Membincangkan Feminisme dengan Merdeka
Kendati baru pertama kali digelar, KCIF 2023 menjadi ruang berbagi pengetahuan hasil riset dan kajian tentang feminisme, jender, dan seksualitas sekaligus menguatkan feminisme Indonesia yang plural dan inklusif.
Penyelenggaraan 1st Annual Kartini Conference on Indonesian Feminism atau KCIF 2023 yang berlangsung pada 20-23 Juli 2023 menunjukkan bahwa feminisme yang plural dan inklusif menarik didiskusikan bersama.
Perbincangan mengenai feminisme Indonesia dari sudut pandang yang berbeda-beda selama konferensi tersebut memperkaya pengetahuan para aktivis gerakan feminisme di Indonesia.
Selama empat hari, konferensi yang mengusung tema”Merayakan dan Menguatkan Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif” itu menampilkan keberagaman sumber daya aktivisme dan intelektualisme gerakan feminisme di Indonesia. Konferensi tersebut juga menjadi ruang belajar untuk mengetahui seperti apa gerakan feminisme Indonesia.
Di konferensi yang berlangsung secara daring ini, para peserta dan pembicara sama-sama membincang tentang feminisme Indonesia secara bebas dan merdeka, membagi pengetahuan dan pengalaman dalam ruang-ruang diskusi dari pagi, siang, petang, hingga malam.
Konferensi yang diselenggarakan oleh LETSS Talk (Let’s Talk about SEX n SEXUALITIES), Konde.co, dan Padepokan Perempuan GAIA menampilkan 118 judul paper dan 31 tema diskusi yang dilakukan dalam sesi-sesi diskusi di KCIF 2023.
Konferensi dibuka dengan sesi yang menampilkan pembicara kunci, Sylvia Tiwon, Guru Besar dari Departemen Studi Asia Selatan dan Tenggara, Universitas California Berkeley, Amerika Serikat, yang membahas tentang feminisme di Indonesia.
Sylvia melalui materinya yang berjudul ”Dari Sejarah Perempuan dan Gender Nusantara ke Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif” menggambarkan feminisme di Indonesia dengan metafora angkot (angkutan kota).
Feminisme Indonesia ibarat angkot yang memiliki trayek, penumpang, dan muatan dengan segala aturan, tetapi berada dalam posisi kepentingan pribadi, serta berada pada persimpangan kepentingan berbagai tingkatan pemerintahan dari kota hingga negara dan kepentingan publik.
Karena itu, Sylvia melemparkan pertanyaan, apakah feminisme Indonesia seperti angkot yang hanya boleh melewati rute yang ditetapkan, yakni berangkat dan kembali terus di titik yang sama? ”Kita tahu awal gerakan feminisme modern di Indonesia terjadi pembedaan yang agak ketat antara biologi dan jender. Kita tahu pembagian itu sarat negosiasi politik,” ujar Sylvia.
Semangat yang dimiliki Kartini merupakan semangat yang harus menghancurkan segala hambatan dan kungkungan lama.
Sarat negosiasi politik karena tingginya resistensi terhadap ”feminisme” di kalangan masyarakat Indonesia. Feminisme umumnya dianggap sebagai ”impor” dari asing. Namun, resistensi tersebut terjadi ketika Indonesia justru membuka diri terhadap penanaman modal asing tanpa hambatan.
Pada konferensi tersebut, Sylvia menggugah para aktivis feminisme di Indonesia agar membongkar sekat antara perempuan sebagai makhluk sosial dengan tubuhnya sendiri dan dengan tubuh-tubuh lain. Sebab, hingga kini masih ada perbedaan yang ketat dalam melihat biologi di satu pihak dan jender di lain pihak.
”Jadi, pengakuan akan tubuh itu sebetulnya banyak sekali dampaknya. Feminisme yang plural dan inklusif juga mengangkat kembali tubuh-tubuh lain, yang tidak masuk dalam hierarki tubuh resmi yang diterima,” kata Sylvia.
Maka, feminisme yang plural dan inklusif akan merangkul segala perbedaan dan kembali ke tubuh. Merangkul tubuh yang berbeda berarti dikembalikannya seksualitas ke dalam teori dan praktik, dan wacana feminisme.
Baca juga: Menguatkan Feminisme Indonesia yang Plural dan Inklusif
Dalam konferensi tersebut, sosok pahlawan nasional RA Kartini pun ikut menjadi perbincangan dalam topik feminisme, selain karena konferensi tersebut mengambil nama Kartini. Kartini dinilai memiliki posisi yang unik dalam sejarah sosial-politik dan sejarah pemikiran di Indonesia.
Kartini, menurut Sylvia, sering dianggap kurang mewakili Indonesia karena tidak pernah menyebut nasionalisme, sebagaimana ungkapan Kartini ”saya tidak menjadi bagian dari Hindia sekarang ini”. Karena Kartini justru menempatkan negara jajahan dalam jaringan kepentingan global.
Semangat yang dimiliki Kartini merupakan semangat yang harus menghancurkan segala hambatan dan kungkungan lama. Bahkan, kata-kata Kartini pada akhir abad ke-19 sudah menceritakan bagaimana jiwanya, semangatnya akan mati tetapi diselamatkan oleh ”semangat” zaman.
Kata-kata Kartini tersebut adalah: ”Langkahnya dapat didengar di mana-mana. Semakin mendekatnya langkah tersebut, struktur-struktur lama yang angkuh, kukuh, dan kuno goyah sampai ke fondasinya, pintu-pintu yang dijaga ketat terbuka, ada yang seakan terbuka sendiri, ada yang terbuka dengan susah-payah. Tetapi akhirnya terbuka dan mengizinkan masuk tamu yang tak dikehendaki itu”.
Conference Chair Diah Irawaty dari LETSS Talk menggambarkan, Kartini di mata Indonesia sebagai sosok familiar sekaligus asing. ”Kita merasa sangat mengenalnya, tetapi sering kali tidak paham pemikirannya yang sesungguhnya. Kartini menjadi simbol gerakan kritis sekaligus status quo. Kartini merepresentasikan kolonialisme sekaligus dekolonialisme,” katanya.
Diskusi tanpa sekat
Selama empat hari, peserta KCIF dan pembicara lebur dalam kebersamaan-tanpa sekat, saling berbagi pengetahuan dan pengalaman, di semua ruang diskusi. Selain mengangkat tema gerakan feminisme digital dan produksi pengetahuan feminisme, selama konferensi berlangsung sejumlah topik yang sangat lekat dengan kehidupan perempuan pun menjadi perbincangan yang menarik.
Selain krisis ekologi, beberapa tema lain juga dibahas di dalamnya, mulai dari kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender daring hak dan keadilan reproduksi, kekerasan dalam rumah tangga, keragaman jender dan seksual, pendidikan seks dan seksualitas, gerakan perempuan adat, perempuan buruh, pekerjaan perawatan dan pekerja rumah tangga, dan perlindungan hak anak.
Di konferensi tersebut juga membincangkan tema childfree atau keputusan pasangan untuk tidak memiliki anak dalam pernikahan mereka, yang beberapa waktu lalu ramai dibahas di media sosial.
Baca juga: Kartini dan Feminisme di Indonesia
Di hari terakhir KCIF 2023, digelar diskusi dengan tema ”Kontekstualisasi Pemikiran Kartini: Dari Kritik Politik Gender Orde Baru ke Feminisme Indonesia yang Heterogen”yangmenghadirkan Kamala Chandrakirana (feminis pegiat HAM dan Keadilan Sosial) dan Kristi Poerwandari (Guru Besar Psikologi Universitas Indonesia dan pendiri Yayasan Pulih).
Meski baru pertama kali berlangsung, KCIF 2023 setidaknya bisa menjadi contoh bagaimana sebuah forum bisa menjadi ruang saling berbagi pengetahuan, menghargai perbedaan pendapat, saling menghormati kebebasan berpikir, dan memberikan masukan dengan tetap bersedia untuk dikritik.
Kendati diskusinya berlangsung nonstop selama empat hari, animo para partisipan untuk berdiskusi secara virtual cukup tinggi. Bahkan, pada sesi diskusi yang berlangsung di malam hari, hingga waktu yang ditetapkan panitia berakhir, peserta dan pembicara masih saja aktif berdiskusi.
Perbedaan waktu antara Indonesia dan Amerika Serikat tidak menjadi halangan bagi Diah Irawaty dan Farid Muttaqin (Co-Founder LETSS Talk) untuk hadir secara virtual sepanjang penyelenggaraan KCIF 2023. ”Kami takjub dengan keragaman tema feminisme yang menjadi bagian dari KCIF. Ini menggambarkan kekayaan tema-tema feminisme di Indonesia,” kata Diah.
Selain menjadi ruang pertemuan feminis, KCIF 2023 juga menjadi ruang saling berempati, bersolidaritas, saling menyemangati, dan membuka kemungkinan kolaborasi. ”Kami berusaha membuat forum yang tidak elitis. Dalam arti tidak menghadirkan rasa takut, malu, enggan, khawatir, minder, pada peserta dengan latar belakang yang berbeda-beda,” tambah Diah.
Karena itu, selama penyelenggaraan KCIF 2023, semua yang terlibat berusaha membangun ruang yang kritis sekaligus nyaman bagi semua orang untuk bebas bicara, berpendapat, dan bersedia saling mendengarkan.
”KCIF menyadarkan kita, para feminis lewat forum feminis bisa berkontribusi besar pada penguatan tradisi akademik yang kritis dan menghargai kebebasan berpendapat, kebebasan berekspresi,” ujar Farid.
Bagi Sulistyowati Irianto, Guru Besar Antropologi Hukum Universitas Indonesia, KCIF 2023 memiliki makna yang sangat penting sebagai ruang berbagi produksi ilmu pengetahuan lintas bidang tentang pemikiran dan metodologi dari studi perempuan dalam berbagai isu.
”Akademisi, praktisi, dan pegiat perempuan melebur dalam suatu gerakan yang solid. Kolaborasi semacam ini yang tidak selalu terjadi dalam banyak bidang keilmuan lain,” kata Sulistyowati.
Tak hanya itu, penyelenggaraan KCIF 2023 juga membuktikan bahwa sebuah konferensi dengan ratusan peserta dan pembicara dari dalam dan luar negeri, dari berbagai latar belakang, bisa terlaksana tanpa harus dengan biaya mahal.
”Selama ini kita sulit mengumpulkan pemikiran perempuan berbasis penelitian dan pengalaman dalam bentuk konferensi karena biayanya mahal, tetapi KCIF 2023 berhasil menghadirkan hal itu dengan semangat kesukarelaan. Maka, kolaborasi jadi sebuah kata kunci,” ujar Luviana, Pemimpin Redaksi Konde.co.