Pemantauan melalui satelit di luar angkasa menunjukkan, lebih dari 56 persen warna lautan di dunia telah berubah secara signifikan selama 20 tahun terakhir dengan perairan khatulistiwa menjadi lebih hijau.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemantauan melalui satelit di luar angkasa menunjukkan, lebih dari 56 persen warna lautan di dunia telah berubah secara signifikan selama 20 tahun terakhir dengan perairan khatulistiwa menjadi lebih hijau. Perubahan warna laut ini tidak dapat dijelaskan hanya dengan variabilitas alami dari tahun ke tahun. Namun, hal ini diduga merupakan konsekuensi dari perubahan iklim yang disebabkan oleh manusia.
Perubahan warna laut ini dilaporkan para ilmuwan di jurnal Nature pada Rabu (12/7/2023). BB Cael dari National Oceanography Centre, Inggris, menjadi penulis utama. Rekan penulis studi ini juga termasuk Stephanie Henson dari National Oceanography Centre, Kelsey Bisson di Oregon State University, dan Emmanuel Boss dari University of Maine.
”(Perubahan warna laut) Ini memberikan bukti tambahan tentang bagaimana aktivitas manusia memengaruhi kehidupan di Bumi dalam skala spasial yang sangat besar. Ini adalah cara lain manusia memengaruhi biosfer,” kata Cael.
Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa wilayah laut tropis di dekat khatulistiwa menjadi semakin hijau dari waktu ke waktu.
Menurut para peneliti, pergeseran warna ini, meskipun tidak terlihat oleh mata manusia, telah terjadi di lebih dari 56 persen lautan dunia, sebuah bentangan yang lebih besar dari total luas daratan di Bumi.
Secara khusus, para peneliti menemukan bahwa wilayah laut tropis di dekat khatulistiwa menjadi semakin hijau dari waktu ke waktu. Pergeseran warna lautan menunjukkan bahwa ekosistem di permukaan lautan juga harus berubah karena warna lautan merupakan cerminan literal dari organisme dan material di perairannya.
Sebelumnya, para peneliti dari National Oceanography Centre telah menjalankan simulasi yang menunjukkan bahwa perubahan warna lautan ini akan terjadi seiring pemanasan suhu global. ”Untuk benar-benar melihatnya terjadi secara nyata tidak mengherankan, tetapi menakutkan. Dan perubahan ini konsisten dengan perubahan yang disebabkan oleh manusia terhadap iklim kita,” kata Stephanie Dutkiewicz, ilmuwan senior di National Oceanography Centre, yang juga terlibat dalam studi.
Warna lautan adalah produk visual dari apa pun yang ada di lapisan atasnya. Umumnya, perairan yang berwarna biru tua mencerminkan sangat sedikit kehidupan, sedangkan perairan yang lebih hijau menunjukkan adanya kehidupan, dan terutama fitoplankton—mikroba mirip tanaman yang melimpah di bagian atas lautan dan mengandung klorofil pigmen hijau. Pigmen membantu plankton memanen sinar matahari, yang mereka gunakan untuk menangkap karbon dioksida dari atmosfer dan mengubahnya menjadi gula.
Fitoplankton adalah fondasi jaring makanan laut yang menopang organisme yang semakin kompleks, hingga krill, ikan, dan burung laut serta mamalia laut. Fitoplankton juga merupakan otot yang kuat dalam kemampuan laut untuk menangkap dan menyimpan karbon dioksida.
Oleh karena itu, para ilmuwan tertarik untuk memantau fitoplankton di permukaan lautan dan melihat bagaimana organisme ini dapat merespons perubahan iklim. Untuk melakukannya, para ilmuwan telah melacak perubahan klorofil, berdasarkan rasio berapa banyak cahaya biru versus hijau yang dipantulkan dari permukaan laut, yang dapat dipantau dari luar angkasa.
Sekitar satu dekade yang lalu, Henson, yang merupakan salah satu penulis studi ini, menerbitkan makalah yang menunjukkan bahwa jika para ilmuwan melacak perubahan klorofil karena dampak pemanasan global, akan dibutuhkan setidaknya 30 tahun pemantauan. Alasannya, menurut tim, variasi klorofil yang besar dan alami dari tahun ke tahun akan mengalahkan pengaruh antropogenik pada konsentrasi klorofil. Oleh karena itu, diperlukan beberapa dekade untuk melihat dampak perubahan iklim di tengah kondisi alamiahnya.
Dalam studi terbaru ini, Cael dan tim menganalisis pengukuran warna laut yang diambil oleh Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (Modis) di atas satelit Aqua, yang telah memantau warna laut selama 21 tahun. Modis melakukan pengukuran dalam tujuh panjang gelombang tampak, termasuk dua warna yang biasanya digunakan peneliti untuk memperkirakan klorofil.
Perbedaan warna yang diambil satelit terlalu halus untuk dibedakan oleh mata manusia. Sebagian besar lautan tampak biru di mata kita, sedangkan warna aslinya mungkin mengandung campuran panjang gelombang yang lebih halus, dari biru ke hijau dan bahkan merah.
Cael melakukan analisis statistik menggunakan ketujuh warna samudra yang diukur oleh satelit dari tahun 2002 hingga 2022 secara bersamaan. Dia pertama kali melihat seberapa banyak tujuh warna berubah dari satu wilayah ke wilayah lain selama tahun tertentu, yang memberinya gambaran tentang variasi alaminya. Dia kemudian memperkecil untuk melihat bagaimana variasi warna laut tahunan ini berubah selama dua dekade. Analisis ini menghasilkan tren yang jelas, di atas variabilitas normal dari tahun ke tahun.
”Ini menunjukkan bahwa tren yang kami amati bukanlah variasi acak dalam sistem Bumi,” kata Cael. ”Ini konsisten dengan perubahan iklim antropogenik.”
Hasil tim menunjukkan bahwa memantau warna lautan di luar klorofil dapat memberi para ilmuwan cara yang lebih jelas dan lebih cepat untuk mendeteksi perubahan yang didorong perubahan iklim pada ekosistem laut.
”Warna lautan telah berubah. Dan kita tidak bisa mengatakan bagaimana,” kata Dutkiewicz.
Menurut Dutkiewicz, perubahan warna mencerminkan perubahan komunitas plankton, yang akan berdampak pada segala sesuatu yang memakan plankton. Hal itu juga akan mengubah seberapa banyak lautan akan menyerap karbon karena berbagai jenis plankton memiliki kemampuan berbeda untuk melakukan itu. ”Jadi, kami berharap orang-orang menganggap ini serius. Bukan hanya model yang memprediksi perubahan ini akan terjadi. Sekarang kita bisa melihatnya terjadi, dan lautan sedang berubah,” katanya.