Jakarta Tuan Rumah Dialog Internasional tentang Toleransi
Sejumlah negara akan berdiskusi soal toleransi di Jakarta. Ini penting mengingat masih terjadi kekerasan berbasis agama atau kepercayaan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah negara akan berdialog tentang cara terbaik menerapkan toleransi dalam Jakarta Plurilateral Dialogue 2023 yang berlangsung pada 29-31 Agustus 2023 di Jakarta. Dialog ini menjadi salah satu cara menguatkan budaya toleransi serta menegaskan kembali implementasi Resolusi Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa 16/18.
Jakarta Plurilateral Dialogue (JPD) 2023 diselenggarakan oleh Kantor Staf Presiden, Kementerian Agama, dan Kementerian Luar Negeri. Sejumlah tokoh yang dijadwalkan hadir di JPD 2023, antara lain, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, dan Wakil Presiden Dewan HAM PBB Muhammadou MO Kah. Duta besar sejumlah negara juga akan hadir.
JPD 2023 terdiri ats lima sesi dialog yang membahas praktik toleransi dari berbagai pemangku kepentingan di seluruh dunia. Diskusi ini juga mencakup penguatan implementasi Resolusi Dewan HAM PBB (UNHRC) 16/18 tentang Melawan Intoleransi, Pelabelan Negatif, Stigmatisasi, Diskriminasi, Hasutan Kekerasan, dan Tindak Kekerasan atas Perseorangan atas Dasar Agama atau Kepercayaan.
Adapun UNHRC 16/18 disepakati pada 2011. Piagam ini menegaskan bahwa seluruh negara yang menandatangani Piagam PBB mesti menghormati HAM tanpa membedakan latar agama dan kepercayaan individu.
Resolusi ini juga dibuat untuk mengatasi intoleransi, stereotipe negatif, stigmatisasi, dan diskriminasi. Selain itu, resolusi ini juga untuk memerangi hasutan terhadap kekerasan serta kekerasan terhadap orang lain berdasarkan agama atau kepercayaan.
Menurut Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kementerian Agama Kamaruddin Amin, Kamis (24/8/2023), implementasi resolusi tersebut, yang mendorong toleransi, relevan dalam konteks global dan nasional. Hal ini karena kekerasan berbasis agama dan intoleransi masih jamak terjadi.
”Dalam konteks Indonesia, ini (toleransi) penting sekali. Sebagai negara bangsa yang sangat multikultural, sangat majemuk, serta sangat beragam agama dan kepercayaannya, ya, tentu toleransi jadi sangat fundamental. Ini jadi penentu sukses atau tidaknya kita dalam proses berbangsa dan bernegara,” kata Kamaruddin di Jakarta.
Adapun berdasarkan data Wahid Foundation selama 2018-2020, kekerasan, intoleransi, larangan beribadah, dan ujaran kebencian dilakukan aktor negara dan non-negara. Pada periode itu, ada 1.420 pelanggaran kemerdekaan beragama dan berkeyakinan (KBB) oleh aktor non-negara dan 1.033 pelanggaran oleh aktor negara. Jenis pelanggaran yang dimaksud meliputi kekerasan, intimidasi, pelarangan beribadah, perusakan rumah ibadah, dan pelarangan pendirian rumah ibadah.
Ini (toleransi) jadi penentu sukses atau tidaknya kita dalam proses berbangsa dan bernegara.
Di sisi lain, Wahid Foundation juga mencatat praktik baik dan promosi toleransi yang tumbuh. Pada 2015-2018, ada 1.298 tindakan toleransi yang dilakukan aktor negara dan non-negara. Ada pula 11 tindakan advokasi kebijakan serta 44 tindakan advokasi agama dan keyakinan (Kompas, 14/9/2020).
Kamaruddin menambahkan, merawat budaya toleransi kian penting menjelang tahun politik. Hal ini butuh peran dari berbagai pihak, baik masyarakat maupun pemerintah.
”Kita sedang menghadapi tantangan besar (di) tahun politik ini, ya, tantangan keragaman, tantangan kepentingan politik, dan kepentingan jangka pendek oleh banyak sekali pihak sehingga kita mesti sama-sama merawatnya (toleransi),” katanya.
Menteri Agama Yaqut berpendapat, implementasi Resolusi Dewan HAM PBB 16/18 dapat mengatasi isu kemanusiaan akibat diskriminasi berbasis agama dan kepercayaan. ”Melalui spirit Resolusi 16/18 dalam mengatasi intoleransi dan diskriminasi berdasarkan agama, setiap warga negara secara bersama-sama mampu belajar dan memahami bahwa kebencian dan diskriminasi bukanlah bagian dari adab manusia,” katanya dalam keterangan tertulis.
Rencana pencalonan
Adapun JPD 2023 dinilai jadi momentum memperkuat budaya toleransi. Kegiatan ini juga sejalan dengan pencalonan Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB periode 2024-2026. Pemilihan anggota Dewan HAM PBB akan berlangsung pada Oktober 2023.
Menurut Diplomat Ahli Madya Kementerian Luar Negeri Eleonora Tambunan, Indonesia punya rekam jejak positif dalam berbagai isu HAM. Misalnya, Indonesia menginisiasi sejumlah forum regional untuk membahas HAM dan inisiasi antipenyiksaan.
”Kami mau memajukan agenda HAM internasional, kemudian tetap mempertahankan prinsip-prinsip Dewan HAM yang nondiskriminasi, nonpolitisasi, serta memajukan kolaborasi antarbangsa untuk perlindungan dan penguatan HAM,” ucap Eleonora.