LPKA Tangerang tak ubahnya asrama pendidikan, bukan penjara. Anak-anak pidana di sini tetap mendapatkan perlakuan yang layak, mulai dari sandang, pangan, papan, hingga pendidikan, demi memperbaiki masa depan mereka.
Oleh
Stephanus Aranditio
·5 menit baca
TANGERANG, KOMPAS — Lembaga Pembinaan Khusus Anak Tangerang tidak tampak seperti penjara yang dipikirkan awam. Anak pidana yang dibina di sini hidup selayaknya di asrama pendidikan. Walau sedang menjalani masa pidana, mereka tetap mendapatkan hak-hak dengan layak, mulai dari sandang, pangan, papan, hingga pendidikan yang menjamin masa depan mereka tetap ada.
Bangunan Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA) Tangerang berdiri sejak 1925. Sejak berdiri, bangunan ini diperuntukkan mengasingkan anak-anak keturunan Belanda yang berbuat kenakalan. Setelah Indonesia merdeka, pemerintah menjadikan bangunan ini sebagai Markas Resimen IV Tangerang hingga 1961. Pada 1964, bangunan kembali difungsikan sebagai Lapas Anak Pria Tangerang, lalu pada 5 Agustus 2015 sampai sekarang menjadi LPKA.
Bangunan yang berdiri di atas lahan seluar 12,50 meter persegi ini mampu menampung 220 anak. Per Agustus 2023 jumlah anak pidananya 71 orang, terdiri dari 69 laki-laki dan 2 perempuan. Anak dengan kasus asusila menjadi yang terbanyak di sini, jumlahnya mencapai 42 orang. Kasus lainnya, yaitu pencurian (6 orang), senjata tajam/begal (2), penganiayaan (3), perampokan (5), narkoba (5), dan ketertiban/tawuran (8).
Anak pelaku asusila paling banyak dari daerah Pandeglang, Serang, dan Rangkasbitung. Mayoritas dari mereka melakukan hubungan seksual di bawah umur dengan temannya, tetapi orangtua tidak terima hingga membawa kasus ini ke ranah hukum. Sementara, anak terlibat kasus narkoba kebanyakan hanya menjadi kurir. Anak-anak sering kali dilibatkan oleh orang dewasa dalam rantai peredaran narkotika.
Di ijazahnya tidak ada embel-embel sekolah lapas, langsung tertulis sekolah istimewa.
Kepala Subseksi Pendidikan dan Latihan Keterampilan LPKA Kelas I Tangerang Ronny Setiawan mengatakan, mereka yang masuk sini tidak pernah dibeda-bedakan. Semua mendapatkan hak yang sama, terlebih untuk pendidikan. Mereka yang belum pernah sekolah atau putus sekolah karena berkonflik dengan hukum akan didaftarkan menjadi siswa di Yayasan Istimewa.
Sekolah Istimewa, yang terdiri dari SD, SMP, SMA, dan SMK jurusan teknik, merupakan sekolah formal yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sejak tahun 1984 sekaligus menjadi satu-satunya LPKA yang memiliki satuan pendidikan formal. Saat ini jumlah siswa SD Istimewa ada sebanyak 4 orang, SMP 10 orang, dan SMK 16 orang, sisanya mengikuti program Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) atau lebih dikenal dengan istilah kejar paket.
”Kewajiban anak itu salah satunya sekolah, kalau di sini walau nanti sudah bebas tetap bisa melanjutkan sekolah di sini. Nanti kami tawarkan kepada orangtuanya untuk melanjutkan di sini sampai mendapatkan ijazah. Di ijazahnya tidak ada embel-embel sekolah lapas, langsung tertulis sekolah istimewa,” kata Ronny di LPKA Tangerang, Rabu (23/8/2023).
LPKA kerja sama dengan Honda
Khusus untuk SMK Istimewa di LPKA Tangerang, mereka bekerja sama dengan Honda untuk menyediakan bengkel khusus di dalam lingkungan LPKA untuk praktik mekanik anak binaan. Oleh karena itu, mereka yang lulus SMK juga mendapatkan sertifikat keterampilan dari Honda. Bahkan, tiga anak binaan yang sudah bebas langsung bisa mendapatkan kesempatan magang di Honda pada awal 2023.
Setiap hari, anak binaan melakukan apel pagi sekitar pukul 06.00 lalu sarapan. Setelah itu, mereka mandi dan berganti seragam sekolah lalu masuk kelas pukul 08.00 sampai 11.00. Sepulang sekolah, mereka yang beragama Islam diwajibkan mengikuti pengajian di balai tengah. Kemudian kegiatan dilanjutkan dengan makan siang bersama.
”Makanya, kami selalu memadatkan kegiatan mereka di sini. Habis sekolah, langsung pengajian, shalat dan makan bersama, kegiatan lagi apel dan sebagainya,” ucapnya.
LPKA Tangerang juga menyediakan klinik kesehatan bagi anak pidana yang dijaga beberapa tenaga kesehatan hingga dokter gigi. Penyakit yang paling sering terjadi di sini adalah penyakit kulit, seperti gejala kudis atau scabies yang bisa langsung diatasi di klinik dengan ketersediaan obat
Dokter klinik kesehatan LPKA Tangerang, Yenita, mengatakan, hal ini disebabkan oleh perbedaan pola hidup anak binaan saat berada di luar dan di dalam. Namun, selama ini belum ada anak yang sakit hingga harus dirujuk ke rumah sakit.
”Obat-obatnya juga berstandar Kementerian Kesehatan, jadi sudah ada farmasinya, tidak ada obat warung. Kami juga memberikan suplemen vitamin bagi mereka,” tutur Yenita.
Salah satu anak pidana, R (18), mengaku nyaman menjalani masa hukuman di sini. Bayangan penjara yang penuh sesak dan seram seperti di film yang ditontonnya pun sirnah ketika masuk LPKA Tangerang. Dia sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk menata ulang masa depannya.
R divonis tiga tahun karena tawuran yang mengakibatkan korban meninggal dunia. Kini ia bercita-cita ingin menjadi vokalis dan gitaris band, kesehariannya dihabiskan dengan bermain alat musik.
”Awalnya drop mental saya sejak ditangkap itu, sudah mengecewakan orangtua. Saya menyesal, tetapi harus melihat masa depan. Saat masuk sini kaget, ternyata tidak separah yang dibayangkan. Ini lebih seperti pondok pesantren,” kata R.
Walau begitu, LPKA Tangerang mempunyai tantangan karena tidak ada tenaga pengajar yang bersertifikat guru. Hampir semua guru merupakan staf LPKA, beberapa ada pula guru tamu yang diperbantukan dari SMK di sekitar Tangerang. Jumlah tenaga pengajar di sini untuk SD hanya 7 orang, SMP 10 orang, dan SMK 25 orang, tetapi tidak bersertifikat guru.
Selain itu, LPKA Tangerang juga belum memiliki psikolog anak untuk mengembangkan potensi anak dan memberikan pendampingan selama menjadi warga binaan. Psikolog ini penting karena kondisi psikologi seorang anak yang berkonflik dengan hukum pasti memiliki suatu gangguan atau masalah. Dengan adanya psikolog, mental mereka bisa diperbaiki agar tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.