Kawasan Biodiversitas Utama Terancam Aktivitas Tambang
Kegiatan pertambangan batubara dan nikel dapat mengancam kawasan biodiversitas utama di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Analisis menunjukkan area pertambangan tumpang tindih dengan kawasan kaya biodiversitas ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
Aktivitas penambangan batubara di salah satu wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Kabupaten Kutai Kartanegara merupakan salah satu wilayah yang paling banyak menerbitkan izin tambang. Eksploitasi batubara banyak menyebabkan degradasi lingkungan karena banyak perusahaan tambang yang enggan merehabiltasi lahan bekas tambang.
JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan industri ekstraktif, terutama dari pertambangan batubara serta nikel, dapat mengancam kawasan biodiversitas utama di Kalimantan, Sulawesi Tengah, dan Maluku Utara. Pemberian izin konsesi pertambangan ini perlu ditinjau ulang untuk menghindari kehilangan keanekaragaman hayati di kawasan tersebut.
Hal itu terangkum dalam laporan kajian ancaman tambang pada keanekaragaman hayati yang disusun Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER). Laporan ini fokus menilai potensi ancaman tambang batubara di kawasan biodiversitas utama (key biodiversity area/KBA) di Kalimantan serta ancaman tambang nikel di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara.
Juru Kampanye Kebijakan Biodiversitas AEER, Angga Saputra, mengemukakan, tujuan kajian ini yaitu mendapatkan data estimasi keterancaman luas area KBA terhadap aktivitas pertambangan batubara. Adapun metode yang dilakukan yakni dengan analisis buffer area atau area penyangga sejauh 25 kilometer guna melihat dampak aktivitas tambang di area sekitarnya.
Berdasarkan kajian data, luas wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) sampai tahun 2023 tercatat 4,07 juta hektar yang tersebar di berbagai wilayah. Adapun 74 persen di antaranya atau 3,01 juta hektar tambang batubara berada di wilayah Kalimantan. Jenis badan usaha perseroan terbatas (PT) mendominasi dengan luas 2,95 juta hektar atau 98 persen dari total konsesi.
”Area kaya keanekaragaman hayati di Kalimantan seluas 6,63 juta hektar. Setelah dilakukan overlay, area konsesi tambang batubara dengan KBA seluas 120.441 hektar atau setara dengan 1,8 persen dari total area kaya keanekaragaman hayati di Kalimantan,” ungkap Angga dalam diskusi hasil publikasi kajian tersebut, di Jakarta, Senin (24/7/2023).
Adapun hasil luas KBA terancam berdasarkan area penyangga konsesi batubara mencapai 1,62 juta hektar atau 24,5 persen dari total area KBA di Kalimantan. Ancaman terluas berada di Kalimantan Timur, yakni 860.211 hektar dan Kalimantan Tengah seluas 539.175 hektar.
”Tutupan hutan Kalimantan akan mencapai ambang batas minimal 33 tahun lagi sejak 2014. Apabila tidak ada intervensi seperti penghentian aktivitas penambangan batubara yang tengah berlangsung, hutan di Kalimantan akan habis 77 tahun lagi,” kata Angga.
Ancaman kegiatan industri ekstraktif, khususnya dari pertambangan nikel, juga terjadi di Sulawesi Tengah dan Maluku Utara. Kajian serupa yang dilakukan AEER menunjukkan, terdapat 120 perusahaan di Sulteng dengan total area 275.945 hektar. Estimasi potensi luas KBA terancam di Sulteng mencapai 69.860 hektar atau setara 5,4 persen dari total KBA yang ada di wilayah ini, yakni seluas 1,28 juta hektar.
Tutupan hutan Kalimantan akan mencapai ambang batas minimal 33 tahun lagi sejak 2014. Apabila tidak ada intervensi, seperti penghentian aktivitas penambangan batubara yang tengah berlangsung, hutan di Kalimantan akan habis 77 tahun lagi.
Sementara hasil overlay konsesi tambang di Maluku Utara mencatat adanya ancaman terhadap KBA seluas 13.302 hektar atau setara 2,7 persen dari total luas KBA di wilayah ini yang mencapai 492.311 hektar. Ancaman tersebut merupakan dampak aktivitas 54 perusahaan nikel di Maluku Utara dengan luas mencapai 215.858 hektar.
Merujuk hasil kajian ini, Angga merekomendasikan agar pemberian izin konsesi pertambangan nikel perlu ditinjau ulang untuk menghindari kehilangan keanekaragaman hayati. Di sisi lain, pemetaan kawasan juga harus diiringi dengan survei potensi keanekaragaman hayati terlebih dahulu sebelum memberikan perizinan.
”Terdapat satwa dengan status dilindungi oleh undang-undang membuat kegiatan pemantauan hingga evaluasi terhadap pengelolaan kawasan konservasi perlu diterapkan dengan baik. Hal ini agar keanekaragaman hayati tidak menurun atau berkurang,” tuturnya.
Kajian lanjutan
Peneliti Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Sugeng Budiharta, melihat sampai saat ini kegiatan pertambangan semakin masif dan cenderung tidak terkontrol. Oleh karena itu, perlu kajian, kritik, dan masukan dari berbagai pihak untuk menghindari dampak buruk kegiatan pertambangan ini.
”Secara umum, sebagian besar KBA akan tumpang tindih dengan kawasan konservasi seperti taman nasional, cagar alam, ataupun suaka margasatwa. Jadi, tidak heran akhirnya kawasan KBA tumpang tindih dengan pertambangan seluas 1,8 persen,” ucapnya.
Sebagai tindak lanjut, Sugeng menyatakan, ke depan kajian lanjutan bisa dilakukan untuk menganalisis kondisi kawasan hutan dengan nilai tutupan yang tinggi. Sebab, kegiatan pertambangan sering kali berada di konsesi dengan tutupan hutan yang masih tinggi.
Perencana Ahli Pertama Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Martha Theresia menilai bahwa kajian dari AEER perlu memperjelas bentuk kehilangan keanekaragaman hayati yang terjadi secara nyata di wilayah tersebut akibat kegiatan pertambangan. Hal ini bertujuan untuk memperkuat latar belakang kajian.
”Untuk memperkuat analisis bisa disampaikan juga terkait dampak lingkungan. Sebab, saat izin pertambangan sudah ada seharusnya terdapat amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dan setiap tahun perusahaan akan melaporkan proper kepada KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan),” tuturnya.