Konstelasi Satelit Nasional Mendukung Data Citra Penginderaan Jauh
Dengan adanya konstelasi satelit, pengamatan atas wilayah Indonesia dapat dilakukan tanpa menunggu waktu kedatangan kembali (revisit) dari satelit atau dapat meminimalisasi waktu revisit satelit.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·5 menit baca
THALES ALENIA SPACE
Ilustrasi Satelit Republik Indonesia (Satria) 1 yang diproduksi oleh Thales Alenia Space dan akan diluncurkan dengan roket SpaceX pada pertengahan 2023.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia memiliki rencana pengembangan kemandirian teknologi untuk menyediakan konstelasi satelit nasional yang dapat mendukung kebutuhan negara terhadap data citra penginderaan jauh. Dengan adanya konstelasi satelit, diharapkan pengamatan atas wilayah Indonesia dapat dilakukan tanpa menunggu waktu kedatangan kembali dari satelit.
Deputi Bidang Metodologi dan Informasi Statistik Badan Pusat Statistik Imam Mahdi dalam diskusi daring dengan tema ”Persiapan Konstelasi Satelit Nasional”, Jumat (14/7/2023), mengatakan, citra satelit merupakan salah satu sumber data yang berada pada ekosistem data. Oleh sebab itu, pihaknya mengharapkan citra satelit menjadi data pemerintah. Apabila citra satelit diperoleh dari pihak swasta atau pihak luar negeri, Indonesia akan memiliki ketergantungan dengan pihak luar.
Data citra satelit penginderaan jauh sudah dimanfaatkan oleh berbagai kalangan di Indonesia selama lebih dari 30 tahun. Pemanfaatan data citra satelit penginderaan jauh dalam berbagai bidang di Indonesia, antara lain, untuk pemantauan daratan (misalnya pertanian, perkebunan, dan kehutanan), pesisir dan laut (misalnya pengamatan mangrove, terumbu karang, batimetri, banjir, penurunan muka tanah, dampak dari gempa, letusan gunung berapi, dan tsunami).
Bahkan, seiring dengan perkembangan teknologi terkini, data penginderaan jauh telah banyak digunakan oleh perusahaan rintisan untuk mendukung layanan-layanan yang diberikan kepada pengguna akhir atau end-users.
Melihat pentingnya kebutuhan data citra satelit penginderaan jauh, Indonesia memiliki rencana pengembangan dan kemandirian teknologi untuk dapat menyediakan konstelasi satelit nasional yang dapat mendukung kebutuhan negara terhadap data citra penginderaan jauh dan kebutuhan lainnya.
Dengan adanya konstelasi satelit, pengamatan atas wilayah Indonesia dapat dilakukan tanpa menunggu waktu kedatangan kembali (revisit) dari satelit atau dapat meminimalisasi waktu revisit satelit. Selain itu, juga menghindari ketergantungan para praktisi penginderaan jauh terhadap satelit-satelit asing.
SPACEX
Satelit Satria 1 atau disebut juga Nusantara 3 meluncur menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX dari landas luncur 40 di Pangkalan Angkatan Antariksa Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Minggu (18/6/2023) pukul 18.21 waktu setempat atau Senin (19/6/2023) pukul 05.21 WIB.
Imam melanjutkan, modernisasi pengumpulan data statistik merupakan salah satu langkah mode inovasi dari BPS untuk memenuhi kebutuhan data yang semakin cepat dan beragam. Hal ini guna mempercepat pemulihan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Terkait modernisasi pengumpulan data statistik, selain bersumber dari pengumpulan data tradisional seperti sensus dan survei, data statistik juga dapat dihasilkan melalui sumber data baru, yaitu big data. Pemanfaatan big data di BPS mencakup dua hal. Pertama, big data digunakan untuk mencakup official statistics. Kedua, big data digunakan sebagai informasi pelengkap dan kontrol terhadap hasil official statistics.
Dalam hal ini, terdapat beberapa sumber big data yang telah dimanfaatkan BPS sebagai Lembaga Statistik, antara lain pemanfaatan mobile positioning data (MPD) untuk bisa menghasilkan statistik pariwisata, statistik mobilitas penduduk, dan delineasi wilayah dan metropolitan (MSA). Selanjutnya, Citra Satelit yang dapat dimanfaatkan terkait geospasial statistik pertanian, geospasial pemetaan tingkat kemiskinan, dan geospasial aktivitas ekonomi.
”Potensi menggunakan citra satelit juga bisa menghasilkan satu akurasi data yang kurang lebih sama dengan mengumpulkan data konvensional,” kata Imam.
Kepala Organisasi Riset Penerbangan dan Antariksa Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Robertus Heru Triharjanto mengatakan, BRIN tengah mengembangkan 19 satelit komunikasi dan pengamatan Bumi Indonesia. Satelit-satelit itu akan diluncurkan bertahap. Untuk mengoperasikannya, memerlukan jaringan stasiun bumi, sistem pengolahan, dan distribusi data. Saat ini, stasiun bumi ada tiga lokasi, yaitu di Bogor, Pare-pare, dan Biak.
Satelit-satelit itu terdiri dari empat satelit resolusi tinggi, dua satelit resolusi sangat tinggi, dan dua satelit radar atau Synthetic Aperture Radar (SAR). Selanjutnya, juga 10 satelit untuk satelit konstelasi dengan misi komunikasi yang menggunakan orbit bumi rendah atau low earth orbit (LEO), dan satu satelit geostasioner atau geostationary earth orbit (GEO).
Heru mengatakan, dalam program riset satelit, BRIN akan meluncurkan LAPAN-A4 tahun depan, yang akan diperkenalkan sebagai satelit pertama dari konstelasi Nusantara Earth Observation pertama (NEO-1).
SPACEX
Satelit Satria 1 atau disebut juga Nusantara 3 meluncur menggunakan roket Falcon 9 milik SpaceX dari landas luncur 40 di Pangkalan Angkatan Antariksa Cape Canaveral, Florida, Amerika Serikat, Minggu (18/6/2023) pukul 18.21 waktu setempat atau Senin (19/6/2023) pukul 05.21 WIB.
Berbagai riset pengolahan data penginderaan jauh dan teknologi satelit akan dihasilkan dengan beroperasinya NEO-1. Dengan asumsi seluruh proses peluncuran satelit lancar, data NEO-1 akan masuk di bank data penginderaan jauh nasional yang dikelola di Pusdatin pada akhir tahun 2024.
Sementara itu, satelit kedua dari konstelasi atau NEO-2 direncanakan adalah satelit dengan spesifikasi 50 cm imager yang akan dibangun dengan skema kerja sama antara pemerintah dan badan usaha (KPBU).
Satelit pertama akan dibangun di negara mitra karena Indonesia belum memiliki kemampuan teknologi dan fasilitas untuk membangun satelit yang resolusinya sampai 50 cm. Meskipun begitu, pihaknya akan membangun fasilitas assembly, integration, and test (AIT) kelas 1.000 kg di Indonesia sehingga setelah satelit pertama selesai dan diluncurkan, pembangunan satelit kedua di Indonesia bisa dimulai.
”Dengan adanya fasilitas tersebut, satelit-satelit penggantinya akan dapat dibuat di Indonesia. Meskipun menggunakan pinjaman luar negeri, kami ingin satelit kedua ini dibangun di Indonesia sehingga replacement-nya bisa dilakukan di Indonesia,” ujar Heru.
Heru mengatakan, sebelumnya, pada Juni 2023, satelit telekomunikasi terbesar milik Indonesia, yakni Satelit Republik Indonesia (Satria) 1, berhasil diluncurkan. Peluncuran satelit tersebut memiliki dampak ekonomi yang sangat besar.
Satelit berkapasitas 150 gigabit per detik (Gbps) itu dapat meningkatkan kemampuan penetrasi internet di Indonesia, yakni di daerah yang tertinggal atau terpencil. Dengan satelit tersebut, masyarakat daerah dapat mengakses layanan kesehatan dan pendidikan jarak jauh.
Kepala Pusat Riset Teknologi Satelit BRIN Wahyudi Hasbi menambahkan, terdapat beberapa kebutuhan satelit nasional. Pertama ialah pengamatan Bumi atau penginderaan jauh yang mencakup pemetaan, tata ruang, lingkungan, meteorologi, kebencanaan, pengawasan, dan lain-lain. Selain itu, satelit nasional memerlukan navigasi untuk penentuan lokasi obyek.