Perjuangan pekerja rumah tangga untuk mendapatkan pengakuan negara atas pekerjaannya hingga kini terus menghadapi tantangan. PRT berharap peringatan 78 tahun kemerdekaan Indonesia menjadi momentum pengesahan UU PPRT.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·5 menit baca
Hari Ulang Tahun Ke-78 Kemerdekaan Republik Indonesia membawa makna tersendiri bagi para pekerja rumah tangga di Tanah Air. Di saat pekik ”merdeka” terdengar di mana-mana, para pekerja rumah tangga justru tengah berjuang menggapai kemerdekaannya, yaitu menanti pengakuan negara atas pekerjaan mereka.
Hingga kini, hampir dua dekade status pekerja rumah tangga (PRT) masih belum merdeka dan terus terbelenggu dalam lingkaran perbudakan modern. Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang menjadi pintu masuk kemerdekaan PRT bolak-balik mandek di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Tahun ini, proses legislasi RUU PPRT memasuki tahun ke-19.
Jeritan para PRT yang memohon para wakil rakyat segera membahas dan mengesahkan RUU PPRT menjadi UU tampaknya belum membuat hati anggota DPR tergugah. Harapan wong cilik tersebut untuk mendapatkan payung hukum atas pekerjaannya hingga kini tampaknya belum dianggap sesuatu yang mendesak bagi DPR.
Bahkan, sehari menjelang upacara puncak peringatan kemerdekaan ke-78, Rabu (16/8/2023), aksi damai mogok makan sejumlah PRT di depan pintu gerbang Kompleks Parlemen, Jakarta, untuk menyuarakan pengesahan RUU PPRT pun dibubarkan polisi karena dianggap mengganggu estetika di depan Gedung Parlemen.
Para PRT harus menerima kenyataan pahit, mereka diminta tidak menggelar aksi pada hari itu. Padahal, hari itu Presiden Joko Widodo menyampaikan pidato kenegaraan dalam rangka Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI dalam Sidang Tahunan MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen.
Yang membuat para PRT sedih, yang meminta mereka membubarkan diri adalah sesama perempuan, yakni polisi wanita (polwan) yang seharusnya mendukung perjuangan mereka.
Doa bersama
Siang itu, kekecewaan para PRT sedikit terobati saat anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Luluk Nur Hamidah, mendatangi mereka saat para perempuan PRT dan beberapa aktivis perempuan berusaha bernegosiasi dengan polisi supaya diberikan izin melakukan orasi.
Kehadiran Luluk membangkitkan semangat para PRT. Luluk pun mengajak para PRT berdiri di depan gerbang Kompleks Parlemen dan memberikan pernyataan kepada PRT agar tidak berhenti memperjuangkan RUU PPRT. Luluk mengungkapkan, PRT berhak menyuarakan aspirasi di depan Gedung Parlemen.
”Sudah saatnya PRT diakui sebagai pekerja. Karena itu, RUU PPRT harus segera disahkan, karena itu adalah hak mereka sebagai warga negara Indonesia. Saya akan terus bersama mereka sampai UU PPRT disahkan,” katanya.
Luluk menegaskan, tidak boleh lagi ada anak bangsa yang ditinggalkan dan diabaikan haknya. Di usia 78 tahun Indonesia merdeka, seharusnya para PRT tidak terus-menerus berada dalam situasi yang sangat terpuruk, eksploitatif, bahkan tidak dianggap manusia.
”Kita harus memaknai 78 tahun Indonesia merdeka juga merupakan perayaan kemerdekaan bagi para PRT yang selama ini masih terbelenggu, belum bisa merdeka, dan dalam situasi perbudakan. Kami akan terus mengingatkan pimpinan DPR bahwa ada 5 juta warga negara, bahkan lebih dengan keluarganya, yang masih belum merdeka,” tuturnya.
Kita harus memaknai 78 tahun Indonesia merdeka juga merupakan perayaan kemerdekaan bagi para PRT yang selama ini masih terbelenggu, belum bisa merdeka, dan dalam situasi perbudakan.
Saat ini, menurut Luluk, maju tidaknya pembahasan RUU PPRT ada di tangan pimpinan DPR. Karena itulah, dia berharap sebelum periode DPR saat ini berakhir, RUU PPRT telah disahkan menjadi UU sehingga DPR meninggalkan warisan UU yang memberikan kepastian akan status PRT.
”Ini akan menjadi mimpi buruk bagi saya, terutama sebagai anggota DPR, kalau kemudian ada RUU yang sudah 19 tahun perjalanannya tidak bisa disahkan,” ucap Luluk yang siang itu bergandengan tangan dengan para PRT, lalu memimpin doa bersama.
Ia bahkan menegaskan, DPR adalah tempat untuk rakyat memperjuangkan nasib. Karena itulah, ketika PRT mendatangi DPR, sudah selayaknya mereka diterima ketika menyuarakan aspirasi.
Mogok makan
Terkatung-katungnya proses legislasi RUU PPRT mendorong para PRT kembali memilih jalan aksi mogok makan demi menggugah hati para wakil rakyat. Aksi mogok makan PRT dilakukan semenjak Senin (14/8/2023) di depan gerbang Gedung Parlemen.
Koordinator Jaringan Nasional Advokasi (Jala) PRT Lita Anggraini mengingat, aksi mogok makan PRT tersebut merupakan yang keempat kali dilakukan semenjak perjalanan legislasi RUU PPRT. Aksi mogok makan pertama dilakukan pada tahun 2011 dengan menginap tiga hari di depan gerbang DPR. Alhasil, RUU PPRT masuk pembahasan di Badan Legislasi (Baleg) DPR.
Setelah itu, RUU PPRT kembali macet. Pada akhir 2014, PRT menggelar aksi mogok makan kedua hingga bermalam di Gedung DPR. Aksi ini kembali berhasil mendorong DPR menyentuh lagi RUU PPRT. Namun, setelah itu, RUU PPRT mandek lagi.
Pada awal tahun 2015, PRT melakukan aksi mogok makan ketiga di depan gerbang DPR, mendorong proses RUU PPRT. Namun, perjalanan RUU PPRT kembali macet. Jalannya kemudian terbuka pada Januari 2023 dan berhenti lagi sehingga aksi mogok makan keempat pun digelar pada Agustus 2023 ini.
Padahal, awal Januari 2023 lalu, perjalanan legislasi RUU PPRT sempat ada titik terang. Bahkan, Presiden Jokowi turun tangan mendorong proses RUU PPRT tersebut, meminta para menteri mempercepat pembahasan dan pengesahan UU PPRT.
Sebelumnya, pada tahun 2022, Kantor Staf Presiden (KSP) membentuk Gugus Tugas Percepatan Pembahasan RUU PPRT yang terdiri dari Menteri Hukum dan HAM, Menteri Ketenagakerjaan, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan KSP.
Begitu juga dengan DPR. Permintaan Presiden pun direspons cepat. Pada 21 Maret 2023, DPR menggelar Rapat Paripurna DPR yang mengesahkan RUU PPRT sebagai RUU inisiatif DPR. Selanjutnya, DPR mengirim surat kepada Presiden dan tim pemerintah bergerak cepat menyusun daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU PPRT.
Pertengahan Mei 2023, tim pemerintah menyelesaikan pembahasan DIM RUU PPRT dan mengirimkan kepada DPR. Saat itu, pemerintah yakin RUU PPRT bisa langsung dibahas DPR. Akan tetapi, tiga bulan telah berlalu, hingga kini proses legislasi RUU PPRT tidak ada kemajuan. Menunggu keputusan pimpinan DPR.
”Aksi mogok makan kami lakukan untuk menggambarkan rasa lapar para PRT. Karena PRT ketika bekerja tidak bisa kemudian berhenti dan bilang ’maaf saya sudah lapar’. Banyak PRT disiksa tidak diberi makan, atau diberi makanan basi, bahkan kelaparan,” ujar Lita.
Entah sampai kapan nasib RUU PPRT akan mendapat kepastian. Yang pasti, semenjak masuk dalam daftar Prolegnas DPR periode 2004-2009, hingga kini RUU PPRT tak kunjung dibahas dan disahkan DPR menjadi undang-undang.
Kemerdekaan para PRT masih menanti ”kebaikan” hati pimpinan DPR. Semoga belenggu perbudakan modern yang dialami PRT segera dilepaskan DPR. Sebab, pembahasan dan pengesahan RUU PPRT menjadi undang-undang merupakan jalan memerdekakan para PRT di Tanah Air.