Pembelajaran sejatinya adalah proses yang berlangsung sepanjang hayat. Itu sebabnya, pendidikan dapat berlangsung di mana saja, tidak hanya di kelas.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Makna pendidikan tidak terbatas pada proses belajar di ruang kelas saja. Pendidikan menyeluruh mencakup pula, antara lain, pembangunan karakter, kreativitas, dan cara berpikir kritis. Hal ini dapat pula dipelajari di rumah dan lingkungan, serta dilakukan sepanjang hayat.
Menurut Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Anwar Makarim, orangtua adalah salah satu pemangku kepentingan pendidikan yang paling penting. Orangtua dapat menanamkan kebiasaan sederhana untuk memancing rasa ingin tahu anak, mendorong anak berani berekspresi, dan bertanya. Hal ini bisa dicapai dengan mengajak anak mengobrol dan membacakan dongeng.
”Misalnya, seluruh orangtua di Indonesia membacakan buku dongeng ke anaknya 30 menit sehari selama tiga tahun ke depan, tidak mungkin angka literasi kita tidak naik,” kata Nadiem pada gelar wicara pada festival pendidikan Belajaraya 2023, Sabtu (29/7/2023), di Jakarta.
Adapun Belajaraya 2023 diselenggarakan oleh gerakan Semua Murid Semua Guru. Kegiatan ini sebelumnya bertajuk Pesta Pendidikan. Sejumlah musisi, pejabat, dan tokoh publik hadir di acara ini, seperti Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2014-2016 Anies Baswedan, Tompi, Tulus, dan Andien.
Nadiem menambahkan, kebiasaan membaca bersama anak bisa berdampak besar ke masa depan pendidikan Indonesia. ”Makanya, pendidikan tidak hanya dilakukan di sekolah. Di rumah (pun) sama pentingnya,” katanya.
Membacakan dongeng atau bahan bacaan lain ke anak dapat membantu perkembangan kognitif mereka. Anak-anak dapat belajar berkonsentrasi, mengenal kata, dan berekspresi. Anak-anak yang mengenal bacaan sejak dini pun cenderung memiliki kemampuan berbahasa yang baik ke depan. Kegiatan ini juga menumbuhkan minat baca.
Selain itu, membacakan cerita ke anak dapat mempererat hubungan emosional antara orangtua dengan anak, serta menumbuhkan rasa percaya anak ke orangtua. Kepercayaan itu berhubungan dengan tersedianya ruang aman dan nyaman bagi anak untuk tumbuh.
Nadiem juga mendorong orangtua untuk berbincang dengan anaknya saat makan bersama. ”Anak diajak berdiskusi, ditanyakan pendapatnya. Misalnya, obrolannya tentang bagaimana awan terbentuk. Tidak apa-apa kalau orangtua tidak tahu. Ajak anak untuk cari tahu bersama. Itu yang akan mengasah kemampuan berpikir kritis anak nantinya,” katanya.
Aktris sekaligus juru bicara Pemerintah Indonesia pada presidensi G20, Maudy Ayunda, mengatakan, ia kerap diajak ibunya berdiskusi ketika masih kecil. Ibunya juga menanyakan pendapat Maudy, bahkan kadang menanyakan alternatif solusi padanya. Hal ini mendorong ia untuk berpikir kritis. Buku-buku yang dibaca sejak kecil turut memperkaya perspektifnya saat berdiskusi dengan sang ibu.
Adapun penulis Ahmad Fuadi mengadopsi prinsip pendidikan Minangkabau, yaitu alam takambang jadi guru, untuk belajar. Menurut dia, segala hal yang ada di lingkungan sekitar adalah pelajaran. Manusia hanya perlu menajamkan pancaindera dan intuisi untuk belajar dari lingkungan.
Penulis novel Negeri 5 Menara ini menambahkan, merantau ke tanah asing juga bisa jadi pelajaran hidup. Hal ini berkaca dari pengalamannya merantau ke Jawa pada usia 15 tahun untuk belajar di pesantren. Di pesantren itu, ia diajari untuk menikmati pelajaran. Ujian pun dimaknai sebagai sarana belajar, bukan belajar untuk ujian.
”Menurut saya, salah satu sekolah hidup adalah merantau. Kita keluar dari zona nyaman, kita struggle, tapi itu jadi bahan untuk (saya) menulis. Bagi saya, belajar itu (dilakukan) sepanjang hidup,” ucap Fuadi.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Shinta Kamdani mengatakan, pendidikan mesti dilihat secara menyeluruh. Pemikiran ini penting agar publik tidak salah kaprah memaknai pendidikan sebagai sarana mencari pekerjaan belaka. Menurut dia, pendidikan adalah cara manusia menjadi manusia yang utuh.
”Kami melihat pendidikan itu tentang link and match ke dunia industri. Padahal, di konsep pendidikan seutuhnya, ada pendidikan karakter, etika, kreativitas yang outcome-nya tidak hanya untuk bekerja,” katanya.
Anies menambahkan, pendidikan belum dipandang sebagai gerakan yang mestinya melibatkan semua pihak. Pendidikan saat ini, katanya, masih dilihat sebagai program pemerintah dan para pemangku kepentingan saja.
Pendidikan adalah cara manusia menjadi manusia yang utuh.
Padahal, pekerjaan pemerintah terbatas. Anies menilai pemerintah punya kekuatan di bidang fiskal dan otoritas. Tapi, pemerintah minim inovasi, kreasi, pengalaman di lapangan, dan jaringan. Hal yang tak dimiliki pemerintah itu biasanya dimiliki komunitas, organisasi, atau masyarakat.
”Kalau pendidikan dipandang sebagai gerakan, tanggung jawab untuk terlibat di pendidikan itu dimiliki oleh semua. Pemerintah memberikan ruang kepada siapa pun untuk terlibat dalam kegiatan pendidikan,” ucapnya.