Ancaman terbesar yang dihadapi orangutan ialah perubahan fungsi hutan sebagai habitat alami menjadi area konsesi, termasuk aktivitas pertanian oleh masyarakat. Sementara ancaman lainnya terkait dengan perburuan ilegal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ancaman kepunahan masih membayangi tiga spesies orangutan di Indonesia, yakni orangutan sumatera, orangutan kalimantan, dan orangutan tapanuli. Ancaman terbesar ini terkait dengan perubahan fungsi hutan menjadi area konsesi. Perlu upaya penyelamatan, khususnya melindungi habitat-habitat tersisa dari orangutan tersebut.
Indonesia merupakan habitat dari tiga spesies orangutan, yakni orangutan sumatera (Pongo abelii), orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus), dan orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis). Badan Konservasi Dunia (IUCN) memasukkan tiga spesies orangutan tersebut dalam daftar spesies terancam kritis atau satu tahap lagi menuju kepunahan di alam.
Program Development and Planning Borneo Orangutan Survival (BOS) Foundation Eko Prasetyo mengemukakan, populasi orangutan kalimantan saat ini berkisar 57.350 individu yang tersebar di 16 juta hektar areal hutan. Luas wilayah habitat orangutan tersebut tidak hanya di dalam kawasan konservasi, tetapi juga masuk area konsesi perusahaan.
Dengan melindungi orangutan, secara tidak langsung kita turut melindungi atau menjaga hutan itu sendiri.
”Berdasarkan literatur dan studi dari para peneliti, sebanyak 70 persen habitat orangutan saat ini berada di luar kawasan konservasi yang dilindungi pemerintah. Ini termasuk wilayah konsesi, seperti pertambangan, hutan tanaman industri, dan perkebunan sawit,” ujarnya dalam webinar Hari Orangutan Sedunia bertajuk ”Lestarikan Orangutan, Selamatkan Hutan”, Sabtu (19/8/2023).
Menurut Eko, ancaman terbesar yang dihadapi orangutan kalimantan ialah perubahan fungsi hutan sebagai habitat alami menjadi area konsesi, termasuk aktivitas pertanian oleh masyarakat. Sementara ancaman lainnya terkait dengan perburuan dan perdagangan ilegal.
Eko menegaskan, upaya penyelamatan orangutan sangat penting karena fauna primata tersebut merupakan spesies kunci untuk keberlangsungan ekosistem hutan. Hasil studi menunjukkan, biji makanan yang keluar dari kotoran orangutan dapat tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan biji yang tumbuh secara alami. Ini juga didukung daerah jelajah orangutan yang sangat luas.
”Dengan melindungi orangutan, secara tidak langsung kita turut melindungi atau menjaga hutan itu sendiri. Kemudian dengan menjaga hutan secara tidak langsung, kita juga turut membantu melindungi satwa-satwa lain yang hidup di hutan tersebut,” katanya.
Selain itu, menjaga kelestarian orangutan juga bisa menjadi peluang bagi manusia untuk belajar dari kehidupan mereka. Sebab, manusia memiliki kemiripan DNA dengan orangutan sebesar 97 persen sehingga bisa mempelajari perilaku ataupun makanannya.
Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara Rianda Purba menyampaikan, saat ini orangutan tapanuli berjumlah kurang dari 800 individu dan jumlah tersebut diperkirakan terus berkurang. Sementara pertumbuhan orangutan sangat lambat dengan jarak melahirkan 8-9 tahun dan terkadang baru memiliki anak pertama pada usia 15 tahun.
Sama seperti spesies orangutan lainnya, Rianda menyebut orangutan tapanuli juga masih menghadapi ancaman kepunahan karena banyak terjadi deforestasi di habitat ekosistem Batang Toru. Bahkan, habitat orangutan tapanuli menjadi wilayah ekspansi bagi pembangunan infrastruktur ataupun industri pertambangan dan perkebunan.
Kemudian, ancaman lainnya dari orangutan tapanuli ialah maraknya perburuan liar. Namun, sampai saat ini penegakan hukum di Indonesia dinilai masih belum menyasar para pelaku utama perdagangan satwa ilegal, khususnya orangutan.
Upaya mendesak
Rianda menekankan pentingnya melakukan upaya mendesak untuk melindungi ekosistem Batang Toru sekaligus menyelamatkan orangutan tapanuli dari kepunahan. Upaya ini pun harus melibatkan partisipasi aktif komunitas lokal karena mereka merupakan aktor langsung yang akan melakukan manajemen dan perlindungan nilai konservasi ekosistem batang toru.
Selain itu, pemerintah juga perlu menerbitkan regulasi atau kebijakan secara khusus guna mengakui status ekosistem batang toru dan melindungi area dari segala kegiatan industri ekstraktif. Di sisi lain, diperlukan upaya untuk melakukan moratorium izin industri esktraktif ini dan melakukan evaluasi secara total terhadap izin-izin di energi baru terbarukan.
”Upaya untuk membangun konektivitas antarhabitat orangutan perlu menjadi prioritas. Namun, hal ini juga menjadi tantangan karena wilayah jelajah orangutan terdapat di kawasan nonhutan atau area penggunaan lain,” ucapnya.