Seiring kian rapatnya interaksi manusia dan binatang, ancaman zoonosis pun meningkat. Pendekatan One Health semakin penting di tengah situasi seperti ini.
Oleh
NELI TRIANA, AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kerusakan habitat alami dan meningkatnya tren pemeliharaan binatang di dekat permukiman telah meningkatkan risiko kemunculan jenis baru zoonosis atau penyakit yang menular dari binatang ke manusia atau sebaliknya. Di sisi lain, kita juga belum terbebas dengan berbagai penyakit zoonotik lama, seperti rabies dan antraks.
Data Komite Pencegahan dan Penanggulangan Rabies Flores-Lembata di Nusa Tenggara Timur menunjukkan, penularan rabies dari anjing ke manusia lewat gigitan di kawasan itu menyebabkan 13 orang meninggal sepanjang Januari-Juni 2023. Di Bali, hingga awal Juli 2023, tercatat empat orang tewas karena terinfeksi rabies.
Saat kasus rabies belum mereda, tiga warga Semanu di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kehilangan nyawa karena terjangkit antraks dan gejala antraks.
Kasus rabies dan antraks yang menyerang manusia ini mengingatkan kembali pada Covid-19. Pandemi yang diyakini dipicu oleh penularan virus dari binatang ke manusia itu bagian dari zoonosis. Zoonosis lainnya, antara lain pes, demam berdarah, malaria, leptospirosis, chikungunya, flu burung, kaki gajah, toksoplasma, skabies, dan cacingan.
Dicky Budiman, dokter dan peneliti kesehatan lingkungan dari Griffith University, Minggu (23/7/2023), mengatakan, penyakit menular baru dan penyakit lama yang muncul kembali menjadi salah satu tantangan terbesar kesehatan masyarakat. ”Sekitar tiga perempat dari penyakit ini dari hewan,” kata Dicky.
Menurut dia, risiko zoonosis di Indonesia terkait perjalanan dan perdagangan global. Namun, ada tiga faktor spesifik, yaitu tingginya pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang pesat dan tidak terkendali, serta kerusakan habitat alami yang menjadi rumah bagi beragam satwa liar akibat deforestasi yang diperparah perubahan iklim. ”Kalau kita gagal mengatasi tiga masalah ini, Indonesia termasuk yang berpeluang menjadi sumber dan hotspot zoonosis baru,” ujarnya.
Meningkatnya pemeliharaan ternak, baik untuk dikonsumsi maupun dipelihara sebagai hobi, serta perdagangan satwa liar untuk dikonsumsi menciptakan lebih banyak peluang terjadinya persilangan patogen. Munculnya SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19, yang semula beredar di satwa liar, diduga kelelawar dan trenggiling, dipicu oleh meningkatnya kontak hewan dan manusia.
Kepadatan penduduk di perkotaan dengan lingkungan yang buruk juga berpeluang memicu sejumlah zoonosis, di antaranya ditularkan oleh tikus. Tikus dapat menyebarkan lebih dari 35 penyakit dan salah satunya penyakit pes atau wabah hitam. ”Wabah hitam pernah membunuh jutaan orang di Eropa selama abad pertengahan,” ucap Dicky.
Domestikasi
Berdasarkan temuan arkeologis, setidaknya sejak 10.000 tahun sebelum Masehi telah terjadi domestikasi binatang oleh manusia. Manusia mengenali binatang tertentu tepat dijadikan teman berburu, ternak, atau disayangi sebagai peliharaan.
Meski telah hidup berdampingan, manusia tak sepenuhnya memahami binatang. Perlakuan terhadap binatang kerap hanya berdasarkan justifikasi persepsi manusia sendiri.
Mackenzie Cooley, sejarawan yang mempelajari relasi keduanya, menyatakan, binatang peliharaan kerap menjadi satu-satunya rujukan manusia ke dunia binatang. ”Membuat pandangan kita tentang hewan lebih sentimental. Dan ini menghalangi apresiasi dan cara pengelolaan kita (yang tepat) terhadap alam,” kata Cooley, seperti dikutip dari situs News.standford.edu.
Keterbatasan pengetahuan dan pemahaman manusia tentang binatang semakin memicu berbagai masalah, khususnya di tengah pertumbuhan perkotaan dan meluasnya lahan terbangun.
Hal itu disinggung Peter S Alagona, profesor di Program Studi Lingkungan University of California, dalam buku The Accidental Ecosystem: People and Wildlife in American Cities (2022). Alagona menyatakan, kota yang sejak awal didesain tidak untuk binatang tanpa sengaja justru menyediakan ekosistem dadakan bagi aneka binatang.
Sisa makanan di tempat sampah, saluran pembuangan, sampai taman kota serta berbagai bangunan di perkotaan menjadi ruang hidup sempurna bagi tikus, serangga, tupai, ular, dan banyak lagi. Binatang-binatang itu juga membentuk rantai makanan sendiri dengan saling memakan.
Banyak binatang peliharaan diserahkan ke tempat penampungan atau dilepasliarkan.
Gaya hidup urban seiring meningkatnya kesejahteraan masyarakat makin menjadikan kota sebagai surga bagi binatang. Tren dunia menunjukkan, kala hampir seluruh dunia menerapkan pembatasan ketat demi mengatasi Covid-19 selama 2020-2022, orang beramai-ramai memelihara binatang di rumah. Meski saat status pandemi dicabut, banyak binatang peliharaan diserahkan ke tempat penampungan atau dilepasliarkan.
Di samping itu, alasan bosan atau tidak kuat lagi membiayai perawatan terlebih jika sakit atau melahirkan banyak anak—membuat orang cenderung membuang peliharaannya. Binatang liar bersama binatang eks peliharaan yang tak terurus pada akhirnya berkeliaran. Populasi binatang perkotaan pun diyakini makin membeludak.
Kondisi tersebut meningkatkan ancaman zoonosis serta memicu persoalan lingkungan lain dan masalah sosial.
Pendekatan
Dicky mengatakan, dengan risiko saat ini, pendekatan One Health, yaitu penguatan kesehatan binatang dan lingkungan, harus menjadi bagian dari upaya meningkatkan kesehatan masyarakat. ”Pendekatan One Health semakin urgen di tengah situasi global saat ini, terutama bagi Indonesia yang berada di hotspot (titik panas) dan sangat berisiko menjadi sumber penyakit zoonotik baru dan reemerging (muncul kembali) penyakit zoonotik lama, seperti rabies dan antraks,” tuturnya.
Tri Satya Putri Naipospos dari Center for Indonesian Veterinary Analytical Studies mengatakan, kasus rabies sudah puluhan tahun di Indonesia. ”Di NTT (Nusa Tenggara Timur), khususnya Flores, setidaknya sudah 20 tahun lebih ada rabies. Bukannya berkurang, tetapi trennya meluas. Ada daerah baru, seperti Pulau Timor, yang sebelumnya masih bebas dari rabies, tapi sejak tahun ini malah masuk ke sana,” ujarnya.
Tri mengatakan, upaya pencegahan rabies tidak dilakukan secara serius. Selain kecukupan vaksin, menurut dia, yang jadi tantangan saat ini adalah kualitas vaksin. ”Kualitas vaksin antraks dan rabies kita perlu dievaluasi,” lanjutnya.
Ia mengatakan, sesuai pendekatan One Health, harus ada juga surveilans terpadu. ”Ego sektoral masih terjadi dan ini sulit untuk One Health,” katanya.