangan Lokal Berperan Penting dalam Mencapai Ketahanan Pangan
”Wilayah tumbuh di Luwu Utara ini hampir mirip seperti di Maluku, yakni berair dan berawa di tanah mineral. Sementara sagu di Riau, baik di Indragiri Hilir maupun Kepulauan Meranti, tumbuh di lahan gambut pasang surut. Jadi, hal ini sangat spesifik berbeda dan pengaruhnya terhadap produktivitas sagu sangat jelas,” ujarnya.
Kepala Organisasi Riset Pertanian dan Pangan BRIN Puji Lestari mengatakan, sagu merupakan tanaman penghasil karbohidrat dan menjadi makanan pokok beberapa wilayah di Indonesia. Namun, potensi sagu sebagai ketahanan pangan dapat terancam karena rendahnya produktivitas yang disebabkan belum adanya sentuhan budidaya yang efektif dan tata pengaturan air yang baik.
”Potensi sagu saat ini masih fokus dikembangkan di beberapa daerah tertentu. Akan tetapi, penggalian potensi sagu perlu dilakukan dengan baik. Pemanfaatan varietas unggul dengan budidaya presisi diharapkan bisa meningkatkan produktivitas sagu,” katanya.