Pemerintah Dituntut Lebih Progresif Menangani Korporasi Penyebab Karhutla
Sampai sekarang belum ada tindakan yang membuat jera meski titik panas penyebab karhutla berulang muncul di area konsesi perusahaan. Pemerintah pun dituntut untuk lebih tegas menangani korporasi tersebut.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Munculnya titik panas penyebab kebakaran hutan dan lahan atau karhutla kerap kali berulang di area konsesi perusahaan. Namun, sampai sekarang belum ada tindakan yang membuat efek jera bagi korporasi. Pemerintah dituntut untuk lebih tegas dan progresif dalam menangani korporasi penyebab karhutla.
Berdasarkan analisis Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), sebanyak 7.857 titik panas (hotspot) terdeteksi sepanjang Juni 2023. Dari jumlah tersebut, sebanyak 2.080 titik panasberada di area korporasi dari konsesi hak guna usaha (HGU) sawit, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan alam (IUPHHK-HA), dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu-hutan tanaman industri (IUPHHK-HTI).
Walhi juga mencatat, karhutla masih terjadi di beberapa wilayah pemegang konsesi yang tersebar di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah. Dari lima wilayah tersebut, sebanyak 15 titik panas ditemukan di Riau, 54 titik panas di Jambi, 7 titik panas di Sumsel, 9 titik panas di Kalbar, dan 8 titik panas di Kalteng.
Pemerintah seharusnya tidak hanya memantau aktivitas perusahaan, tetapi juga mengevaluasi infrastruktur yang disiapkan pemegang konsesi untuk melakukan pencegahan.
Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengemukakan, tidak sedikit titik panas tersebut ditemukan di area konsesi perusahaan besar. Ditemukannya titik panas ini membuat area konsesi perusahaan memiliki kerentanan karhutla tinggi dan berpotensi berlangsung secara terus-menerus.
”Dalam konteks penanganan karhutla, kerentanan ini tidak dilihat sebagai sesuatu yang harus dijadikan fokus mitigasi. Sebaliknya, masyarakat justru diarahkan agar tidak membakar kawasannya untuk pertanian. Padahal, ini merupakan praktik lokal sehingga mereka tahu proses penanganannya,” ujarnya dalam diskusi di kantor Walhi, Jakarta, Kamis (27/7/2023).
Menurut Uli, sampai sekarang pemerintah, khususnya Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, tidak pernah mengevaluasi perizinan untuk seluruh pemegang HGU sawit. Padahal, fakta selama ini menunjukkan titik panas ataupun karhutla pada 2015 dan 2019 banyak terjadi di konsesi HGU.
Sementara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memang melakukan evaluasi dan mencabut sejumlah perizinan. Namun, aspek karhutla tidak diletakkan sebagai salah satu indikator penting pada saat proses evaluasi dan pencabutan izin tersebut.
Uli menekankan, kerentanan karhutla di beberapa wilayah akan semakin membesar apabila tidak ada tanggapan secara progresif dari pemerintah. Bahkan, adanya El Nino bisa jadi akan meningkatkan potensi karhutla dengan kondisi sama yang terjadi pada 2015 dan 2019.
”Sebenarnya pemerintah punya instrumen kebijakan dan hukum yang cukup kuat. Namun, persoalannya adalah penegakan hukum tersebut lemah untuk memberikan efek jera kepada korporasi yang gagal memproteksi wilayah konsesi sebagai konsekuensi dari izin yang mereka dapatkan. Jadi, hal ini merupakan persoalan struktural,” ungkapnya.
Direktur Eksekutif Walhi Kalbar Nikodemus Alejuga mendorong agar ada tanggung jawab lebih besar dari korporasi untuk mencegah karhutla di wilayah konsesi masing-masing. Sebab, selama ini tidak ada keseriusan dari pemegang konsesi dalam menangani karhutla, yang ditunjukkan dengan minimnya infrastruktur pencegahan karhutla.
”Salah satu contoh, perusahaan yang memiliki konsesi seluas 10.000 hektar hanya memiliki satu unit kelompok pemadam api. Jadi, pemerintah seharusnya tidak hanya memantau aktivitas perusahaan, tetapi juga mengevaluasi infrastruktur yang disiapkan pemegang konsesi untuk melakukan pencegahan,” ucapnya.
Niko mengakui, terdapat beberapa kemajuan terkait penegakan hukum dalam menindak korporasi pelaku karhutla. Akan tetapi, sebagian besar penegakan hukum tersebut hanya sampai vonis hakim dan tidak ada tindak lanjut dalam eksekusinya.
Menindak pelaku
Dalam keterangannya, KLHK memastikan tidak akan berhenti menindak pelaku perusakan lingkungan hidup, termasuk karhutla. Penindakan dilakukan dengan semua instrumen penegakan hukum, baik penerapan sanksi administratif, penyelesaian sengketa termasuk gugatan perdata, maupun penegakan hukum pidana.
KLHK juga telah mengajukan gugatan terhadap salah satu korporasi pelaku karhutla di Kalbar. Hasil putusan kasasi terbaru kemudian menetapkan bahwa korporasi tersebut tetap dihukum dengan membayar ganti rugi dan tindakan pemulihan sebesar Rp 920 miliar.
Direktur Jenderal Penegakan Hukum KLHK Rasio Ridho Sani dalam rilis, Rabu (26/7/2023), mengapresiasi putusan majelis hakim dalam kasus tersebut karena telah menerapkan in dubio pro natura dengan pertanggungjawaban mutlak (strict liability). Putusan ini pun harus menjadi pembelajaran bagi korporasi pembakar hutan dan lahan lainnya.
Rasio juga telah memerintahkan Direktorat Penyelesaian Sengketa KLHK atau kuasa hukum untuk segera mengeksekusi putusan ini dan berkoordinasi dengan pengadilan negeri daerah. Upaya ini termasuk menyiapkan langkah sita eksekusi atas aset korporasi tersebut agar proses eksekusi dapat segera dilaksanakan.
Dalam penanganan karhutla, sampai saat ini KLHK telah menggugat 22 perusahaan. Sebanyak 13 perusahaan di antaranya telah berkekuatan hukum tetap dan dalam proses eksekusi.