Kritik ”Food Estate” Jangan Sekadar Menjadi Komoditas Politik
Program ”food estate” yang diinisiasi pemerintah di sejumlah wilayah mendapat kritik dari politisi. Kritik ini perlu terus disuarakan dan jangan hanya sekadar dijadikan narasi atau komoditas di tahun politik.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Petani membajak sawah di Desa Belanti Siam, Kecamatan Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Senin (15/5/2023).
JAKARTA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate yang diinisiasi pemerintah di sejumlah wilayah mendapat kritik dari politisi karena dinilai tidak diimplementasikan dengan baik dan telah menjadi bagian dari kejahatan lingkungan. Kritik ini perlu terus disuarakan dan jangan hanya sekadar dijadikan narasi atau komoditas di tahun politik.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian menyampaikan, semua program pemerintah yang tidak optimal, termasuk food estate, selalu bisa menjadi komoditas di tahun politik. Padahal, kritik terkait program ini sudah sering disampaikan oleh aktivis dan akademisi sejak mulai dicanangkan pemerintah pada 2019.
”Kami sering menyampaikan kritik bahwa food estate ini adalah jalan yang salah ketika berbicara soal pangan. Namun, kemudian kritik ini ditangkap di momentum transisi politik sehingga riskan dijadikan komoditas politik,” ujarnya di Jakarta, Kamis (17/8/2023).
Uli tidak menampik bahwa program food estate sangat mudah untuk dijadikan isu bagi para politisi untuk menyerang dan mencari panggung politik. Namun, sekarang publik bisa melihat terkait keseriusan politisi terhadap kritik yang disampaikannya tersebut. Publik juga bisa menagih janji politisi untuk menghentikan program food estate jika nantinya terpilih dalam Pemilihan Umum 2024.
”Kami menginginkan ada komitmen dari orang-orang yang mengatakan bahwa food estate ini sebuah persoalan. Jadi, ke depan food estate ini tidak lagi diletakkan sebagai program yang harus dijalankan pemerintah. Berbagai kebijakan yang mendukung food estate juga perlu ditinjau ulang,” tuturnya.
KOMPAS/DIONISIUS REYNALDO TRIWIBOWO
Sejumlah aktivis lingkungan dari Greenpeace, Walhi Kalteng, Save Our Borneo (SOB), dan LBH Kota Palangkaraya membentangkan spanduk berukuran 35 meter x 15 meter di tengah lokasi food estate singkong di Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/11/2022).
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto menyatakan program food estate yang dimandatkan salah satunya kepada Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tidak diimplementasikan dengan baik. Bahkan, Hasto juga menyebut bahwa food estate telah menjadi bagian dari kejahatan lingkungan karena dalam implementasi banyak membuka hutan atau menimbulkan deforestasi.
Terbaru, Kamis (17/8/2023), Hasto menilai program food estate Presiden Jokowi adalah langkah kebijakan yang bagus. ”Kalau food estate kita sukeskan, sepakat. Karena itu membangun kedaulatan pangan kita. Tetapi yang dikritisi PDI-P adalah ketika implementasinya ada vested of interest,” katanya (Kompas, 17 Agustus 2023).
Manajer Advokasi dan Kampanye Pantau Gambut Wahyu Perdana dalam rilisnya menyebut tidak ada yang salah dengan dengan pernyataan Hasto tersebut. Namun, ia menyoroti terdapat sejumlah poin dalam konteks deforestasi, khususnya terkait perlindungan gambut.
Menurut Wahyu, alih fungsi lahan pada proyek strategis nasional seperti food estate dapat dengan mudah dilakukan seiring terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Di sisi lain, produk hukum yang dianggap bermasalah ini justru dengan mudah disahkan pada masa pendemi karena mendapat dukungan mayoritas partai di DPR.
Kajian Pantau Gambut yang diluncurkan pada Maret 2023 juga mendapatkan temuan indikasi deforestasi pada rencana pelaksanaan food estate tahap I tahun 2020-2021 di Kalimantan Tengah seluas 31.000 hektar. Hasil pemantauan melalui citra satelit menunjukkan adanya deforestasi seluas 700 hektar di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalteng, menjadi area ekstensifikasi terluas.
”Secara spesifik pada proyek food estateKalteng yang di ekosistem gambut, rusaknya ekosistem ini menyebabkan peningkatan risiko kebakaran hutan dan lahan,” ungkapnya.
Studi Pantau Gambut juga menemukan area bekas proyek Pengembangan Lahan Gambut (PLG) 1 juta hektar pada masa Presiden Soeharto masih masuk ke dalam area kerentanan tinggi karhutla. Sebagian area bekas PLG tersebut juga menjadi bagian dari proyek food estate.
Terus disuarakan
Meski demikian, Uli memandang bahwa pernyataan dari politisi terkait kegagalan program food estate dapat menjadi momentum untuk terus menyuarakan isu ini. Dengan begitu, semua pihak, termasuk calon presiden, akan terus mengingat masih ada persoalan kegagalan food estate di sejumlah wilayah dalam program lumbung pangan di Indonesia.
”Hal terpenting adalah bagaimana kemudian kritik kami secara substansi program food estate dari dulu sampai sekarang diarahkan pada poin yang tetap kuat dan benar. Saat ini kami akan memastikan berbagai studi yang telah dilakukan terkait food estate sampai ke tangan pejabat baik di legislatif maupun pemerintah,” katanya.
Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo beberapa kali menepis anggapan terkait kegagalan program food estate, khususnya di Kalteng. Menurut dia, program food estate di Indonesia salah satunya bertujuan untuk antisipasi hal yang berkaitan dengan alih fungsi lahan.
Dalam pengembangan food estate di Kalteng, pada 2020 Kementerian Pertanian mulai melakukan intensifikasi lahan seluas 30.000 hektar. Kemudian pada 2021, luas food estate meningkat menjadi 60.778 hektar dan kembali naik seluas 62.455 hektar pada 2022.
Menurut Syahrul, saat ini 60.000 hektar lahan food estate telah berjalan. Produktivitas dari lumbung pangan juga mendekati rata-rata 4 ton per hektar dari sebelumya yang tidak sampai 2 ton per hektar. Oleh karena itu, Kementan tengah mengalihkan program ini ke Temanggung dan Wonosobo, Jawa Tengah (Kompas.id, 3/3/2023).