Wabah Flu Burung yang Meluas pada Mamalia Berisiko bagi Manusia
Wabah flu burung terus meluas dengan semakin banyak mamalia yang tertular. Wabah ini juga dinilai berisiko bagi manusia terutama dengan semakin banyaknya penularan pada mamalia.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Wabah flu burung telah menyebabkan kehancuran pada populasi hewan, termasuk unggas, burung liar, dan beberapa mamalia, serta merusak mata pencarian petani dan perdagangan makanan. Meskipun sebagian besar menyerang hewan unggas, wabah ini juga dinilai berisiko bagi manusia terutama dengan semakin banyaknya penularan pada mamalia.
Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) mendesak negara-negara untuk lebih waspada mengantisipasi perkembangan wabah flu burung. Mereka mengajak bekerja sama lintas sektor untuk menyelamatkan sebanyak mungkin hewan dan melindungi manusia.
Analisis situasi terbaru yang dirilis tiga lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa tersebut, Rabu (12/7/2023), menyebutkan, saat ini ada peningkatan jumlah mamalia yang terdeteksi terinfeksi virus flu burung atau H5N1 yang biasanya menyebar di antara burung.
Virus tampaknya tidak dapat menularkan dari satu orang ke orang lain dengan mudah, tetapi kewaspadaan diperlukan untuk mengidentifikasi setiap evolusi dalam virus yang dapat mengubahnya.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran bahwa virus tersebut mungkin lebih mudah beradaptasi untuk menginfeksi manusia. Selain itu, beberapa mamalia juga dapat bertindak sebagai inang pencampur untuk virus influenza, yang menyebabkan peluang munculnya virus baru yang lebih berbahaya bagi hewan dan manusia.
Laporan ini juga menyebarkan, virus flu burung H5N1 keturunan angsa dari Guangdong, China, pertama kali muncul pada tahun 1996 dan telah menyebabkan wabah pada burung sejak saat itu. Sejak tahun 2020, varian dari virus yang termasuk dalam clade H5 2.3.4.4b ini telah menyebabkan kematian unggas dan unggas liar dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya di banyak negara di Afrika, Asia, dan Eropa. Pada 2021, virus menyebar ke Amerika Utara, dan pada 2022, ke Amerika Tengah serta Selatan.
Pada tahun 2022, sebanyak 67 negara di lima benua melaporkan wabah flu burung patogenisitas tinggi H5N1 pada unggas dan burung liar ke WOAH. Ada lebih dari 131 juta unggas domestik hilang karena kematian atau pemusnahan di peternakan dan desa yang terkena dampak.
Pada tahun 2023, sebanyak 14 negara lainnya melaporkan wabah, terutama di Amerika, karena penyakit ini terus menyebar. Beberapa peristiwa kematian massal telah dilaporkan pada unggas liar yang disebabkan oleh virus influenza A(H5N1) clade 2.3.4.4b.
Penularan flu burung pada mamalia
Baru-baru ini, WOAH juga mencatat adanya peningkatan laporan wabah mematikan di antara mamalia yang juga disebabkan oleh virus influenza A(H5), termasuk influenza A(H5N1). Setidaknya 10 negara di tiga benua telah melaporkan wabah pada mamalia sejak 2022.
Penyebaran virus ini pada mamalia diduga lebih luas lagi, tetapi banyak negara belum mendeteksi atau melaporkannya. Baik mamalia darat maupun laut telah terpengaruh, termasuk wabah pada cerpelai yang dibudidayakan di Spanyol, anjing laut di Amerika Serikat, serta singa laut di Peru dan Chili, dengan setidaknya 26 spesies diketahui telah terpengaruh.
Virus H5N1 juga telah terdeteksi pada hewan peliharaan seperti kucing dan anjing di beberapa negara. Deteksi H5N1 baru-baru ini pada kucing diumumkan oleh pihak berwenang di Polandia.
”Ada perubahan paradigma baru-baru ini dalam ekologi dan epidemiologi flu burung yang telah meningkatkan perhatian global karena penyakit ini menyebar ke wilayah geografis baru dan menyebabkan kematian burung liar yang tidak biasa, dan peningkatan yang mengkhawatirkan dalam kasus mamalia,” kata Gregorio Torres, Kepala Departemen Sains di WOAH.
Risiko bagi manusia
Laporan ini juga menyebutkan, deteksi virus sporadis influenza A(H5N1) clade 2.3.4.4b pada manusia telah dilaporkan, tetapi tetap sangat jarang, yaitu 8 kasus dilaporkan sejak Desember 2021. Sekalipun kasusnya relatif jarang, infeksi pada manusia dapat menyebabkan penyakit parah dengan tingkat kematian tinggi. Kasus manusia yang terdeteksi sejauh ini sebagian besar terkait dengan kontak dekat dengan unggas yang terinfeksi dan lingkungan yang terkontaminasi.
”Dengan informasi yang tersedia sejauh ini, virus tampaknya tidak dapat menularkan dari satu orang ke orang lain dengan mudah, tetapi kewaspadaan diperlukan untuk mengidentifikasi setiap evolusi dalam virus yang dapat mengubahnya,” kata Sylvie Briand, Direktur Epidemi, Kesiapsiagaan dan Pencegahan Pandemi WHO.
Menurut Briand, kemampuan untuk memantau virus-virus ini dan untuk mendeteksi setiap kasus pada manusia menjadi kunci penanganan. ”Hal ini sangat penting karena virus tersebut sekarang menyerang negara-negara dengan pengalaman terbatas sebelumnya dalam pengawasan flu burung,” kata dia.
Saat ini para ilmuwan tengah melakukan studi untuk mengidentifikasi setiap perubahan dalam virus yang dapat membantu virus menyebar lebih mudah di antara mamalia, termasuk manusia. ”Epidemiologi H5N1 terus berkembang pesat,” kata Keith Sumption, Chief Veterinary Officer FAO. ”FAO memperhatikan perlunya kewaspadaan dan pembagian urutan genetik secara tepat waktu untuk memantau epidemiologi molekuler untuk penilaian risiko dan pengendalian penyakit yang lebih baik.”