Perbanyak Riset Penggunaan Kecerdasan Buatan di Dunia Pendidikan
Penerapan kecerdasan buatan dalam dunia pendidikan masih minim, padahal teknologi itu bisa membawa perkembangan positif. Namun, perlu riset mengenai dampak penggunaan kecerdasan buatan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Sophia, robot yang didukung dengan teknologi kecerdasan buatan (AI) yang diaktifkan pada 2016 dan diciptakan perusahaan Hanson Robotics yang berbasis di Hong Kong, saat wawancara khusus dengan media pada CSIS Global DIalogue 2019 di Jakarta, Senin (16/9/2019). Harapannya, robot yang disebut memiliki kemampuan mengekspresikan puluhan ekspresi wajah manusia itu bisa menjadi cukup pintar untuk membantu manusia di bidang kedokteran, pendidikan, dan penelitian sains. Menurut International Federation of Robotics, penggunaan robot pada 2020 diperkirakan mencapai 3 juta unit atau meningkat tiga kali lipat dalam 10 tahun terakhir.
JAKARTA, KOMPAS – Kecerdasan buatan dipandang sebagai tantangan sekaligus peluang dalam pengembangan pendidikan di Indonesia. Meski demikian, belum banyak riset yang membahas soal ini. Para peneliti dan dosen pun didorong untuk meneliti tren penggunaan kecerdasan buatan dalam proses belajar-mengajar.
Hal ini mengemuka pada webinar bertema ”Kecerdasan Buatan dan Peran Manusia: Isu-isu tentang Pendidikan Karakter”, Kamis (20/7/2023), yang diselenggarakan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Kecerdasan buatan (artificial inteligence/AI) berkembang setidaknya pada tahun 1950-an. Namun, AI menyita perhatian publik sejak ChatGPT diluncurkan pada November 2022. ChatGPT adalah teknologi AI generatif produksi OpenAI.
Menurut Kepala Organisasi Riset Ilmu Pengetahuan Sosial Humaniora (OR IPSH) BRIN Ahmad Najib Burhani, publik masih fokus mengagumi kehadiran AI dan pemanfaatannya. Di sisi lain, ada keresahan bahwa AI dapat mengubah kehidupan manusia karena ia bisa memproduksi pengetahuan, membuat karya kreatif seperti naskah film dan foto, hingga membuat materi pembelajaran.
Walakin, pengetahuan yang dihasilkan AI masih berdasarkan pasokan data yang ada di internet atau sistem mahadata (big data). Karena itu, saat digunakan untuk menjawab isu sensitif, AI tidak bisa memberikan penjelasan yang menyeluruh dan berimbang. Hal ini tidak hanya menyebabkan bias pendapat publik, tetapi juga memengaruhi pembentukan karakter pada masyarakat.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para siswa menyimak penjelasan tentang alat bantu sikat gigi dalam Orbit Habibie Festival di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Festival ini bertujuan memberi ruang inovasi kepada generasi muda untuk berkreasi, berkarya, dan berinovasi. Festival itu menyajikan beragam sektor, seperti teknologi baru robotika, kedirgantaraan, kecerdasan buatan, dan pendidikan.
”AI menjadi kotak hitam bagi kemanusiaan yang bisa membawa manusia ke catastrophic breakdown (bencana yang menimbulkan kerugian ekonomi yang besar). Dampak keberadaan AI belum banyak dibicarakan yang terkait antara lain dengan karakter, etika, dan kemanusiaan,” tambah Najib.
Menurut Kepala Pusat Riset Pendidikan OR IPSH BRIN Trina Fizzanty, penerapan AI dalam pendidikan perlu perhatian khusus dari dunia riset. Penelitian tersebut tidak hanya berkontribusi terhadap pengayaan pengetahuan, tetapi juga penyusunan kebijakan. Untuk itu, ilmuwan lintas bidang didorong untuk berkolaborasi.
Di sisi lain, AI dinilai bisa membantu pemerataan akses pendidikan di Indonesia. Selama ini, belum semua warga mempunyai akses ke layanan pendidikan. Hal ini terkendala oleh perbedaan kondisi geografis di setiap daerah serta penyebaran guru yang belum merata.
Rektor Universitas Insan Cita Indonesia (UICI) La Ode Masihu Kamaluddin mengatakan, AI memungkinkan pembelajaran dilakukan secara jarak jauh. Dosen tinggal menyediakan bahan ajar dan mengunggahnya ke sistem perkuliahan digital. Kemudian, AI diberi peran sebagai pengajar setelah ia mempelajari bahan ajar dengan mesin pembelajar (learning machine).
”Tugas dosen adalah menyiapkan bahan ajarnya. Mereka tidak perlu masuk ke kelas dan mengajar, melainkan melakukan riset untuk memperkaya bahan ajar. Tapi, komunikasi dengan mahasiswa tetap dibuka,” ucapnya.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Pemanfaatan aplikasi berbasis kecerdasan buatan (AI), ChatGPT, di sebuah kantor di Jakarta, Selasa (7/3/2023). ChatGPT adalah chatbot AI berupa model bahasa generatif yang menggunakan teknologi transformer untuk memprediksi probabilitas kalimat atau kata berikutnya dalam percakapan ataupun perintah teks.
Sementara Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama M Ali Ramdhani menyebutkan, AI sudah digunakan dalam pendidikan Islam seperti untuk mencari hadis, membaca huruf Arab, hingga mengunjungi Kabah melalui teknologi realitas virtual. Hal ini mesti disertai dengan penanaman nilai kemanusiaan pada siswa. Itu bertujuan agar siswa tidak kehilangan sisi manusiawinya, tetap beretika, serta bijak memanfaatkan teknologi.
”Kita mesti menggunakan ruang ini (teknologi) secara bijak. Di sisi lain, kehadiran guru tetap penting sebagai pembimbing,” kata Ali.
Meski demikian, belum banyak institusi pendidikan menerapkan AI dalam proses belajar-mengajar. Hal itu tampak dari survei Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang dilakukan pada 4-19 Mei 2023. Survei ini melibatkan lebih dari 450 sekolah dan universitas di Eropa, Asia, Afrika, Timur Tengah, Amerika Utara, serta Amerika Latin.
Tugas dosen adalah menyiapkan bahan ajarnya. Mereka tidak perlu masuk ke kelas dan mengajar, melainkan melakukan riset untuk memperkaya bahan ajar. Tapi, komunikasi dengan mahasiswa tetap dibuka.
Dari semua responden, institusi pendidikan yang memiliki kebijakan kelembagaan atau panduan formal pemakaian AI generatif jumlahnya kurang dari 10 persen. Hal ini menunjukkan kegalauan untuk merespons AI generatif yang mampu menghasilkan karya-karya hasil pemikiran manusia, seperti naskah pidato, esai, foto, materi ajar, hingga program komputer (Kompas.id, 2/6/2023).
”Hasil survei menunjukkan bahwa kita masih sangat bingung dalam penerapan AI generatif yang baru dan kuat di bidang pendidikan,” ucap Direktur Pembelajaran Masa Depan dan Inovasi UNESCO Sobhi Tawil.
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Para siswa bermain permainan tradisional dalam Orbit Habibie Festival di JIExpo, Kemayoran, Jakarta, Kamis (17/10/2019). Festival ini bertujuan memberi ruang inovasi kepada generasi muda untuk berkreasi, berkarya, dan berinovasi.