Seni bukan milik kalangan tertentu saja, melainkan juga milik masyarakat yang bahkan mengaku tak mengerti seni. Sebab, seni sesungguhnya inklusif.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Seni kerap dimaknai secara terbatas sebagai karya para seniman atau budayawan di galeri atau museum. Seni juga kerap dianggap eksklusif, mahal, dan sulit dipahami. Padahal, seni sejatinya inklusif, bisa dibuat oleh siapa saja dan bisa dinikmati semua orang, bahkan mereka yang mengaku tak ”nyeni”.
Hal ini mengemuka pada diskusi bertajuk ”Terobos: Daya Ubah Seni dan Kemandirian Pikiran”, di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Senin (24/7/2023). Diskusi ini bagian dari Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana yang digelar oleh Akademi Jakarta (AJ).
Diskusi menghadirkan sejumlah komunitas seni yang berbasis di Bandung, Jawa Barat. Komunitas Ruang Reda, misalnya, terdiri atas 10 ibu muda yang waktunya kerap habis untuk pekerjaan domestik. Mereka lantas berkomunitas dan menerjemahkan kehidupan domestiknya menjadi seni, seperti lukisan dan puisi.
”Seni membantu banget untuk kami bertahan hidup dari tantangan sehari-hari. Seni jadi aktivitas kami untuk meredakan diri dari kehidupan domestik yang sibuk sekali,” ucap perwakilan Ruang Reda, Ami Juandi Husin.
Anggota komunitas sepakat untuk tetap berkarya walau tidak selalu punya waktu. Mereka lantas membuat buku sketsa yang dikerjakan bersama dengan mengirim buku itu dari satu anggota ke anggota lain. Mereka juga menyempatkan diri untuk berkumpul baik secara daring maupun luring. Adapun mereka sempat menggelar pameran untuk karya seni mereka.
Ada juga komunitas Imah Budaya Cigondewah yang terdiri dari sejumlah buruh perempuan di diskusi. Mereka berekspresi, antara lain, dengan menyulam.
Selain itu, masih ada komunitas Olah Seni Babakan Siliwangi dan Komunitas Bekas Bioskop Dian. Perwakilan Komunitas Bekas Bioskop Dian, Wahyu, mengatakan, komunitasnya beberapa kali mengadakan pameran fotografi di ruang-ruang alternatif. Beberapa di antaranya gedung eks Bioskop Dian, Pasar Antik Cikapundung, dan ruang tamu Rumah Seni Ropih.
Menurut Wahyu, pameran di ruang-ruang itu memungkinkan seni melebur dengan masyarakat, baik yang mengaku tak paham seni sampai mereka yang paham betul soal seni. Ruang tersebut menjadi ”ruang aman” bagi masyarakat yang ingin mengakses seni, tetapi enggan karena citra seni yang ketinggian.
”Kami merasa bahwa ruang seni mapan tidak memberikan ruang aman untuk berekspresi, melainkan jadi ruang intimidasi yang begitu superior. Kami ingin seni punya daya dobrak agar ia bisa disukai,” katanya. ”Pameran yang kami buat adalah representasi bahwa seni tidak hanya di museum atau galeri. Seni seharusnya tumbuh bersama masyarakat,” ucapnya.
Komoditas
Anggota AJ, Melani Budianta, mengatakan, seni sering kali direduksi maknanya menjadi komoditas untuk dijual atau dipamerkan. Padahal, seni adalah bagian kehidupan sehari-hari serta merupakan representasi dari cara berpikir, laku hidup, serta nilai dan norma.
”Seni itu untuk semua orang. Seni tidak hanya untuk memuaskan diri sendiri, tapi (untuk) membangun masyarakat yang seperti apa,” katanya.
Menurut Ketua AJ Seno Gumira Ajidarma, seni bisa jadi murah sekaligus vital, seperti udara. Seni bisa pula menjadi media untuk menerjemahkan persoalan di depan mata, seperti isu domestik, memanfaatkan ruang telantar sehingga menjadi gelanggang kebudayaan, mengarsipkan ingatan, dan menjadi media perubahan.
Pada Kuliah Kenangan Sutan Takdir Alisjahbana, Direktur Pusat Kajian Representasi Sosial Risa Permanadeli menyampaikan pentingnya kemandirian berpikir untuk menentukan haluan hidup. Bangsa Indonesia dinilai mengadopsi nilai-nilai kemajuan Barat untuk membangun peradaban.
Namun, ia mempertanyakan apakah bangsa ini pernah secara waspada dan teliti menyoal bagaimana Indonesia terbentuk sembari menerima kedatangan Barat, baik dalam bentuk pengetahuan, tata kelola pemerintah, maupun produk kosmetik. Adapun nilai-nilai itu tak lepas dari modernitas.
Ia menilai modernitas telah mencapai puncaknya. Namun, ternyata hal ini bukan laku hidup yang berkelanjutan. Manusia pun disadarkan bahwa yang dianggap modern selama ini tidak selalu kontekstual. Indonesia sejatinya punya kearifan lokal untuk memajukan peradabannya. Namun, untuk menerapkan kearifan ini, bangsa mesti punya kemandirian berpikir.
”Pandemi Covid-19 hanyalah titik letup yang kemudian menyadarkan kita semua bahwa jalur kemajuan peradaban manusia yang dibayangkan selama ini, adalah sebuah perjalanan yang harus kita kaji ulang arah dan tujuannya,” ucapnya.