Atasi Penyakit Pernapasan, Fasilitas Layanan Kesehatan Diperkuat
Kasus penyakit yang terkait dampak polusi udara seperti ISPA dan pneumonia dilaporkan meningkat di DKI Jakarta. Kapasitas fasilitas kesehatan pun ditingkatkan untuk menangani penyakit tersebut.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kasus penyakit yang terkait polusi udara, seperti infeksi saluran pernapasan atas dan pneumonia, dilaporkan meningkat seiring dengan memburuknya kualitas udara. Untuk itu, fasilitas pelayanan kesehatan pun kian diperkuat untuk menangani penyakit yang disebabkan oleh polusi udara, khususnya fasilitas kesehatan di wilayah Jabodetabek.
Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, peningkatan kasus infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) mulai meningkat signifikan pada akhir 2022. Pada Juli 2022, jumlah kasus ISPA yang dilaporkan di DKI Jakarta sebesar 206.311 kasus. Jumlah itu mengalami peningkatan pada Oktober tahun yang sama, yaitu sebesar 393.289 kasus. Kasus ISPA yang dilaporkan pada 2023 pun cenderung masih tinggi, yakni sebesar 296.416 kasus pada Januari, 277.455 kasus pada Mei, dan 285.623 kasus pada Juli.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi dihubungi di Jakarta, Jumat (1/9/2023) mengatakan, peningkatan kasus pneumonia juga terjadi pada beberapa bulan terakhir.
ISPA dan pneumonia merupakan jenis penyakit yang berkaitan dengan paparan polusi udara. “Dari data menunjukkan bahwa peningkatan kasus pneumonia diikuti dengan peningkatan kadar partikel PM 2.5,” tuturnya.
Hasil analisis yang dilakukan terkait kasus pneumonia di DKI Jakarta, setiap peningkatan 1 indeks kualitas udara PM 2.5 berpotensi menaikkan 0,27 kasus pneumonia. Selain itu, faktor lain yang turut memengaruhi peningkatan kasus yakni pada kondisi kelembaban udara serta kecepatan angin.
Imran menuturkan, kasus pneumonia yang dilaporkan di DKI Jakarta pada periode 2023 paling banyak menyasar usia 9-60 tahun. Sementara pada usia anak dan balita menjadi kelompok usia dengan kasus terbanyak kedua dan ketiga dari seluruh kejadian pneumonia di DKI Jakarta.
Setiap peningkatan 1 indeks kualitas udara PM 2.5 berpotensi menaikkan 0,27 kasus pneumonia
Edukasi pun terus dilakukan oleh Kementerian Kesehatan untuk memastikan masyarakat bisa terlindungi dari dampak buruk paparan polusi udara. Penggunaan masker sebaiknya digunakan apabila masyarakat terpaksa untuk beraktivitas di luar ruangan ketika kualitas udara sedang buruk.
Masyarakat pun disarankan untuk menggunakan masker yang dapat mengurangi paparan polusi udara PM 2.5, yakni masker KF 94, KN95, atau masker kain yang ditambah dengan filter PM 2.5. “Jika muncul gejala terkait penyakit pernapasan diharapkan untuk segera berobat ke fasilitas kesehatan terdekat,” kata Imran.
Fasilitas kesehatan
Sebelumnya, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin dalam Rapat Kerja dengan Komisi IX DPR RI, Rabu (30/8/2023) menyampaikan, penguatan pada fasilitas pelayanan kesehatan telah dilakukan untuk menangani penyakit pernapasan, terutama penyakit yang bisa disebabkan oleh polusi udara seperti ISPA dan pneumonia. Setidaknya ada 740 fasilitas pelayanan kesehatan yang disiapkan, meliputi 674 puskesmas, 66 rumah sakit, dan satu rumah sakit pusat respirasi nasional. Seluruh fasilitas kesehatan tersebut berada di wilayah Jabodetabek.
“Kita juga sudah minta organisasi profesi dan kolegium dokter spesialis paru untuk mendidik dokter di puskesmas agar paham tentang penyakit paru. Kita juga pastikan alat-alat yang dibutuhkan tersedia,” tuturnya.
Adapun peningkatan kapasitas pelayanan di puskesmas untuk penanganan penyakit pernapasan, antara lain dengan memberikan alat penunjang berupa aspirator dan saturasi oksigen. Diharapkan, puskesmas sudah bisa menangani penyakit ISPA, pneumonia ringan, dan asma ringan.
Sementara di rumah sakit, alat penunjang untuk diagnostik yang disiapkan berupa alat rontgen untuk mendeteksi pneumonia. Rumah sakit dapat memberikan tatalaksana untuk kondisi pneumonia berat, asma berat, dan penyakit paru obstruktif kronik.
Selain itu, Budi mengungkapkan, setiap fasilitas pelayanan kesehatan di Jabodetabek rencananya akan dilengkapi dengan alat monitoring kualitas udara sebagai bagian dari sanitary kit. Alat ini digunakan untuk memantau kualitas udara sesuai dengan standar kualitas udara terkini dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
“Untuk sementara karena standar yang kita (Indonesia) gunakan belum sesuai dengan standar WHO, data ini akan kita gunakan sebagai data internal. Data ini untuk mempersiapkan dari sisi hilir,” katanya.
Standar WHO
Budi menyampaikan, Kementerian Kesehatan telah mengusulkan agar standar kualitas udara yang digunakan di Indonesia bisa disesuaikan dengan standar kualitas yang ditetapkan oleh WHO. Namun, berdasarkan keputusan bersama dari pemerintah, standar kualitas udara yang digunakan masih akan mengacu pada standar sebelumnya.
Kebijakan baru WHO mengatur ambang batas aman konsentrasi PM 2.5 dalam setahun menjadi 5 mikrogram/m3, sementara selama 24 jam tidak melebihi 15 mikrogram/m3. Jumlah itu jauh lebih kecil dibandingkan dengan standar yang ditetapkan oleh Indonesia, yakni dengan nilai baku mutu untuk konsentrasi PM2.5 selama setahun sebesar 15 mikrogram/m3 dan selama 24 jam sebesar 55 mikrogram/m3.
Secara terpisah, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi yang juga Ketua Majelis Kehormatan Perhimpunan Dokter Perhimpunan Paru Indonesia (PDPI) Tjandra Yoga Aditama berpendapat, standar yang ditetapkan WHO merupakan rekomendasi sehingga setiap negara tidak harus mengikutinya. Kebijakan kesehatan yang ditetapkan oleh negara harus disesuaikan dengan kondisi masing-masing.
“Namun, bagaimana pun juga, jelas, sekarang kita dalam situasi polusi udara yang sangat serius dengan standar apapun yang digunakan. Jadi, jauh lebih penting untuk melakukan upaya terobosan agar polusi bisa segera terkendali. Dampak jangka pendek yang sudah terlanjur ini jangan sampai menjadi dampak jangka panjang yang mengkhawatirkan,” tutunya.