”Salju abadi” atau tutupan es di Puncak Jaya, Papua, terus mengalami pencairan akibat dampak perubahan iklim. Fenomena El Nino tahun ini berpotensi turut mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Tutupan es atau ”salju abadi” di Puncak Jaya, Papua, terus mengalami pencairan dari tahun ke tahun dan semakin diperparah akibat pemanasan global serta dampak perubahan iklim lainnya. Fenomena El Nino yang terjadi tahun ini berpotensi turut mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati mengemukakan, Indonesia menjadi salah satu lokasi unik di wilayah tropis karena memiliki ”salju abadi” di Puncak Jaya, Papua. Puncak es di wilayah tropis ini merupakan keajaiban alam yang menarik banyak perhatian di kalangan ilmuwan, peneliti, maupun pencinta alam.
”Namun, dalam beberapa dekade terakhir dilaporkan terjadi penurunan drastis luas areal salju abadi tersebut. Perubahan yang terjadi ini diduga kuat berkaitan dengan pemanasan global yang sedang terjadi di seluruh dunia,” ujarnya dalam seminar bertajuk ”Salju Abadi Menjelang Kepunahan: Dampak Perubahan Iklim?” di Jakarta, Selasa (22/8/2023).
Pusat Penelitian dan Pengembangan (Puslitbang) BMKG bekerja sama dengan Ohio State University, AS, sejak 2010 telah melakukan riset terkait analisis paleoklimatologi berdasarkan inti es di gletser Puncak Jaya. BMKG dengan didukung PT Freeport Indonesia kemudian terus melakukan kegiatan pemantauan terhadap luas dan tebal gletser di Puncak Jaya.
Menurut Dwikorita, sejak pengamatan dilakukan sampai saat ini, tutupan es di Puncak Jaya mengalami pencairan dan menuju kepunahan. Pada 2010, tebal es diperkirakan mencapai 30 meter dan penipisan es sebesar 1 meter per tahun terjadi pada 2010-2015. Kemudian saat terjadi El Nino kuat pada 2015-2016, penipisan es pun mencapai 5 meter per tahun.
Sementara selama 2016-2022, penipisan es terjadi sekitar 2,5 meter per tahun. Adapun luas tutupan es pada 2022 sekitar 0,23 kilometer persegi dan terus mengalami pencairan.
”Fenomena El Nino tahun 2023 ini berpotensi untuk mempercepat kepunahan tutupan es di Puncak Jaya. Kepunahan 'salju abadi' di Puncak Jaya memiliki dampak besar bagi aspek kehidupan di wilayah tersebut. Ekosistem yang ada di sekitar 'salju abadi' menjadi rentan dan terancam,” tuturnya.
Selain itu, Dwikorita menyebut, perubahan iklim juga berdampak terhadap kehidupan masyarakat adat setempat yang telah lama bergantung pada keseimbangan lingkungan dan sumber daya alam di wilayah tersebut. Dampak lainnya dari pencairan es ini adalah adanya kontribusi terhadap peningkatan tinggi muka laut secara global.
Kondisi tersebut membuat semua pihak perlu meningkatkan kesadaran tentang pentingnya menjaga dan melindungi lingkungan. Upaya mitigasi perubahan iklim harus dilakukan bersama baik oleh pemerintah, masyarakat, maupun sektor swasta. Pengurangan emisi dan pengembangan energi terbarukan menjadi langkah penting yang harus segera dilakukan.
”Kita perlu terus menjaga dan mengendalikan laju kenaikan suhu dengan cara mentransformasikan energi fosil menjadi energi yang lebih ramah lingkungan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, kami merekomendasikan diperlukan program yang lebih sistematis untuk observasi monitoring parameter lingkungan,” ucapnya.
Program untuk observasi monitoring parameter lingkungan secara sistematis ini sangat vital untuk menunjang analisis dan kesimpulan yang tepat, termasuk untuk upaya peringatan dini dari BMKG. Dengan dukungan ini, ke depan BMKG tidak hanya dipandang sebagai penyedia data, tetapi juga dapat menganalisis dan merekomendasikan melalui data yang terkumpul tersebut dalam sebuah informasi yang dibutuhkan berbagai sektor.
Suhu bumi memanas
Meningkatnya potensi kepunahan salju abadi di Puncak Jaya ini tidak terlepas dari suhu global yang terus meningkat setiap tahun. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) mencatat, suhu rata-rata global pada awal Juni 2023 telah mencapai 1,5 derajat celsius lebih panas dibandingkan suhu pada masa pra-industri. Rekor suhu rata-rata global terpanas terjadi pada 3 Juli yang mencapai 17,01 derajat celsius.
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG Fachri Rajab mengatakan, secara umum suhu udara rata-rata pada Juli 2023 di Indonesia juga menunjukkan anomali positif atau lebih tinggi dari rata-rata klimatologisnya. Anomali maksimum tercatat di Stasiun Meteorologi Emalamo-Sanana, Maluku Utara, sebesar 1,2 derajat celsius.
Selain itu, peningkatan suhu terbesar tercatat di Stasiun Meteorologi Sam Ratulangi-Manado, Sulawesi Utara, sebesar 0,4 derajat celsius. Sementara penurunan suhu terbesar tercatat di Stasiun Meteorologi Yogyakarta yang mencapai minus 1,5 derajat celsius.
”Dari suhu rata-rata, hampir semua wilayah berwarna oranye menuju merah. Artinya, memang suhu terus mengalami kenaikan. Bahkan, wilayah merah (Indonesia timur terutama Papua) mencapai 1,3 derajat celsius di atas rata-rata suhu tahun 1976-2005,” katanya.
Vice President Environmental PT Freeport Indonesia Gesang Setyadi menyatakan, pihaknya turut mengurangi emisi gas rumah kaca sebagai upaya mengatasi perubahan iklim. Upaya tersebut ditunjukkan melalui komitmen mengurangi emisi sebesar 30 persen pada 2030 serta melanjutkan revegetasi serta rehabilitasi lahan.
Selain itu, Freeport juga turut melakukan pemantauan kualitas udara dan meteorologi serta mendukung BMKG dalam melakukan penelitian gletser. Di sisi lain, Freeport juga membentuk tim manajemen energi, mengampanyekan penghematan energi, dan membangun smelter di Gresik, Jawa Timur, untuk mendukung ekonomi hijau.