Mengoptimalkan Potensi Tumbuhan Macaranga
Pohon mahang dari genus Macaranga telah dikenal oleh sejumlah masyarakat tradisional di Indonesia. Tanaman ini telah mereka manfaatkan untuk pengobatan berbagai penyakit.
Sengkubung (Macaranga gigantea), tanaman obat di aman Nasional Bukit Duabelas, Jambi, Sabtu (2/7/2022). Hasil uji farmakologi menunjukkan tanaman mengandung flavonoid, saponin, polifenol, dan antraquinon sangat baik untuk kesehatan.
Hutan di Indonesia menyimpan beragam jenis tumbuhan berkayu dengan kecepatan pertumbuhan tinggi, salah satunya pohon dari genus Macaranga. Tumbuhan ini merupakan pohon sub-tajuk, berbatang bulat, lurus, tidak berbanir atau akar papan, dan berdaun besar. Tinggi pohon ini bisa mencapai 30 meter dengan diameter sebesar 35 meter.
Macaranga juga tercatat memiliki fungsi ekologi yang unik karena menjadi pelopor untuk pertumbuhan hutan sekunder meskipun awalnya berkembang di hutan primer. Dengan kata lain, pohon ini bisa memperbaiki kawasan hutan yang rusak menjadi lebat kembali.
Macaranga dari famili Euphorbiaceaeini memiliki sekitar 308 spesies yang tersebar mulai dari Afrika dan Madagaskar di bagian barat hingga wilayah tropis Asia, Australia Utara, dan Kepulauan Kepulauan Pasifik di bagian timur. Sementara Indonesia tercatat memiliki 125 spesies atau sekitar 35 persen dari total spesies Macaranga yang ada di dunia.
Dari struktur aktivitasnya, senyawa yang terkandung dalam Macaranga bisa diaplikasikan untuk kegiatan medis.
Di Indonesia, pohon yang dikenal dengan nama mahang ini banyak ditemukan di kawasan hutan Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Dari aspek kebermanfaatan, selama ini Macaranga telah menjadi bagian dari pengetahuan masyarakat lokal dalam pengobatan tradisional.
Peneliti Pusat Riset Obat dan Obat Tradisional Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Akhmad Darmawan mengemukakan, Indonesia merupakan salah satu pusat penyebaran tumbuhan Macaranga. Beberapa daerah juga memiliki penamaan berbeda, seperti biruwak, parake (Sumatera Utara), sangkubung (Belitung), atau dahan kagungaren (Minahasa).
Menurut Akhmad, data dari etnobotani menunjukkan bahwa pemanfaatan macaranga di Indonesia masih terbatas untuk bahan bangunan, seperti pembuatan tiang dan atap bagi rumah tradisional. Kemudian tumbuhan ini juga dimanfaatkan sebagai pengobatan tradisional untuk menyembuhkan diare, luka, batuk, dan disentri, serta dipakai untuk pewarna alami.
”Banyaknya spesies macaranga yang dimiliki Indonesia merupakan sebuah potensi yang bisa dimanfaatkan untuk bahan baku obat,” ujarnya dalam diskusi daring bertema ”Pengungkapan Potensi Bahan Alam Indonesia dari Biota Laut dan Tumbuhan”, Selasa (25/7/2023).
Meski demikian, dari 125 spesies yang tumbuh di Indonesia, data menunjukkan bahwa sampai sekarang baru sekitar 20 spesies yang telah dilakukan studi fitokimia. Padahal, studi fitokimia sangat penting untuk mengetahui semua kandungan senyawa kimia atau nutrien dari tumbuhan sehingga bisa diketahui dan dilakukan pemanfaatan lebih lanjut.
Baca juga : Orang Rimba dan Penyembuhan dari Tengah Hutan
”Kajian yang dilakukan menyatakan bahwa satu spesies Macaranga kemungkinan masih belum tereksplorasi seluruh kandungan senyawanya. Masih ada sekitar 80 persen spesies Macaranga yang tumbuh atau ditemukan di Indonesia belum tereksplorasi,” tuturnya.
Kandungan senyawa Macaranga
Akhmad menjelaskan, penelitian fitokimia pada Macaranga telah dimulai sejak tahun 1971 dari jenis Macaranga tanarius. Kemudian delapan tahun kemudian tepatnya pada 1979, peneliti berhasil mengisolasi sejumlah senyawa dari Macaranga peltata. Dari penelitian ini diduga bahwa senyawa terpenoid dan steroid merupakan senyawa utama dari Macaranga.
Namun, pada 1986 peneliti lainnya berhasil mengisolasi flavonoid jenis chromenoflavones dari Macaranga indica. Hasil penelitian ini menjadi titik balik dugaan sebelumnya dan menyimpulkan senyawa flavonoid merupakan senyawa metabolit utama dari Macaranga.
Penelitian terkait kandungan senyawa dalam Macaranga kemudian terus berlanjut sampai sekarang. Hingga Maret 2014, peneliti berhasil mengisolasi 94 senyawa flavonoid, 16 senyawa stilbenoid, 12 senyawa terpenoid, 3 senyawa steroid, 44 senyawa tanin, dan 29 senyawa lainnya. Berbagai senyawa tersebut diisolasi dari 22 spesies Macaranga dan 9 spesies di antaranya berasal dari Indonesia.
”Sampai saat ini telah ditemukan kurang lebih 200 senyawa metabolit sekunder dari genus Macaranga dan ini berasal tidak lebih dari 35 spesies. Artinya, mungkin hanya sekitar 10-12 persen dari total spesies Macaranga yang pernah diteliti. Dari total tersebut, senyawa turunan flavanon merupakan senyawa yang paling banyak ditemukan,” katanya.
Selain itu, hasil penelitian terbaru tahun 2022 juga masih ditemukan 10 senyawa flavonoid baru yang bisa diisolasi dari jenis Macaranga denticulata. Padahal, sebelumnya jenis Macaranga ini sudah pernah diteliti dan diisolasi senyawanya. Jadi, sampai sekarang masih banyak jenis Macaranga lain yang punya potensi untuk dieksplorasi dan dikembangkan.
Potensi pemanfaatan Macaranga
Bila melihat dari struktur aktivitasnya, senyawa yang terkandung dalam Macarangabisa diaplikasikan untuk kegiatan medis. Senyawa tersebut berkaitan erat dengan sitotoksik, anti-inflamasi, antialzheimer, antimikrobial, antioksidan, antidiabetes, dan estrogenik. Terbaru, senyawa dari Macaranga terkait dengan antitumor. Salah satu hasil kajian juga menyatakan potensi dari Macaranga sebagai bahan baku kosmetik untuk perawatan kulit.
Berdasarkan pengalaman empiris di Kalimantan dan Sumatera, Macaranga telah diketahui untuk pengobatan berak darah, demam, sariawan, diare, guam, dan luka. Pengobatan ini menggunakan beberapa bagian tumbuhan ini seperti getah, akar, serta air dan kulit batang.
Akhmad menyebut bahwa selama ini pihaknya telah melakukan sejumlah riset terkait Macaranga dengan fokus keragaman senyawa metabolit sekunder dan bioaktivitas secara in vitro. Beberapa spesies Macaranga yang diteliti yakni M gigantifolia, M magna, M allorobinsonii, M mappa, dan M hispida. Kemudian rencana penelitian tahun 2023-2024 fokus dilakukan pada jenis M bancana dan M hypoleuca.
Riset tersebut melibatkan kolaborasi sejumlah pihak, seperti perguruan tinggi dan Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi BRIN. Sementara dari perguruan tinggi ada Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Halu Oleo, dan Universitas Mulawarman.
”Riset yang dilakukan ini fokusnya masih terkait jenis keragaman senyawa dan belum fokus pada pengembangannya dalam bentuk produk. Kemudian kami juga masih melihat potensi aktivitas biologinya dan kemungkinan masih bisa mengembangkan senyawa lead compound (penuntun untuk aktivitas biologis),” ucapnya.
Baca juga : Tumbuhan Pakan Orangutan Berpotensi Menjadi Tanaman Obat
Kepala Pusat Riset Bahan Baku Obat dan Obat Tradisional BRIN Sofa Fajriah mengatakan, potensi bahan alam Indonesia dari tumbuhan maupun biota laut perlu dieksplorasi lebih lanjut. Potensi kimia dari bahan alam ini juga penting untuk dikaji guna menanggulangi beberapa penyakit yang saat ini memiliki prevalensi tinggi khususnya di Indonesia.
Menurut Sofa, bahan alam dari tumbuhan teresterial maupun biota laut telah banyak digunakan sebagai bahan baku obat tradisional oleh masyarakat lokal. Oleh karena itu, semua pihak perlu mengambil peran untuk mengoptimalkan potensi dari kekayaan Indonesia ini.