Pastikan Kejelasan Indikator Capaian dalam Rencana Induk Kesehatan
Penghapusan anggaran wajib kesehatan oleh pemerintah melalui UU Omnibus Kesehatan masih menuai perdebatan. Pemanfaatan anggaran kesehatan perlu dipastikan mendukung pelayanan yang lebih optimal di masyarakat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah melalui Undang-Undang Omnibus Kesehatan telah mengubah ketentuan anggaran wajib atau mandatory spending untuk kesehatan menjadi anggaran berbasis kinerja. Capaian kinerja nantinya akan diukur sesuai dengan Rencana Induk Kesehatan. Untuk itu, indikator yang disusun dalam rencana induk tersebut perlu dipastikan jelas dan terukur.
Staf Khusus Menteri Kesehatan Laksono Trisnantoro, yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada, mengatakan, ketentuan penetapan anggaran wajib kesehatan yang sebelumnya dijalankan di Indonesia tidak menjamin ketepatan alokasi dalam anggaran. Anggaran yang digunakan selama ini lebih banyak untuk intervensi kuratif karena perencanaan dalam pemanfaatan anggaran dilakukan setelah kejadian terjadi.
”Sebagian besar anggaran kesehatan meningkat untuk biaya jaminan kesehatan nasional, sementara anggaran untuk kegiatan kesehatan masyarakat di Kementerian Kesehatan relatif tidak berubah. Adanya mandatory spending ini tidak menjamin penyerapan yang baik,” tuturnya dalam diskusi publik ”Bedah Tematik UU Kesehatan: Mandatory Spending Hilang dari UU Kesehatan” di Jakarta, Jumat (4/8/2023).
Selain itu, Laksono menyampaikan, pengalaman penerapan anggaran wajib selama ini juga tidak menjamin pemerataan anggaran yang baik di semua wilayah. Efisiensi anggaran pun belum terjadi secara optimal.
Ia mengatakan, anggaran wajib kesehatan yang selama ini diterapkan di Indonesia dinilai belum sesuai dengan referensi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Anggaran wajib sesuai rekomendasi WHO minimal sebesar 5 persen dari produk domestik bruto (PDB) negara, sedangkan di Indonesia menggunakan batasan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Belanja kesehatan di Indonesia saat ini baru sekitar 3 persen dari PDB. Jumlah itu lebih rendah dari China yang sebesar 5,3 persen dan Thailand sebesar 3,8 persen.
Laksono mengatakan, apabila Indonesia ingin meningkatkan anggaran belanja kesehatan sampai 5 persen, artinya dibutuhkan tambahan 2 persen dari PDB atau sekitar Rp 360 triliun. ”Dengan pajak yang rendah dan kebutuhan sektor lain yang besar, tidak mungkin jika semua tambahan itu didanai dari APBN atau APBD. Perlu tambahan juga dari pendanaan masyarakat,” katanya.
Berangkat dari keterbatasan keuangan tersebut, tambah Laksono, diperlukan perencanaan anggaran berbasis kinerja. Dengan begitu, anggaran yang digunakan tidak terbatas pada besaran yang ditentukan.
Pemerintah pun kini tengah merancang Rencana Induk Kesehatan yang nantinya akan digunakan sebagai acuan kinerja dan penggunaan anggaran bagi pemerintah, baik di level pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Hasil kinerja akan diukur dari indikator yang jelas. Kegiatan yang dilakukan dari pemanfaatan anggaran juga perlu dipantau.
Rencana Induk Kesehatan
Laksono mengatakan, perubahan pemanfaatan anggaran kesehatan berbasis kinerja membutuhkan kemampuan yang baik dari pemerintah untuk merancang kegiatan dan pembangunan kesehatan yang berfokus pada hasil. Kemampuan pemerintah dalam pencatatan dan kualitas data terkait kinerja kesehatan juga harus ditingkatkan.
Penetapan anggaran wajib kesehatan yang sebelumnya dijalankan di Indonesia tidak menjamin ketepatan alokasi dalam anggaran.
Pergeseran pemanfaatan anggaran yang merujuk pada Rencana Induk Kesehatan dinilai membutuhkan perubahan mentalitas pemerintah untuk menjadi pelaku berbasis kinerja. Hal ini menjadi tantangan yang perlu diperhatikan oleh pemangku kepentingan.
”Jika ditanya apakah hilangnya mandatory spending menjadi anggaran berbasis kinerja akan lebih baik atau tidak, itu tentu perlu evaluasi lebih lanjut. Saat ini, para ahli diharapkan bisa membantu untuk merumuskan Rencana Induk Kesehatan sesuai undang-undang ke seluruh pemerintah di lebih dari 500 kabupaten/ kota,” ujar Laksono.
Ketua Bidang Kajian Kebijakan Pengurus Pusat Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) Wahyu Sulistiadi menuturkan, keputusan pemerintah yang menghilangkan anggaran wajib kesehatan dalam UU Omnibus Kesehatan masih perlu dikaji ulang. Sebab, anggaran wajib merupakan wujud dari tanggung jawab pemerintah untuk masyarakat pada sektor kesehatan. Anggaran wajib ini juga seharusnya bisa menjadi cara untuk mengurangi masalah ketimpangan sosial dan ekonomi di daerah.
Apabila aturan anggaran wajib kesehatan harus diubah berbasis kinerja, kebijakan yang mengatur kewajiban kinerja pun perlu diatur secara detail. Target persentase kinerja harus tertulis secara jelas dalam peraturan. Selain itu, indikator capaian minimal dari penurunan prevalensi penyakit perlu ditentukan.
”Dalam mandatory performance (kinerja wajib), banyak indikator kinerja yang harus diatur. Program yang dijalankan juga harus bisa mencapai indikator kinerja yang ditentukan,” kata Wahyu.