Integrasi Konservasi Hutan dengan PLTU Perlu Kehati-hatian
Semua pihak perlu menjaga kelestarian hutan di samping mengembangkan proyek PLTU. Oleh karena itu, integrasi konservasi hutan dalam PLTU untuk energi terbarukan perlu perencanaan matang.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
KOMPAS/WAWAN H PRABOWO (WAK)
Potret dari udara padang savana yang menyelimuti perbukitan di kawasan Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, Senin (1/2/2021). Alam Sumba yang khas membuatnya berpotensi untuk dibangun taman energi terbarukan yang meliputi pembangkit listrik tenaga mikrohidro, pembangkit listrik tenaga bayu, pembangkit listrik tenaga surya, dan pembangkit listrik tenaga biomassa.
JAKARTA, KOMPAS — Pengembangan pembangkit listrik tenaga uap atau PLTU dengan bahan bakar utama biomassa kini terus digencarkan sebagai pengganti energi fosil khususnya batubara. Pengembangan ini diyakini dapat mengintegrasikan konservasi hutan. Namun, integrasi konservasi hutan dalam PLTU untuk energi terbarukan ini harus memperhatikan aspek kehati-hatian dan memerlukan perencanaan yang matang.
Guru Besar Ilmu Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) Rahmawaty mengemukakan, energi terbarukan merupakan solusi yang menjanjikan untuk memenuhi kebutuhan energi dunia. Transisi menuju penggunaan energi terbarukan ini perlu dilakukan di tengah keprihatinan terhadap degradasi lingkungan dan keterbatasan sumber daya alam.
Salah satu bentuk energi terbarukan adalah penggunaan PLTU dengan menggunakan biomassa sebagai bahan bakar utama. Biomassa dihasilkan dari proses fotosintesis yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar padat.Saat ini, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) masih terus menyempurnakan rancangan peraturan yang akan mengatur pemanfaatan biomassa untukco-firingpada PLTU.
Integrasi konservasi hutan dalam PLTU untuk energi terbarukan merupakan langkah yang memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang hati-hati.
”Kita perlu menjaga kelestarian hutan di samping mengembangkan proyek PLTU,” ujar Rahmawaty dalam seminar transisi energi menghadapi perubahan iklim yang diikuti secara daring, Rabu (30/8/2023).
Menurut Rahmawaty, pendekatan yang menggabungkan konservasi hutan dengan operasional PLTU merupakan tantangan multidimensi. Oleh karena itu, penerapannya memerlukan pemahaman mendalam tidak hanya mengenai dampak lingkungan, tetapi juga mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan teknologi dalam mendukung transisi energi.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Pelet biomassa yang siap digunakan.
Selain itu, upaya konservasi hutan yang esensial dengan operasional PLTU juga harus diintegrasikan guna mencapai kesinambungan ekologi dan ekonomis. Sebab, hutan merupakan ekosistem yang kaya akan keragaman hayati dan pemangku kepentingan yang kompleks serta memiliki peran krusial dalam menjaga keseimbangan ekosistem global.
Bila tidak dilakukan dengan perencanaan matang, kata Rahmawaty, mengintegrasikan konservasi hutan dengan PLTU akan memicu beberapa permasalahan. Masalah tersebut, antara lain, konflik penggunaan lahan, keragaman hayati, emisi karbon, dampak sosial-ekonomi, ketersediaan sumber daya biomassa, tantangan teknis dan teknologi, dan pengawasan.
”Jadi, pengembangan PLTU biomassa memerlukan lahan untuk menanam jenis pohon yang memiliki potensi sebagai sumber bahan bakar. Di sini, kita memerlukan evaluasi lahan yang cocok untuk ditanam sehingga sesuai dengan lokasi tempat tumbuhnya,” katanya.
Kemudian aspek kesinambungan dan pengawasan turut disorot guna memastikan integrasi konservasi hutan dalam PLTU dilakukan dengan benar. Di sisi lain, dibutuhkan juga regulasi yang kuat dan pengawasan ketat untuk memastikan tidak terjadinya kerusakan lingkungan.
KOMPAS/PRIYOMBODO (PRI)
Pencampuran sampah biomassa cangkang kemiri dan batubara di PLTU Ropa.
Rahmawaty menekankan, integrasi konservasi hutan dengan PLTU merupakan pendekatan yang kompleks, tetapi dapat dilakukan untuk mencapai keseimbangan antara kebutuhan energi dan perlindungan lingkungan. Namun, integrasi ini terlebih dahulu harus dilakukan dengan analisis mendalam dan menyeluruh tentang potensi dampak lingkungan dan sosial.
”Ke depan juga harus ada rencana restorasi hutan, teknologi dan inovasi, serta partisipasi masyarakat. Ini dilakukan dengan pendekatan yang adaptif, pemantauan dan pelaporan, serta mengedukasi atau meningkatkan kesadaran lingkungan,” tuturnya.
Komponen transisi energi
CEO Environment Institute yang juga pengajar ilmu lingkungan Universitas Indonesia (UI), Mahawan Karuniasa, menyatakan, upaya transisi energi perlu dipercepat untuk mengatasi perubahan iklim. Komponen utama dalam transisi menuju energi bersih di Indonesia terkait dengan teknologi dan pengembangan pembangkit listrik tenaga air (PLTA).
”Data menunjukkan faktor emisi bisa turun menjadi 3 persen saja hanya karena teknologi dan PLTA. Intinya, menjalankan energi bersih akan menurunkan emisi secara drastis,” ungkapnya.
Koordinator Penyiapan Program Konservasi Energi Kementerian ESDM Qatro Romandhi mengatakan, saat ini semua pihak didorong untuk lebih mengedepankan kegiatan efisiensi energi agar tersebar sampai berbagai wilayah. Pelaksanaan konservasi energi ini akan didukung pemerintah daerah dan akademisi.
”Akademisi dan organisasi lingkungan diharapkan bisa bersama-sama menyusun standar tentang peta jalan perdagangan karbon di sektor energi yang dimulai pada 2024,” ucapnya.
Kementerian ESDM mencatat, dalam lima tahun terakhir penambahan kapasitas pembangkit energi baru terbarukan hingga Desember 2022 telah mencapai 2.734 megawatt. Kapasitas pembangkit tersebut naik rata-rata sekitar 5 persen per tahun. Adapun sumber pembangkit tersebut berasal dari energi bayu, surya, bioenergi, panas bumi, air, dan gas batubara.