Pemerintah Didesak Buka Data Pemantauan Polusi Udara
Publik punya hak untuk mengetahui jenis polutan yang dihirupnya setiap hari akibat polusi industri. Transparansi data bisa membantu pemerintah mengendalikan polusi udara.
Oleh
Stephanus Aranditio
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah upaya jangka pendek, mulai dari hujan buatan, penyemprotan air dari mobil dan gedung tinggi, hingga bekerja dari rumah belum menyelesaikan masalah polusi udara di Jakarta dan sekitarnyya. Pemerintah didesak untuk transparan membuka data-data hasil pemantauan pencemaran dari sumber tak bergerak dari industri padat polusi, seperti pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU, ke publik.
Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 15 Tahun 2019 tentang Baku Mutu Emisi Pembangkit Listrik Tenaga Termal, telah ada standar baku mutu emisi untuk PLTU batubara dan juga mewajibkan PLTU untuk melakukan pemantauan emisi secara terus-menerus. Informasi ini dapat memberikan dasar mitigasi polusi udara secara lebih sistemik.
Selain itu, informasi ini juga dapat menjadi landasan penegakan kepatuhan bagi setiap PLTU terhadap standar aturan yang berlaku. Sanksi dan denda juga sudah diatur dengan jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Namun, sejauh ini informasi polusi dan hasil monitoring PLTU tidak terbuka untuk diakses publik.
Perusahaan yang beraktivitas menimbulkan polusi seharusnya secara etika, tanpa menunggu aturan, sudah memberi tahu dampak aktivitas produksinya terhadap kesehatan masyarakat.
Margaretha Quina dari Bersihkan Indonesia mengatakan, transparansi data adalah salah satu hak atas informasi bagi publik untuk mengetahui kandungan polutan apa saja yang masyarakat hirup setiap hari. Dari data tersebut, publik juga bisa mengetahui seberapa besar aktivitas mereka berpengaruh terhadap polusi udara, termasuk aktivitas lain, seperti industri dan PLTU.
”Transparansi data ini penting untuk mengetahui bagaimana polusi ini berdampak terhadap kesehatan kita dan juga apa saja kesempatan kita berpartisipasi dalam keputusan yang sebetulnya berdampak pada kualitas udara yang kita hirup,” kata Margaretha dalam diskusi yang digelar Institute for Essential Services Reform (IESR), Kamis (31/8/2023).
Peneliti Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Katherine Hasan, menjelaskan, perusahaan yang beraktivitas menimbulkan polusi seharusnya secara etika, tanpa menunggu aturan, sudah memberi tahu dampak aktivitas produksinya pada kesehatan masyarakat. Perusahaan juga harus meminimalkan polusi yang dikeluarkan.
”Polusi ini bergerak, jadi lintas batas, emisi dari tempat lain berpengaruh, dari semua sektor pun berpengaruh. Jadi, bagi peneliti, semakin lengkap data dari semua sektor semakin baik kita bisa memitigasi isu terkait kualitas udara ini. Mencapai solusi itu harus ada rencana yang komprehensif,” kata Katherine.
Berdasarkan kajian IESR dan CREA berjudul”Health Benefits of Just Energy Transition and Coal Phase-out in Indonesia”, PLTU batubara bertanggung jawab terhadap 10.500 kematian di Indonesia pada 2022. Jumlah ini diprediksi akan bertambah sampai sekitar 180.000 kematian apabila PLTU batubara tak segera pensiun tahun 2040.
Tidak hanya itu, pengakhiran operasional PLTU batubara yang terlambat juga akan menaikkan beban biaya kesehatan masyarakat hingga 100 miliar dollar AS atau Rp 1.500 triliun dalam beberapa dekade ke depan. Informasi yang terbuka bisa mengklarifikasi kajian mengenai dampak PLTU ini.
Manajer Program Transformasi Energi, IESR, Deon Arinaldo, menambahkan, semua upaya jangka pendek yang dilakukan tidak akan efektif selama sumber polusi tidak diatasi.
”Ini yang harus diatasi langsung. PLTU itu sudah ada programnya, kalau kendaraan pribadi ini cukup sulit karena melibatkan sangat banyak orang, prosesnya akan lebih panjang lagi,” ucap Deon.
Dalam pembahasan saat rapat terbatas di Kantor Presiden, Jakarta, Senin (28/8/2023), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyatakan, sebanyak 11 industri yang menjadi sumber polusi dijatuhi sanksi administratif. Industri yang dikenai sanksi tersebut bergerak di industri stockpile batubara, peleburan logam, pabrik kertas, dan arang.
Selain itu, timnya juga mengidentifikasi sebanyak 351 industri yang menjadi sumber pencemaran, termasuk pembangkit listrik tenaga uap dan tenaga diesel. Langkah penegakan hukum terus dilakukan hingga empat-lima pekan ke depan.