Bakteri Alami "Delftia tsuruhatensis", Senjata Baru Melawan Malaria
Harapan untuk memberantas malaria muncul seiring temuan terbaru mengenai bakteri alami "Delftia tsuruhatensis" yang mampu menghambat perkembangan parasit penyebab penyakit tropis tersebut.
Proses pemeriksaan darah untuk menguji ada tidaknya parasit malaria oleh juru malaria kampung di Bintuni, Kabupaten Teluk Bintuni, Papua Barat, 1 September 2019.
Malaria merenggut nyawa lebih dari setengah juta orang setiap tahun dan kebanyakan merupakan anak-anak berusia di bawah lima tahun. Namun, strategi pengendalian penyakit tropis ini penuh tantangan antara lain nyamuk jadi kebal terhadap insektisida dan vaksin memberi perlindungan yang tidak lengkap.
Kini para peneliti menemukan senjata baru untuk melawan malaria, yakni bakteri alami yang mampu menghentikan perkembangan parasit malaria dalam usus serangga ketika diumpankan ke nyamuk. Temuan ini dapat membantu menghentikan penularan malaria dari nyamuk ke manusia.
”Hal ini melengkapi metode pencegahan malaria yang ada,” kata Carolina Barillas-Mury, yang memimpin laboratorium riset malaria dan vektor di Institut Kesehatan Nasional Amerika Serikat yang tak terlibat studi tersebut. Pendekatan ini dinilai memiliki potensi besar untuk diterapkan di daerah endemik malaria.
Sebelumnya, para peneliti mencoba menggunakan mikroba untuk mengendalikan penyakit yang ditularkan oleh nyamuk. Bakteri Wolbachia pipientis telah menunjukkan harapan untuk melawan demam berdarah dalam uji klinik baru-baru ini dan sudah digunakan di sejumlah negara di dunia.
Baca juga: Parasit Malaria Bisa Bersembunyi di Limpa Manusia
Namun, mayoritas metode untuk memblokir parasit Plasmodium penyebab malaria yang ditularkan spesies nyamuk berbeda dari demam berdarah, mengandalkan bakteri hasil rekayasa genetika. Hal itu jadi hambatan utama bagi aturan dan penerimaan publik mengingat pelepasan organisme yang diedit ke alam liar belum diketahui dampaknya.
Berdasarkan Laporan Malaria Dunia terbaru, ada 247 juta kasus malaria pada tahun 2021 dan diperkirakan angka kematian akibat malaria mencapai 619.000 orang. Pada 2021, 95 persen kasus malaria dari kawasan Afrika dan 80 persen total kasus merupakan anak-anak berusia di bawah lima tahun.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam lamannya menyebut, malaria merupakan penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium, menular ke manusia lewat gigitan nyamuk Anopheles. Penularan penyakit tropis ini bisa dicegah dan diobati, tetapi mengancam keselamatan jiwa jika penderita tak mendapat terapi yang efektif.
Sejauh ini ada lima spesies parasit penyebab malaria pada manusia dan dua di antaranya, yakni Plasmodium falciparum dan Plasmodium vivax, menjadi ancaman terbesar. Ada lebih dari 400 spesies berbeda dari nyamuk Anopheles dan 40 di antaranya sebagai spesies vektor yang bisa menularkan penyakit.
Baca juga: Vaksin Malaria Menjadi Harapan Baru
Gejala awal malaria biasanya mulai muncul 10-15 hari setelah gigitan dari nyamuk yang terinfeksi. Penderita mengalami demam, sakit kepala, dan menggigil. Dalam kondisi parah, pasien bisa mengalami antara lain kelelahan, gangguan kesadaran, sulit bernapas, dan atau urine berwarna gelap atau berdarah.
Jika infeksi parasit Plasmodium falciparum tak ditangani dalam 24 jam, kondisi pasien dapat memburuk hingga meninggal dunia. Malaria bisa memicu gagal multiorgan pada orang dewasa, dan anak-anak bisa mengalami anemia berat, gangguan pernapasan atau malaria serebral. Bayi, anak balita, dan ibu hamil berisiko lebih tinggi.
Perkembangan parasit
Di tengah tingginya angka kasus malaria, harapan muncul setelah studi terbaru yang diterbitkan pada Kamis (3/8/2023), dalam situs Science, mengungkapkan adanya bakteri yang mampu menghambat perkembangan parasit malaria dalam tubuh nyamuk tanpa ada rekayasa genetika apa pun oleh manusia.
Janneth Rodrigues, pemimpin penelitian dan pengembangan kesehatan global di GlaxoSmithKline (GSK), dan tim menemukan mikroba itu di pusat penelitian GSK di Spanyol, setelah menyadari bahwa nyamuk yang mereka gunakan untuk riset malaria di laboratorium tersebut makin sulit menginfeksi Plasmodium.
”Ternyata ada mikroba tak terduga, galur atau strain bakteri yang disebut Delftia tsuruhatensis TC1, dalam usus nyamuk ini,” kata Rodrigues dalam laporannya. Tidak jelas bagaimana bakteri itu sampai di sana meski spesies itu sebelumnya ada di usus sejumlah serangga serta di air, tanah, dan, infeksi yang didapat di rumah sakit.
Baca juga: Jalan Panjang Terbebas dari Malaria
Untuk mempelajari lebih lanjut, Rodrigues dan tim kemudian bekerja sama dengan Marcelo Jacobs-Lorena, peneliti malaria di Sekolah Kesehatan Masyarakat Johns Hopkins Bloomberg, Amerika Serikat.
Laboratoriumnya menemukan D tsuruhatensis mengganggu pertumbuhan Plasmodium di usus nyamuk, tempat parasit berkembang. Dibandingkan nyamuk yang tak punya bakteri, serangga dengan D tsuruhatensis memiliki ookista Plasmodium 75 persen lebih sedikit. ”Begitu mengenai nyamuk, itu bertahan seumur hidup,” kata Rodrigues.
Eksperimen pada hewan pengerat mengungkapkan, pertumbuhan Plasmodium yang terganggu ini menyebabkan berkurangnya penularan. Hanya sepertiga tikus yang digigit nyamuk pembawa bakteri menjadi terinfeksi, dibandingkan dengan 100 persen tikus yang digigit nyamuk biasa.
”Tingkat infeksi pada nyamuk mulai berkurang sehingga pada akhir tahun nyamuk tidak akan terinfeksi parasit malaria,” tutur Rodrigues yang memimpin program penelitian tersebut. Tim membekukan sampel dari eksperimen mereka dan kembali ke sana dua tahun kemudian untuk mengeksplorasi apa yang telah terjadi.
”Riset ini mengidentifikasi D tsuruhatensis sebagai alat mencegah malaria,” demikian dikatakan Jacobs-Lorena, kepada BBC, pekan lalu. Begitu ada dalam serangga, bakteri menghalangi perkembangan parasit. D tsuruhatensis tak memengaruhi kelangsungan hidup nyamuk dan keturunannya sehingga serangga tak resisten terhadapnya.
Molekul Harmane
Peneliti di Johns Hopkins memahami cara bakteri merusak Plasmodium, yakni mengeluarkan molekul kecil yang dikenal sebagai harmane, senyawa ini menghambat tahap awal parasit malaria tumbuh di usus nyamuk. Memberi makan senyawa ini pada nyamuk menghambat perkembangan parasit.
”Ini membuka kemungkinan bahwa harmane dapat digunakan untuk merawat permukaan yang bersentuhan dengan nyamuk,” kata Rodrigues. Para ilmuwan GSK menemukan, harmane bisa tertelan oleh nyamuk jika dicampur dengan gula atau diserap melalui kutikula saat bersentuhan.
Dalam percobaan terakhir, para ilmuwan bekerja sama dengan para peneliti di Burkina Faso untuk menguji pendekatan pada nyamuk dalam kandang berjaring yang dirancang untuk menyimulasikan dunia nyata dengan tanaman dan tempat berkembang biak.
Dengan bola-bola kapas yang dibasahi gula dan D tsuruhatensis, hal itu cukup untuk mengolonisasi tiga perempat populasi nyamuk dengan bakteri tersebut dalam semalam. Ketika nyamuk-nyamuk itu mengisap darah penderita malaria, bakteri tersebut menghalangi perkembangan parasit seperti yang terjadi di laboratorium.
Ada begitu banyak bakteri dan mikroba berbeda yang berasosiasi dengan nyamuk. Potensi penggunaan mikroba ini untuk mengendalikan penyakit sangat menjanjikan.
”Ini merupakan karya yang amat mengesankan,” kata Grant Hughes, ahli biologi vektor di Liverpool School of Tropical Medicine yang tak terlibat riset itu. Pendekatan eksperimental untuk memahami efek bakteri pada penularan malaria dan identifikasi harmane sebagai senyawa penyerang Plasmodium berguna bagi riset di masa depan.
Barillas-Mury menyoroti temuan penting lainnya dari riset ini, yakni D tsuruhatensis tidak ditularkan di antara nyamuk. Hal ini merupakan nilai tambah dari perspektif keselamatan dan dapat mempermudah jalan mendapatkan persetujuan otoritas terkait aturan penggunaan bakteri dalam upaya pemberantasan malaria.
Rodrigues menambahkan, produk akhir bisa berupa bubuk mengandung bakteri atau harmane dicampur umpan manis untuk menarik serangga. Saat ini, para peneliti menjalankan eksperimen tambahan untuk menguji keamanan metode tersebut untuk memastikan misalnya, bakteri itu tak membahayakan serangga lain seperti lebah.
Hughes berharap studi ini mendorong riset mengenai bakteri usus lain yang mungkin memiliki efek serupa. ”Ada begitu banyak bakteri dan mikroba berbeda yang berasosiasi dengan nyamuk. Potensi penggunaan mikroba ini untuk mengendalikan penyakit sangat menjanjikan,” tuturnya.
Lebih lanjut, uji coba saat ini dilakukan di fasilitas riset lapangan disebut MusquitoSphere di Burkina Faso untuk menilai seberapa efektif dan aman memakai harmane berskala besar di dunia nyata. Harapannya, dengan intervensi berbasis bakteri ini menjadi produk, para ilmuwan bisa memiliki alat lain untuk melawan malaria.
Gareth Jenkins dari badan amal Malaria No More menilai, temuan baru itu menjanjikan. ”Malaria membunuh seorang anak tiap menit. Kemajuan signifikan dicapai dalam mengurangi beban global malaria. Namun, kita butuh alat baru dan inovatif untuk mengakhiri ancaman malaria dalam hidup kita,” ujarnya.