Pendekatan Lunak Mendorong Pengakuan Warga Penghayat Kepercayaan
Kemendikbudristek mendorong pengakuan masyarakat bagi para penghayat kepercayaan. Pendekatan yang lunak ditempuh supaya kalangan penghayat kepercayaan diterima sepenuhnya di lingkungan masyarakat.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
SURAKARTA, KOMPAS — Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi terus mendorong pengakuan masyarakat bagi para penghayat kepercayaan. Upaya itu coba dilakukan lewat pendekatan yang lunak supaya kalangan penghayat kepercayaan diterima sepenuhnya di lingkungan masyarakat. Kesepahaman segenap pihak untuk mengakui keberadaan mereka dibutuhkan.
Wacana itu terungkap dalam pembukaan Festival Budaya Spiritual di Balai Kota Surakarta, Jawa Tengah, Senin (17/7/2023) malam. Pada kesempatan itu, berlangsung pula penyerahan secara simbolik kartu tanda penduduk (KTP) bagi 20 orang penghayat kepercayaan. KTP yang diserahkan sudah mengakui kepercayaan para penghayat pada bagian kolom agama.
”Sejauh ini kami berkeliling. Memang ada tantangan dari aparatur di lapangan, pemahamannya belum semuanya merata. Karena itu, kami terus terjun ke lapangan untuk memberikan informasi mengenai keputusan MK (Mahkamah Konstitusi) dan regulasi turunannya yang ada di Kementerian Dalam Negeri,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Kemendikbudristek Hilmar Farid seusai acara.
Kepastian warga penghayat untuk mencantumkan keyakinan mereka pada kolom agama telah dijamin melalui Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016. Keberadaan putusan itu juga didukung Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 118 Tahun 2017 tentang Blangko Kartu Keluarga, Register, dan Kutipan Akta Pencatatan Sipil.
Kemendagri juga mengeluarkan Surat Edaran Nomor 471.14/10666/DUKCAPIL. Surat edaran itu tentang Penerbitan Kartu Keluarga bagi Penghayat Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa guna menguatkan kebijakan-kebijakan tersebut.
Penerimaan warga yang diutamakan dalam penerapan aturan ini.
Hilmar menyadari, pengakuan bagi warga penghayat kepercayaan tidak bisa dilakukan serta-merta meski ada banyak landasan kebijakan yang ditetapkan. Butuh waktu agar terbangun pemahaman mengenai pentingnya pemenuhan hak tersebut. Oleh karena itu, sosialisasi terus menerus dilakukan. Penerimaan warga yang diutamakan dalam penerapan aturan ini.
”Ini memerlukan proses. Kami memilih jalan yang soft (lunak). Jadi, jalan yang betul-betul mengutamakan penerimaan terlebih dahulu. Karena, pengakuan tanpa penerimaan itu tidak akan lengkap,” kata Hilmar.
Hilmar mengaku berkomitmen untuk menegakkan peraturan tersebut. Apalagi, sudah ada sejumlah peraturan landasan lainnya. Selama ini, katanya, tidak ada penolakan terhadap kebijakan tersebut.
Hanya saja, belum banyak pemangku kepentingan yang mengerti perihal aturan itu. Kepala daerah seharusnya menjadi garda terdepan untuk menjamin kebijakan itu diterapkan di wilayah masing-masing.
“Komunikasi akan dilakukan ke semua lini, dengan kepala daerah terutama. Tetapi juga harus sampai bawah. Kadang-kadang persoalannya lebih banyak ada di teman-teman camat yang belum dapat informasi lengkap,” kata Hilmar.
Wakil Gubernur Jateng Taj Yasin Maimoen menyatakan, pihaknya mendorong pemberlakuan kebijakan itu di seluruh wilayahnya. Pemberian hak administrasi terhadap warga penghayat merupakan bentuk sikap toleran dari suatu kota. Kampanye perihal toleransi harus gencar dilakukan biar tidak terjadi perpecahan di tengah masyarakat.
”Kami dorong kota dan kabupaten agar menjadi daerah toleran. Artinya, memberi ruang kepada seluruh agama maupun kepercayaan yang memang dilindungi Undang-Undang. Tentu itu menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memberi ruang semua agama maupun kepercayaan yang sudah diatur,” kata Taj Yasin.
Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan YME Kemendikbudristek Sjamsul Hadi menyampaikan, jumlah warga penghayat kepercayaan mencapai 9.770 orang di Jawa Tengah. Namun, baru ada 2.203 orang yang mengubah kolom agamanya menjadi penghayat kepercayaan pada KTP mereka. Seiring pengubahan itu, pihaknya juga berupaya menjamin perlindungan dari diskriminasi layanan kependudukan.
”Kami bekerja sama dengan kementerian dan lembaga mendorong agar diskriminasi itu tidak terjadi. Aparat yang berhadapan langsung dengan masyarakat, seperti camat dan kepala desa, kami berikan pemahaman tambahan sehingga layanan yang diterima setara,” kata Sjamsul.