Kolsani Satu Abad (Ikut) Membentuk Republik
Untuk menyatukan hati dan budi, teologi harus belajar memakai bahasa hati, setidaknya bahasa budi yang tidak konseptual, kategorial melulu.
”Untuk menyatukan hati dan budi, teologi harus belajar memakai bahasa hati, setidaknya bahasa budi yang tidak konseptual, kategorial melulu."
Demikian kutipan pidato almarhum Tom Jacobs SJ saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Teologi Fakultas Teologi Wedabhakti (FTW) Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, (Kompas, Sabtu 13 September 2003). Tom Jacobs adalah salah satu teolog perintis Teologi Proyek yang pernah menjalani formasi pendidikan di Kolese Santo Ignatius atau Kolsani. Selain Tom Jacobs, masih banyak deretan tokoh-tokoh lain alumnus Kolsani, seperti Franz Magnis-Suseno SJ, Bernhard Kieser SJ, Karl-Edmund Prier SJ, dan GP Sindhunata SJ.
Menarik apabila menilik sedikit apa itu Kolsani. Kolsani adalah tempat pendidikan terakhir saat para calon imam Serikat Jesus (SJ) harus mengambil keputusan definitif apakah akan menjadi imam atau tidak. Tempat yang didirikan pada 18 Februari 1923 ini unik karena selain menjadi rumah belajar teologi, seluruh anggota komunitasnya diberi kebebasan untuk mengembangkan diri sesuai minat masing-masing.
Di Kolsani, ada ritme kehidupan yang disetujui bersama, seperti misa komunitas, makan siang, dan rapat bersama. Selebihnya, masing-masing anggota komunitas diberi keleluasaan untuk mengatur diri.
Karena itulah, jika ada frater (calon imam) yang tidak pamit sampai malam pun tidak apa-apa. Inilah kekhasan formatio SJ yang mungkin berbeda dengan komunitas biara pada umumnya. Prinsipnya, orang harus bisa mengolah dirinya dengan kebebasan yang ada. Ini tentu menjadi tantangan luar biasa bagi seorang calon imam.
Baca Juga: Sebuah Pesan dari Realino
Empat poin
Meski memberikan keleluasaan, sebagai tempat pendidikan, Kolsani tentu memberikan arahan sesuai dengan panduan pimpinan tertinggi SJ di Roma, Vatikan. SJ mempunyai empat poin preferensi kerasulan, yaitu membimbing umat kepada kedalaman rohani, menemani kaum muda, berjalan bersama mereka yang tersingkir, dan memelihara lingkungan.
Empat hal di atas harus menjadi titik berat dari proses formatio sehingga aktivitas di Kolsani bukan sekadar berkutat pada pengolahan kerohanian. Anggota komunitas Kolsani diajak untuk menemukan Tuhan dalam kehidupan biasa dan tidak sekadar terjebak pada pergulatan sakramentologi serta praktik liturgi yang berat.
Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo mengungkapkan, dahulu Kolsani menjadi pusat pelayanan imam di sekitar DI Yogyakarta. ”Waktu itu, paroki-paroki belum seperti saat ini. Imam-imam dan frater harus pergi ke desa-desa, termasuk sampai ke pelosok Sedayu, tempat tinggal saya. Peranan mereka dalam mengajar besar sekali,” ucapnya.
Selain itu, Kolsani juga berperan besar dalam pengembangan teologi sebagai ilmu yang dahulu masih asing di Indonesia. Menurut Suharyo, para dosen yang tinggal di Kolsani adalah perintis ilmu teologi di Indonesia.
”Para perintis ilmu teologi di Indonesia praktis sumbernya dari Kolsani, seperti Romo Tom Jacobs, Bernhard Kieser, dan banyak lainnya,” kata mantan pengajar FTW Universitas Sanata Dharma ini.
Menurut Suharyo, Kolsani memiliki sumber ilmu yang luar biasa dengan perpustakaan Kolsani yang sangat terkenal. Ini merupakan perpustakaan andalan untuk ilmu filsafat dan teologi di Indonesia.
Perpustakaan tersebut juga memiliki koleksi-koleksi buku selain filsafat dan teologi, seperti ilmu moral, sosiologi, dan ekonomi. Siapa pun boleh berkunjung di perpustakaan ini, bukan hanya mahasiswa filsafat dan teologi, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa jurusan lain di Yogyakarta.
Teologi proyek
Dosen-dosen SJ dari Kolsani sejak 25 tahun silam memperkenalkan metode Teologi Proyek. Tom Jacobs menjadi salah satu pelopor Teologi Proyek, yang dimaknai tidak hanya sebatas dogma, tetapi harus benar-benar ”membumi”.
Karena itulah, mahasiswa teologi lalu dikirim ke rumah sakit untuk merasakan secara langsung bagaimana orang-orang sakit berjuang membangun harapan. Mereka juga dikirim ke pabrik-pabrik untuk mengalami bagaimana para buruh harus kerja keras sampai berkeringat demi mencari nafkah bagi keluarga. Seluruh pengalaman itu lalu direfleksikan secara teologis dan dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, teologi benar-benar membumi, tidak ngawur.
Kepedulian terhadap perjuangan kemanusiaan juga ditunjukkan Bernhard Kieser SJ yang menjadi pendamping terpidana mati asal Filipina, Mary Jane Veloso. Pakar Teologi Moral tersebut mempraktikkan secara langsung prinsip Teologi Moral, yakni bahwa manusia tidak berhak mengakhiri hidup orang lain.
Kolsani juga menjadi cikal bakal pembaruan liturgi di Indonesia pasca-Konsili Vatikan 2. Pada 1966, imam asal Jerman yang tinggal di Kolsani, Karl-Edmund Prier SJ, menulis Tata Perayaan Ekaristi (TPE) ”Misa Raya” berbahasa Indonesia. TPE baru ini digunakan pertama kali pada 18 Desember 1966 di Gereja Kotabaru, Yogyakarta. Gebrakan ini diapresiasi oleh para imam dan umat Indonesia pada saat itu.
Prier juga merintis pembentukan Pusat Musik Liturgi (PML) di Kolsani pada 1971-1974 yang kemudian melahirkan begitu banyak lagu serta komposisi musik liturgi yang mengangkat kekhasan lagu-lagu Nusantara. Karena konsistensinya pada pengembangan musik liturgi selama 52 tahun terakhir, Prier mendapatkan anugerah doktor kehormatan dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta.
Imam asal Jerman lainnya, Franz Magnis-Suseno SJ pernah mengalami gegar budaya di Kolsani karena harus menjalani pendidikan teologi bersama frater-frater Jawa yang berbeda latar belakang budaya serta bahasa. ”Saya mengerti bahwa dalam komunikasi Jawa yang pertama-tama diharapkan bukan bahwa kita langsung mengucapkan apa yang kita anggap benar, melainkan agar lawan bicara tidak merasa kecewa atau diremehkan. Beri dia rasa terhormat dulu, baru bawa ‘kebenaran’-mu,” tulis Magnis.
Puluhan tahun setelah belajar di Kolsani, Magnis tumbuh menjadi akademisi sekaligus negarawan yang total menyumbangkan pemikirannya untuk bangsa ini. Pada 1977, Magnis resmi memilih menjadi warga negara Indonesia.
Lalu, siapa tidak kenal GP Sindhunata SJ? Di Kolsani lah, wartawan senior ini menulis novel legendarisnya berjudul Anak Bajang Menggiring Angin. ”Waktu itu saya masih muda, imajinasi masih seluruhnya hidup. Rasanya tak mungkin saya menghasilkan karya semacam itu, bila Kolsani, tempat tinggal saya waktu itu, tidak menjadi tempat yang memungkinkan saya untuk memetik keindahan dan menuliskan keindahan dalam karya sastra saya itu,” papar Sindhunata.
Provinsial SJ Provinsi Indonesia Benedictus Hari Juliawan SJ menyampaikan, ilmu teologi seharusnya membuat orang mampu menangkap tanda-tanda zaman, merefleksikannya, dan membuat diri tergerak. Karena itulah, di Kolsani, orang tidak sekadar belajar ilmu, tetapi juga terlibat di masyarakat.
Baca Juga: A Century of Kolsani Presents References to Theological Studies
Setelah seabad berjalan, rupanya Kolsani telah melahirkan begitu banyak Jesuit yang menyumbangkan jasa bagi bangsa ini. Dengan pendidikannya yang membebaskan sekaligus membumi, Kolsani turut membentuk republik ini.