Evaluasi dan Perbaiki secara Serius Zonasi PPDB, Bukan Dihapus
Penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi diyakini bertujuan baik. Namun, pelaksanaannya yang masih membuka celah kecurangan menimbulkan sejumlah masalah sehingga perlu dievaluasi serius.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pelaksanaan penerimaan peserta didik baru atau PPDB di setiap daerah perlu dievaluasi total menyangkut regulasi dan implementasinya. Hal ini agar sejumlah permasalahan yang masih muncul setiap tahun dapat diperbaiki secara serius. Penerimaan siswa baru di jenjang pendidikan dasar menengah yang memfokuskan pada zonasi dan afirmasi didesak untuk tetap dipertahankan agar masyarakat mendapatkan layanan pendidikan berkualitas dan terjangkau.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim, di Jakarta, Minggu (13/8/2023), menyayangkan jika permasalahan PPDB zonasi disikapi secara reaktif, termasuk ada rencana untuk penghapusan sistem zonasi. ”Menghapus PPDB zonasi akan berpotensi melahirkan ketidakadilan baru dalam pendidikan. Terkesan ini adalah rencana yang reaktif. Kami berharap ada kajian mendalam, duduk bersama untuk mengevaluasi PPDB zonasi selama tujuh tahun ini, dengan melibatkan Kemendikbudristek, seluruh pemerintah daerah, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, serta pemangku kepentingan lainnya” katanya.
Lebih lanjut, Satriwan menyatakan perlunya ada kajian yang komprehensif dari segala aspek. Kajian komprehensif ini diperlukan karena PPDB tidak hanya terkait dengan pendidikan, tapi juga dengan data demografis, infrastruktur sekolah, akses jalan, dan sarana transportasi. Salah satu pokok pangkal masalah PPDB selama ini yaitu ketidakmerataan sebaran sekolah negeri di seluruh wilayah Indonesia.
Mau pakai sistem apa pun, tapi daya tampung tak tersedia, kekacauan pasti akan terjadi.
”Ini persoalan hulunya sehingga pemerintah mestinya tuntaskan ini dulu. Bangun sekolah dengan basis analisis data demografis sehingga tidak ada lagi sekolah yang kekurangan siswa, bahkan tidak ada siswa atau sebaliknya sekolah negeri tidak mampu menyerap semua calon siswa karena keterbatasan ruang kelas,” papar Kepala Bidang Advokasi P2G Iman Zanatul Haeri.
Oleh karena itu, kata Iman, pemerintah dalam hal ini Kemendikbudristek hendaknya melakukan evaluasi total terkait regulasi dan implementasi PPDB di setiap daerah selama tujuh tahun terakhir. Mengingat persoalan dalam implementasi PPDB masih terus terjadi dengan masalah yg sama setiap tahun. Hal ini menjadi bukti indikasi bahwa Kemendikbudristek dan pemda tidak melakukan evaluasi yang mendasar terhadap PPDB. Jika pun dilakukan hanya formalitas dan tidak ada perbaikan atau tindak lanjut yang signifikan.
PPDB bertujuan baik
Iman mengingatkan tujuan utama PPDB zonasi sebenarnya baik, yaitu untuk menciptakan keadilan dalam pendidikan dan mendekatkan anak bersekolah dekat dengan rumahnya sehingga relatif tidak berbiaya dari segi transportasi dan aman dalam jangkauan rumah. Selain itu, kebijakan ini juga memprioritaskan anak dari keluarga miskin atau ekonomi lemah untuk bersekolah.
”Adanya PPDB jalur zonasi dan afirmasi baik tujuannya. Kami setuju untuk dikaji ulang, dievaluasi total. Tetapi, bukan menghapus PPDB zonasi dan afirmasi. Jika dihapus, sekolah akan makin berbiaya mahal. Anak-anak yang tidak tertampung di sekolah negeri terpaksa bersekolah di swasta dengan biaya mahal. Padahal, sudah menjadi kewajiban negara sesuai perintah Pasal 31 UUD 1945 untuk membiayai pendidikan,” kata Iman.
Atas berbagai permasalahan berulang setiap tahunnya dalam sistem PPDB di jenjang pendidikan dasar hingga menengah, Komisi X DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Kemendikbudristek pada Juli lalu meminta agar Kemendikbudristek menyerahkan evaluasi pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2023/2024 pada akhir Oktober nanti. Dari evaluasi ini nanti akan dilihat kembali perbaikan mendasar yang perlu dilakukan dalam PPDB di tahun depan.
Wakil Ketua Komisi X DPR Dede Yusuf mengatakan, melihat kompleksnya persoalan penerimaan siswa baru, Komisi X mempertimbangkan membentuk Panja PPDB. Panja ini menjadi bentuk upaya DPR untuk bekerja menangani banyaknya laporan temuan pelanggaran yang dilakukan sejumlah oknum selama penyelenggaraan PPDB.
Dede berharap permasalahan PPDB dapat segera diselesaikan sehingga negara dapat memenuhi kewajibannya sesuai dengan amanat konstitusi UUD 1945. ”Polemik PPDB harus segera diselesaikan, dibarengi dengan upaya pemerintah untuk melakukan pemerataan fasilitas pendidikan dan meningkatkan jumlah sekolah serta kualitas gurunya. Tentunya hal ini juga akan berpengaruh jika ingin mempertahankan sistem PPDB zonasi,” kata Dede.
Dede memahami sistem PPPB zonasi bertujuan baik demi pemerataan kualitas pendidikan di Indonesia. Namun, sistem zonasi dinilai justru menimbulkan persoalan baru karena tidak dibarengi dengan pembangunan sekolah-sekolah negeri sesuai dengan kebutuhan dan lokasi.
”Yang ada justru siswa-siswa terlalu memilih ke satu dua sekolah saja, sementara yang sekolah lain jadi sepi peminat. Seharusnya ini dipetakan. Termasuk juga kebutuhan guru yang kalau kita tarik ke belakang lagi masih menjadi PR besar dunia pendidikan kita,” kata Dede.
Apalagi berdasarkan data Kemendikbudristek, permasalahan yang paling banyak dilaporkan dari dinas pendidikan yakni terkait jumlah daya tampung atau kuota siswa. Artinya, di sejumlah daerah memang ada ketimpangan antara jumlah sekolah dan jumlah siswa yang mendaftar.
”Belum lagi kalau kita berbicara soal dampak sistem agar sekolah mendahulukan siswa dengan batas usia tertentu,” kata Dede.
Terkait polemik PPDB Zonasi, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim mengatakan, PPDB sistem zonasi memperhatikan kebutuhan peserta didik untuk dapat bersekolah di dekat rumahnya sehingga menciptakan gerakan gotong royong dalam membangun sekolah bersama-sama dengan tenaga kependidikan, komite sekolah, dan seluruh warga sekolah. Kebijakan PPDB menggunakan sistem zonasi harus tetap dilanjutkan karena mampu mengatasi kesenjangan antarpeserta didik.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia Ubaid Matraji mengatakan, persoalan PPDB bukan terkait masalah teknis di lapangan atau di daerah. Ia mengatakan hal ini masalah sistemik yang dipicu oleh peraturan di level pusat, yaitu Permendikbud Nomor 1 Tahun 2023 yang masih menggunakan ”sistem seleksi” dan pemerintah tidak menyediakan bangku sekolah sesuai dengan jumlah kebutuhan.
”Mau pakai sistem apa pun, tapi daya tampung tak tersedia, kekacauan pasti akan terjadi,” ujar Ubaid.
Ubaid mengatakan pihaknya meminta PPDB jangan berdasarkan prestasi. ”Jika dilakukan, kita kembali ke pola primitif yang akan mengamputasi hak anak untuk bisa bersekolah. Bagaimana nasib anak-anak yang tidak berprestasi? Padahal, mereka adalah sama-sama anak Indonesia yang punya hak yang sama,” kata Ubaid.