Katanya, orang-orang lebih patuh pada hukum adat dibandingkan undang-undang atau hukum formal lain yang asing di kuping. Adat jadi pelekat niat melestarikan Sungai Batanghari yang kini tercemar.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
Di tengah teriknya sinar matahari, masyarakat Desa Muaro Pijoan, Kecamatan Jambi Luar Kota, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, menyambut rombongan Ekspedisi Sungai Batanghari yang merapat ke desa mereka, Rabu (2/8/2023). Rombongan terdiri antara lain dari komunitas pencinta lingkungan, peneliti, jurnalis, dan perwakilan pemerintah.
Ekspedisi ini bagian dari festival Kenduri Swarnabhumi. Festival digelar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi bekerja sama dengan 12 pemerintah daerah di Sumatera Barat dan Jambi. Festival budaya ini untuk mengajak publik melestarikan Sungai Batanghari.
Ekspedisi dimulai dari hulu di Kabupaten Dharmasraya, Sumatera Barat, pada 27 Juli 2023. Rombongan ekspedisi akan sampai di hilirnya, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, 9 Agustus 2023. Ada tujuh titik yang menjadi tempat perhentian. Desa Muaro Pijoan salah satunya.
Untuk mencapai Muara Pijoan, rombongan berangkat dari Kota Jambi berperahu cepat menyusuri Sungai Batanghari sekitar 30 menit. Kecepatan kapal dikurangi ketika rombongan memasuki Sungai Pijoan, anak Sungai Batanghari. Selanjutnya, butuh waktu 40 menit untuk merapat di sebuah kawasan bernama Lubuk Guci Mas di Desa Muara Pijoan.
Lubuk Guci Mas merupakan ekowisata desa itu. Terdapat area yang ditetapkan sebagai lubuk larangan. Ikan-ikannya tidak boleh diambil. Kawasan itu juga tidak boleh dirusak. Adapun lubuk berarti area sungai yang lebar dan dalam. Cocok sebagai habitat ikan.
Lubuk larangan itu membentang sepanjang 900 meter. Dibagi menjadi zona penyangga pertama (300 meter), zona inti (300 meter), dan zona penyangga kedua (300 meter). Penetapan lubuk larangan dilakukan setelah musyawarah tokoh adat bersama masyarakat.
”Kita ingin pulihkan kembali (lubuk larangan),” kata Kepala Desa Muaro Pijoan Yuh Yandi.
Habitat ikan
Sungai Pijoan dulunya habitat berbagai spesies ikan seperti arwana dan belida. Sejumlah pihak menyebut kini ikan arwana tak tampak lagi di sungai itu. Ikan belida juga semakin langka.
Adapun belida kini berstatus dilindungi menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 1 Tahun 2021 tentang Jenis Ikan yang Dilindungi. Siapa pun harus melepas ikan belida yang tertangkap. Jika ikan belida ditangkap dengan sengaja, masyarakat bisa dikenai Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan Pasal 100 juncto Pasal 7 Ayat 2 Huruf C dengan denda maksimal Rp 250 juta (Kompas.id, 3/9/2021).
Ikan-ikan hilang antara lain karena sungai tercemar dan eksploitasi sumber daya alam.
Ikan-ikan hilang antara lain karena sungai tercemar dan eksploitasi sumber daya alam. Yuh Yandi mengatakan, perkembangan zaman ditambah desakan ekonomi membuat masyarakat mengambil ikan secara sembarangan dengan racun dan setrum.
”Seluruh masyarakat sekarang menjaga (sungai) karena diikat dengan aturan adat dan sanksi. Apabila kita mengambil ikan atau merusak lubuk larangan, salah satu sanksinya membayar dengan satu ekor kambing ke pihak adat,” katanya.
Masyarakat yang dulu mengambil ikan dengan cara merusak akan dirangkul untuk mengurus desa wisata. Mereka diharapkan punya pendapatan dari situ sebagai kompensasi atas larangan mengambil ikan di lubuk larangan. Ikan-ikan diharapkan bisa berkembang biak alami di lubuk larangan. Hingga kini, terdata 46 spesies ikan di kawasan Desa Muaro Pijoan, seperti betutu, baung, dan tapah.
Spesies menyusut
Kondisi sungai di Desa Muaro Pijoan hanya cuplikan dari kondisi Sungai Batanghari saat ini. Menurut cerita orang-orang lama, sungai terpanjang di Sumatera ini dulu berair jernih. Warga mandi, berenang, minum, dan memasak dengan air sungai. Makan pun berlauk ikan dari sungai.
Iktiolog dari Universitas Jambi, Tedjo Sukmono, mengatakan, pada 1994 hingga 2000-an masih ada sekitar 300 spesies ikan di Sungai Batanghari. Kini, jumlahnya tinggal 100-an spesies. Pencemaran menjadi salah satu penyebab rusaknya sungai.
Sejumlah penelitian menemukan kandungan logam berat merkuri di air sungai. Sumbernya disinyalir dari pertambangan emas liar di daerah aliran sungai. Selain itu, pencemaran juga terjadi karena sampah rumah tangga dan banyaknya jamban di atas sungai.
”Saya mencatat ada 1.000-an (fasilitas) MCK (mandi, cuci, kakus) dan 500-an peti (pertambangan emas tanpa izin) selama ekspedisi dari Kabupaten Tebo ke Kabupaten Muaro Jambi,” ujar Tedjo.
Selama berlangsung ekspedisi, Tedjo mengumpulkan sampel air dan ikan. Bagian usus, hati, ginjal, telur, dan daging ikan diteliti. ”Kalau ada pencemaran berat, (organ dalam) tubuh ikan akan rusak,” katanya. Hal ini mesti jadi perhatian karena pencemaran di sungai yang tampak jauh di sana bisa berakhir di meja makan manusia.
Butuh kerja sama semua pihak untuk memperhatikan sungai yang jadi sumber penghidupan. Penetapan zona konservasi ekosistem sungai dibutuhkan. Pengaturan jumlah dompeng jika jumlahnya tak terkendali, juga mesti dilakukan untuk menekan kerusakan sungai.
Sudah banyak cerita tetua tentang jernihnya sungai masa lampau yang bagi generasi sekarang terdengar seperti legenda. Semoga pelestarian sungai bukan jargon semata. Semoga festival kebudayaan bukan komitmen seremonial belaka.