Perempuan Terus Mengalami Kekerasan hingga Pascabencana
Perlindungan pada perempuan dan anak perempuan dalam situasi bencana hingga kini masih minim. Sejumlah penyintas bencana mengalami kekerasan berbasis jender saat tanggap darurat hingga pascabencana.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kekerasan berbasis jender dalam berbagai bentuk rentan dialami para perempuan dan anak perempuan, termasuk penyandang disabilitas, dalam situasi bencana. Selain terjadi dalam kondisi darurat bencana, kekerasan berbasis jender masih menimpa sejumlah penyintas bencana saat berada di pengungsian ataupun hunian sementara.
Pengalaman sejumlah perempuan korban bencana alam di beberapa tempat menunjukkan, pascabencana, ancaman kekerasan berbasis jender terus mengintai perempuan dan anak.
Di Sulawesi Tengah, pascagempa bumi, tsunami, likuefaksi di Kota Palu, Kabupaten Donggala, Sigi, dan Parigi Moutong pada 28 September 2018, berbagai kekerasan berbasis jender menimpa perempuan dan anak.
Catatan dari Perkumpulan Lingkar Belajar untuk Perempuan (Libu Perempuan) Sulteng menunjukkan, hingga hampir lima tahun bencana terjadi, kekerasan berbasis jender terus dialami perempuan dan anak penyintas bencana. Bahkan, tiga tahun terakhir (2021-2023), terdapat 115 kasus kekerasan yang dialami perempuan dewasa (82 kasus) dan anak-anak (33 kasus).
Sebelumnya, pada pada periode 2018-2020, tercatat 143 kasus yang menimpa perempuan dan anak, mulai dari pemerkosaan, pelecehan seksual, pengintipan, perkawinan anak, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), hingga gangguan kesehatan reproduksi.
”Situasi yang dialami pengungsi pada saat darurat dan tanggap darurat hingga tinggal hunian sementara memang sangat berisiko, terutama perempuan dan kelompok rentan,” ujar Dewi Rana Amir, Direktur Libu Perempuan Sulteng.
Dewi mengutarakan hal itu pada konferensi pers ”Kondisi dan Pemenuhan Hak Perempuan dalam Situasi Bencana di Indonesia” yang diselenggarakan oleh CEDAW Working Group Indonesia (CWGI) bekerja sama dengan Yappika-ActionAid, Jumat (4/8/2023).
Dilihat dari kasus, yang paling banyak dialami perempuan dewasa adalah kasus KDRT dan kekerasan seksual. Adapun di kalangan anak-anak didominasi kasus kekerasan seksual, kekerasan berbasis jender daring, dan penelantaran.
Menurut Dewi, di lokasi pengungsian, perempuan dan anak perempuan sangat berisiko mengalami kekerasan berbasis jender karena satu lokasi pengungsian bisa dihuni sekitar 30 keluarga yang tidak saling mengenal. ”Mereka terpaksa tinggal bersama di tenda-tenda dan ini membuka risiko kekerasan, terutama pada remaja,” ungkapnya.
Tidak hanya rentan terhadap kekerasan berbasis jender, sejumlah perempuan penyintas bencana, terutama yang kehilangan anak dan keluarga, juga masih dihantui trauma. Temuan terbaru dari Libu Perempuan dua pekan lalu, sejumlah perempuan di lokasi hunian sementara mengaku mengonsumsi obat penenang.
Mereka terpaksa tinggal bersama di tenda-tenda dan ini membuka risiko kekerasan, terutama pada remaja.
”Jadi, masalah psikososial belum selesai. Bagaimana ibu-ibu yang kehilangan anaknya sampai saat ini harus bertarung, masih terus mengingat kejadian waktu bencana, sehingga masih harus minum obat penenang. Pemulihan ke depan masih penting untuk kita lakukan,” kata Dewi.
Konferensi pers yang dipandu Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), ini juga dihadiri Revita Alvi (Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia), Indira Hapsari (Yappika-Action Aid), Ninil Jannah (Sekjen Platform Nasional Pengurangan Risiko Bencana), Khotimun Sutanti (Asosiasi LBH APIK Indonesia), dan Rena Herdiyani (Yayasan Kalyanamitra).
Belum sensitif disabilitas
Revita mengungkapkan, perempuan disabilitas merupakan salah satu kelompok paling rentan terkena dampak perubahan iklim dan bencana. Bahkan, pada saat bencana, perempuan disabilitas menghadapi kerentanan berlapis lantaran perempuan dan disabilitasnya.
Saat terjadi bencana di Palu, misalnya, pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi disabilitas dan nondisabilitas disamakan. Petugasnya tidak tahu keberadaan disabilitas sehingga bantuan tidak terorganisasi dengan baik.
”Infrastruktur di lokasi pengungsian juga tidak aksesibel, misalnya tempat air bersih, kamar mandi, dan toiletnya jauh. Bagi disabilitas fisik, sangat menyulitkan,” kata Revi.
Selain pengungsi, dalam situasi bencana, menurut Khotimun Sutanti, perlindungan pada sukarelawan perempuan juga masih lemah. Padahal, mereka sangat rentan mengalami kekerasan berbasis jender pada saat membantu korban bencana.
Dari Studi Kebijakan tentang CEDAW dalam Situasi Bencana yang dilakukan Yappika tahun 2023 ditemukan data terpilah terkait pengungsi bencana belum terpusat di tingkat nasional. Data terpilah baru difasilitasi dalam beberapa kejadian bencana, seperti di sejumlah daerah di Sulawesi Barat, Lumajang, Cianjur, Pasaman, dan Pasaman Barat.
Menurut Indira, analisis, perencanaan, pelaksanaan, dan pelaporan program pemerintah juga dinilai masih netral jender serta masih terdapat kesenjangan dalam partisipasi dan kebermanfaatannya. Sementara program di desa yang terkait dengan tanggap bencana belum mengedepankan kepemimpinan perempuan dalam respons krisis kemanusiaan dan membangun resiliensi komunitas.
”Program Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak, kita sudah mempunyai model yang cukup kuat, tetapi saat ini belum mengintegrasikan perspektif penanggulangan bencana dan adaptasi perubahan iklim,” ujarnya.