Dua Peneliti Indonesia Dipercaya dalam Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim
Dua dari 34 ilmuwan dunia dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC berasal dari Indonesia. Mereka adalah Edvin Aldrian dan Joni Jupesta.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
ISTIMEWA
Prof Edvin Aldrian (kelima dari kiri atas) dan Dr. Joni Jupesta (keempat dari kanan atas) saat berfoto bersama dengan delegasi ASEAN pada pertemuan IPCC di Nairobi, Kenya, 28 Juli 2023
JAKARTA, KOMPAS —Dua dari tiga puluh empat ilmuwan dunia yang tergabung dalam Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim atau IPCC berasal dari Indonesia. Adanya perwakilan dari Indonesia yang menjabat posisi penting di IPCC ini diharapkan dapat turut berkontribusi dalam mengatasi perubahan iklim, khususnyamendorong negara-negara di dunia untuk mengambil aksi iklim yang lebih cepat dan konkret.
Dua ilmuwan atau peneliti asal Indonesia yang menjabat posisi penting di IPCC adalah Profesor Edvin Aldrian dan dan Joni Jupesta. Edvin terpilih kembali menjadi Vice Chair Working Group I, sedangkan Joni menjadi anggota The Task Force on National Greenhouse Gas Inventories (TFI).Keduanya dipilih berdasarkan pemungutan suara dari negara anggota IPCC yang dilakukan di Nairobi, Kenya, 25 hingga 28 Juli 2023.
Sejak 2015, Edvin telah dipercaya oleh anggota IPCC dalam posisi yang sama. Menurut Edvin,proses untuk menjabat sebagai Vice Chair Working Group I kali ini cukup menantang karena harus bersaing dengan ilmuwan dari Australia, Selandia Baru, dan Malaysia.
”Voting di IPCC berlaku regional. Mengingat saya berasal dari Indonesia, maka voters saya berasal dari regional lima, yaitu Asia Tenggara, Pasifik Barat Daya, dan ASEAN. Saya dibantu negara kepulauan seperti Tonga, negara-negara Muslim seperti Bangladesh, Bahrain, Turki, dan juga Amerika Latin,” ujarnya dalam siaran pers, Rabu (2/8/2023).
Temuan terakhir pada tahun ini, kenaikan suhu 1,5 derajat celsius justru akan dicapai tahun 2030.
Pemungutan suara dalam menentukan jabatan IPCC biasa dilakukan dua kali. Namun, kali ini pemungutan suara hanya dilakukan sekali karena Edvin telah mencapai voting di atas 50 persen dalam putaran pertama. Adapun total perwakilan negara yang memilih Edvin hingga diklaim sebagai pemenang sebanyak 74 dari 104 negara.
KOMPAS/BRIGITTA ISWORO LAKSMI
Edvin Aldrian
Edvin menyebut, tujuan dia berkiprah di IPCC karena memiliki visi dan misi untuk melanjutkan kembali penelitian yang dibuatnya. Sebelumnya, Edvin telah menyiapkan suatu proyeksi dan pemodelan di wilayah Asia Tenggara yang bekerja sama dengan peneliti dari Filipina, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Hasil penelitiannya sudah bisa diakses di situs IPCC dan dimanfaatkan oleh negara-negara di dunia untuk menjadi dasar kebijakan terkait perubahan iklim.
Dalam penugasan ke depan, Edvin akan melakukan penelitian untuk laporan asesmen ke-7. Laporan ini berfokus pada tiga polar di dunia, yakni polar pertama di kutub es, polar kedua di daratan, dan polar ketiga di Himalaya. Ia juga akan melakukan penelitian di bidang iklim perkotaan yang berkaitan dengan polusi udara yang berpengaruh pada kesehatan.
”Saya menilai bahwa apa yang terjadi di Himalaya terkait dengan perubahan iklim. Apa yang terjadi di Himalaya dapat berdampak pada negara-negara di sekitarnya, seperti Pakistan, India, Sri Lanka, Bangladesh, dan sebagian negara di Asia Tenggara,” tuturnya.
Selain itu, ke depan, ia juga berharap kebijakan mitigasi perubahan iklim harus lebih kuat. Sebab, berdasarkan kalkulasi IPCCsecara periodik dari tahun 2018, pencapaian kenaikan suhu 1,5 derajat celsius diperkirakan bisa terjadi tahun 2052.
PETRUS RADITYA MAHENDRA YASA
Wisatawan yang berjalan mendaki menyusuri formasi glester Perito Moreno di Taman Nasional Los Glaciares, Argentina, Selasa (2/11/2021). Perubahan iklim yang memicu pemanasan global menimbulkan kekhawatiran terhadap percepatan mencairnya es di beberapa kawasan di dunia.
Namun, perkiraan ini semakin memburuk ketika proyeksi kembali dilakukan tiga tahun kemudian atau pada 2021, yaknikenaikan suhu 1,5 derajat celsius akan terjadi pada 2042. Bahkan, temuan terakhir pada tahun ini, kenaikan suhu 1,5 derajat celsius justru akan dicapai tahun 2030.
Hal senada juga disampaikan Joni Jupestayang merupakan dosen dan peneliti aktif di The United Nations University (UNU) Tokyo, Jepang. Ia menyepakati mitigasi perubahan iklim perlu dilakukan lebih agresif lagi. Ke depan, gugus tugas ini akan melakukan harmonisasi data antarnegara.
”Karena situasi sekarang semakin berat, IPCC nanti akan membuat metodologi yang dapat digunakan negara-negara dalam melakukan perhitungan gas rumah kaca dan melakukan tabulasi statistik serta pengumpulan data. Dengan demikian, akan tercipta harmonisasi data antarnegara berkembang, negara maju, seperti Indonesia, Brasil, Rusia, dan China,” katanya.