Risiko Zoonosis Meningkat, Implementasi Konsep One Health Masih Lemah
Indonesia rentan menghadapi wabah zoonosis baru. Di sisi lain, kita juga belum tuntas mengatasi zoonosis lama yang berulang kali muncul kembali.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
Acara adopsi hewan telantar, khususnya anjing dan kucing, di sebuah toko hewan di Kota Denpasar, Bali, Minggu (9/7/2023), menarik minat warga. Memelihara anjing atau hewan lain masih diminati meskipun Bali belum terbebas dari rabies.
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan habitat alami dan meningkatnya tren pemeliharaan hewan di dekat permukiman meningkatkan risiko kemunculan penyakit baru yang bersumber dari binatang. Di sisi lain, kita belum terbebas dengan berbagai penyakit zoonotik lama, seperti rabies dan antraks, yang berulang kali menelan korban jiwa.
Dokter dan peneliti kesehatan lingkungan dari Griffith University, Dicky Budiman, Minggu (23/7/2023), mengatakan, penyakit menular baru ataupun penyakit lama yang muncul kembali menjadi salah satu tantangan kesehatan masyarakat terbesar. ”Sekitar tiga perempat dari penyakit ini berasal dari hewan atau zoonosis,” ujarnya.
Penyakit-penyakit menular ini termasuk zoonosis klasik yang dialami manusia melalui transmisi dari vertebrata lain, seperti rabies. Selain itu, ada peristiwa zoonosis satu kali yang kemudian menjadi virus yang menulari sesama manusia, seperti influenza H1N1 dan HIV.
Risiko penularan zoonosis di Indonesia terkait perjalanan dan perdagangan global. Namun, ada tiga faktor spesifik, yaitu tingginya pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang pesat dan tidak terkendali, serta kerusakan habitat alami yang jadi rumah bagi beragam satwa liar akibat deforestasi yang diperparah perubahan iklim.
”Kalau kita gagal mengatasi tiga masalah ini, Indonesia berpeluang menjadi sumber dan hot spot zoonosis baru,” ujarnya.
Perambahan habitat alami bisa mengganggu keseimbangan ekologis, selain meningkatkan kontak langsung satwa liar dengan manusia. Hal ini berpotensi mengakibatkan tumpahan mikroba hewan ke dalam populasi manusia.
Meningkatnya pemeliharaan ternak untuk dikonsumsi ataupun dipelihara sebagai hobi serta perdagangan satwa liar untuk dikonsumsi menciptakan lebih banyak peluang persilangan patogen. Munculnya SARS-CoV-2 yang semula beredar di satwa liar, diduga kelelawar dan trenggiling, dipicu meningkatnya kontak hewan dan manusia.
Kalau kita gagal mengatasi tiga masalah ini, Indonesia berpeluang menjadi sumber dan hot spot zoonosis baru.
Sementara kepadatan penduduk di perkotaan dengan lingkungan buruk juga berpeluang memicu sejumlah penyakit bersumber hewan atau zoonosis, di antaranya ditularkan oleh tikus. Tikus dapat menyebarkan lebih dari 35 penyakit di seluruh dunia dan salah satunya adalah penyakit pes atau wabah hitam.
”Dalam sejarah, wabah hitam pernah membunuh jutaan orang di Eropa selama abad pertengahan,” katanya. Penyakit infeksi ini menyebar ke manusia disebabkan kutu yang terinfeksi bakteri Yersinia pestisdan dibawa hewan pengerat, khususnya tikus.
Pendekatan One Health
Dicky mengatakan, dengan risiko saat ini, pendekatan One Health, yaitu penguatan kesehatan hewan dan lingkungan, harus menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesehatan masyarakat.
”Pendekatan One Health makin mendesak di tengah situasi global saat ini, terutama bagi Indonesia yang berada di hot spot (titik panas) dan sangat berisiko menjadi sumber penyakit zoonotik baru maupun reemerging (muncul kembali) penyakit zoonotik lama, seperti rabies dan antraks,” ungkapnya.
Sementara Tri Satya Putri Naipospos dari Centre for Indonesian Veterinary Analytical Studies mengutarakan, kasus rabies sudah puluhan tahun ada di Indonesia.
Di Nusa Tenggara Timur, khususnya Flores, sudah 20 tahun lebih ada rabies. Bukannya bisa berkurang, trennya malah meluas. Ada daerah baru, seperti Pulau Timor, yang sebelumnya bebas rabies, tetapi sejak tahun ini penyakit itu masuk ke daerah tersebut.
Rabies pada manusia itu disebabkan oleh 98 persen akibat gigitan anjing. ”Rabies sebenarnya bisa dicegah dengan vaksinasi, yaitu vaksinasi pada anjing, bukan manusianya. Kalau vaksinasi atau serum pada manusianya kalau sudah terjadi penularan melalui gigitan, itu untuk pengobatan,” katanya.
Tri menilai, upaya pencegahan rabies ini belum serius dilakukan. ”Pemerintah pusat dan daerah tak bisa menyediakan vaksin rabies yang memadai untuk anjing. Apalagi, kini pemerintah indikasinya mulai tidak peduli. Dosis vaksin rabies yang disediakan tahun ini saja amat kecil, di bawah 200.000 dosis bagi seluruh Indonesia,” tuturnya.
Padahal, jumlah anjing di Indonesia sangat besar, khususnya di daerah dengan tingkat kepadatan penduduk tinggi, seperti NTT dan Bali. Di Kabupaten Sikka, misalnya, terdapat 55.000 anjing sehingga alokasi vaksin rabies amat tak memadai. ”Sebenarnya perangkat untuk mengatasinya ada, tetapi perhatian dan keseriusan untuk mengatasinya tidak ada,” katanya.
Sementara penyakit antraks, lanjut Tri, sangat sulit dihilangkan karena sporanya bisa bertahan puluhan tahun. ”Di negara lain, membuat pemetaan daerah endemik antraks yang bisa berulang. Kembali, yang bisa dilakukan adalah pencegahan melalui vaksinasi pada hewan. Dengan vaksinasi ini, hewan yang makan rumput tercemar spora antraks ini bisa kebal,” ujarnya.
Selain kecukupan vaksin, yang menjadi tantangan saat ini adalah kualitas vaksin. ”Kualitas vaksin antraks maupun rabies kita perlu dievaluasi. Sudah banyak dokter hewan yang mengeluhkan kualitas vaksin untuk hewan kita,” tambahnya.
Tri menyampaikan, sesuai pendekatan One Health, juga harus ada surveilans terpadu. Pada aplikasinya di lapangan, pendekatan tersebut belum jalan. Idealnya dokter hewan dan dokter manusia bekerja sama melakukan survei terpadu.
”Dalam kasus antraks, misalnya, ada survei instansi kesehatan sendiri, lalu survei instansi pertanian dan peternakan. Ego sektoral masih terjadi dan ini sulit untuk One Health,” ujarnya.