Perguruan tinggi dituntut dinamis dan inovatif. Kini, ruang gerak yang lebih merdeka diberikan lewat standar nasional pendidikan dan akreditasi yang tidak kaku dan rinci.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
FAJAR RAMADHAN
Universitas Terbuka melaksanakan upacara wisuda periode II untuk wilayah 3 dengan tema “Pendidikan Karakter di Era Revolusi Industri 4.0” di Universitas Terbuka Convention Center, Tangerang Selatan, Selasa (2/7/2019). Kompetensi lulusan PT kini diatur dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi yang lebih fleksibel sesuai dengan visi misi setiap PT.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memberikan kepercayaan pada perguruan tinggi untuk merancang penyelenggaraan tridarma, yakni pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat yang fleksibel serta berfokus pada pengembangan mutu mahasiswa, dosen, dan perguruan tinggi. Hal ini penting guna meningkatkan kualitas lulusan serta mendukung peningkatan sumber daya manusia Indonesia.
Kemerdekaan perguruan tinggi tersebut didukung dengan penyederhanaan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SN Dikti) serta memberikan ruang gerak yang luas bagi perguruan tinggi untuk mengembangkan SN Dikti sesuai dengan visi misi setiap perguruan tinggi. Hal ini juga didukung dengan penyesuaian akreditasi perguruan tinggi mengikuti standar nasional yang baru serta pembiayaan pemerintah untuk akreditasi wajib institusi dan program studi sebagai pemenuhan standar minimal SN Dikti.
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam acara peluncuran ”Merdeka Belajar Episode 26: Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi”, di Jakarta, Selasa (29/8/2023), mengatakan, selama ini pemerintah belum percaya sepenuhnya pada perguruan tinggi.
Oleh karena itu, SN Dikti dibuat dengan perspektif atau semacam petunjuk teknis dan pelaksanaan. Padahal, SN Dikti sebagai standar seharusnya merupakan kerangka atau prinsip dasar sehingga memberikan keleluasaan bagi perguruan tinggi untuk beradaptasi dengan perkembangan sesuai dengan kebutuhan mahasiswa, dosen, dan perguruan tinggi.
”Saking tidak percayanya, pemerintah merumuskan standar dengan detail. Memang ada intensi baik untuk meningkatkan kualitas, tapi dampaknya buruk, yakni ketidakpercayaan pada perguruan tinggi. Hal ini yang hendak kami ubah. Kami mulai memercayakan setiap perguruan tinggi dapat menentukan arah dan inovasinya,” kata Nadiem.
Transformasi pendidikan tinggi dilakukan melalui Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang diselenggarakan sejak 2020. Setelah itu, ada penyederhanaan SN Dikti dari delapan menjadi tiga standar, yakni masukan, proses, dan lulusan.
Penyederhanaan standar ini juga berdampak pada sistem akreditasi perguruan tinggi yang tidak lagi sarat beban administratif. Hal ini diatur dalam Permendikbudristek Nomor 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi.
”Jujur, dampak paling negatif dari penyusuan SN Dikti model lama, beban ke akreditasi jadi rumit, kompleks, dan menyita waktu. Penyederhanaan ini memberikan ruang lebih luas bagi perguruan tinggi (PT) untuk menyesuaikan diri dengan perubahan dan kemajuan. Apalagi PT ini memiliki potensi dampak tercepat dalam pembangunan SDM unggul karena langsung terasa hasilnya pada masyarakat dan ekonomi Indonesia,” kata Nadiem.
Tidak wajib skripsi
Nadiem menyebutkan sejumlah kabar gembira bagi mahasiswa, dosen, pimpinan perguruan tinggi, dan dunia industri dengan terbitnya SN Dikti baru. Misalnya, untuk standar kelulusan mahasiswa sarjana/sarjana terapan tidak wajib membuat skripsi. Mahasiswa S-2/magister tidak wajib membuat tesis dan publikasi di jurnal ilmiah serta S-3 tidak wajib disertasi dan publikasi di jurnal bereputasi internasional.
”Jika perguruan tinggi masih memilih skripsi atau publikasi ilmiah, tetap boleh. Hal ini juga baik. Sebaliknya, yang memilih tugas akhir mahasiswa dalam bentuk lain juga boleh,” kata Nadiem.
DOKUMENTASI KEMENDIKBUDRISTEK
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim dalam acara peluncuran Merdeka Belajar Episode 26 : Transformasi Standar Nasional dan Akreditasi Pendidikan Tinggi, di Jakarta, Selasa (29/8/2023). Perguruan tinggi diberi ruang untuk merdeka mengembangkan standar PT dengan tetap mengacu pada kerangka di SN Dikti agar fleksibel dan adaptif terhadap perubahan dan perkembangan zaman.
Selain itu, penilaian capaian kompetensi mahasiswa pada pendidikan vokasi tidak bisa dibatasi skripsi atau penulisan karya ilmiah. Ada uji kompetensi dengan bukti sertifikasi kompetensi yang dilakukan industri untuk menujukkan kompetensi mahasiswa.
”Bukan Kemendikbudristek lagi yang menentukan bentuk tugas akhir, tapi kepala program pendidikan yang bisa menenentukan standar capaian kelulusan. Perguruan tinggi yang kompeten untuk menilai sikap, keterampilan, dan pengetahuan mahasiswa yang terintegrasi dalam bentuk proyek atau prototipe. Jadi, tidak hanya skripsi, tesis, atau disertasi. Keputusannya ada di PT dan sistem akreditasi menyesuaikan,” kata Nadiem.
Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, sejak 2019, kampusnya tidak mewajibkan mahasiswa membuat skripsi atau karya ilmiah dengan penelitian. Sebagai contoh, mahasiswa program pendidikan bisnis membuat tugas akhir berupa perencanaan bisnis. Bahkan, mahasiswa didorong membuat bisnis baru.
”Membuat laporan tertulis tetap ada, tapi tidak harus dari hasil riset. Sebab, tidak semua lulusan akan menjadi peneliti. Kami tetap wajibkan menulis laporan karena menulis merupakan kemampuan komunikasi yang penting dan menunjukkan cara berpikir seseorang,” kata Arief.
Nadiem menyebutkan ada juga proses penyederhanaan pembelajaran. Dulu untuk satu SKS diatur dengan rincian alokasi untuk penugasan, kegiatan mandiri, dan penilaian yang berkontribusi pada indeks prestasi kumulatif. ”Kekakuan pengaturan seperti ini tidak relevan lagi saat mahasiswa sudah belajar keluar kampus dan mengerjakan proyek,” katanya.
Selanjutnya, menurut dia, definisi SKS diatur sebanyak 45 jam per semester. ”Perguruan tinggi punya kebebasan mengatur. Dosen akan lebih merdeka dan industri juga tidak mendapat beban,” kata Nadiem.
Biaya akreditasi
Perubahan SN Dikti juga berdampak pada sistem akreditasi. Untuk akreditasi PT dilakukan Badan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (BAN-PT), sedangkan akreditasi prodi dilakukan oleh Lembaga Akreditasi Mandiri (LAM).
”Untuk akreditasi wajib guna memastikan setiap perguruan tinggi dan program pendidikan memenuhi standar minimal SN Dikti yang dibiayai pemerintah. Perguruan tinggi bisa meraih akreditasi unggul dari LAM dengan biaya mandiri,” kata Nadiem.
Sebelumnya, akreditasi memiliki berbagai status, seperti biaya dibebankan pada tiap perguruan tinggi serta akreditasi dilakukan masing-masing program pendidikan. Ketentuan baru lebih menyederhanakan status akreditasi dan pemerintah menanggung biaya akreditasi wajib dan pengumpulan akreditasi di setiap departemen, sekolah, atau fakultas.
DOKUMENTASI DIKTIRISTEK
Data akreditasi perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Kemendikbudristek tahun 2022.
Akreditasi wajib perguruan tinggi hanya ada dua status, yaitu terakreditasi dan tidak terakreditasi. Untuk prodi ada perbedaan, yakni terakreditasi, tidak terakreditasi, dan terakreditasi unggul. Adapun yang sudah mendapat akreditasi internasional tidak perlu diakreditasi lagi. ”Terakreditasi artinya memenuhi SN Dikti yang minimum dan ini dibayar pemerintah. Untuk standar unggul didapat dari LAM dan dilakukan perguruan tinggi secara sukarela. Standar LAM lebih tinggi daripada SN Dikti,” kata Nadiem.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi, Kemendikbudristek, Nizam mengatakan, sejak MBKM sebenarnya banyak perubahan yang terjadi di PT. Transformasi SN Dikti dan akreditasi ini diyakini menjadi fondasi untuk menghasilkan SDM unggul.
Nizam mengatakan, sistem akreditasi PT kini juga sudah didukung LAM. Ada enam LAM yang sudah terbentuk, bahkan ada yang sudah setara standar internasional.
Rektor Universitas Teknik Sumbawa, Chairul Hudaya, mengatakan, dengan memberikan kepercayan, maka perguruan tinggi dapat menentukan sikap, keterampilan umum, ataupun keterampilan khusus yang relevan tanpa menurunkan kualitas pembelajaran.
”Terutama untuk PT di wilayah Indonesia timur yang memiliki tantangan berbeda dengan wilayah lain ada otonomi untuk menjalankan tridarma sesuai kondisi dan kebutuhan di daerah,” kata Chairul.