PPDB Zonasi Belum Wujudkan Pemerataan Sekolah Berkualitas
Penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi dinilai belum memberikan rasa adil. Banyak penyimpangan bermunculan demi bersekolah di sekolah negeri yang masih senjang kualitasnya.
JAKARTA, KOMPAS — Pemerataan akses pada pendidikan berkualitas lewat sistem penerimaan peserta didik baru dengan zonasi sejak tahun 2017 belum memberikan rasa keadilan. Masyarakat masih saja berebutan untuk masuk di sekolah-sekolah negeri yang dianggap unggulan atau favorit, yang kini salah satunya dilabeli sekolah penggerak. Akibatnya, kegaduhan dan kecurangan saat pendaftaran siswa baru terus terjadi setiap tahun dan merugikan anak-anak usia sekolah yang seharusnya mendapatkan hak yang sama untuk menikmati layanan pendidikan berkualitas oleh pemerintah.
Atas berbagai permasalahan yang terus terjadi setiap tahunnya dalam sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) di jenjang pendidikan dasar hingga menengah. Komisi X DPR dalam rapat dengar pendapat dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) terkait PPDB di Jakarta, Rabu (12/7/2023), meminta agar Kemendikbudristek menyerahkan evaluasi pelaksanaan PPDB tahun ajaran 2023/2024 di akhir Oktober nanti. Dari evaluasi ini nanti akan dilihat kembali perbaikan mendasar yang perlu dilakukan dalam PPDB di tahun depan.
Secara terpisah, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji di Jakarta, Kamis (13/7/2023), menilai, pembahasan masalah PPDB antara Komisi X DPR dan Kemendikbudristek gagal membahas serta mengidentifikasi problem utama dalam ricuh PPDB 2023. Rapat dengar pendapat terkuras untuk mendiskusikan hal-hal yang remeh-temeh terkait kesalahan teknis dan urusan lokal yang bersifat malaadministrasi.
Baca juga : Penerimaan Peserta Didik Baru Masih Diwarnai Kecurangan
”Ini masalah klasik yang akan terus terjadi jika sumber utama tidak dibenahi. Masalah utama adalah bagaimana pemerintah mampu membuat sistem PPDB yang berkeadilan bagi semua, bukan ’sistem seleksi’ yang pasti akan menggugurkan mayoritas calon peserta didik yang mendaftar di sekolah negeri karena daya tampungnya yang sangat minimalis,” ujar Ubadi.
Ubaid memaparkan, sumber kegaduhan PPDB adalah Permendikbud Nomor 1 Tahun 2021. Beleid ini dijadikan acuan di daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh pemerintah daerah (pemda). Dampaknya, sistem PPDB menuai protes di berbagai tempat dengan ragam kegaduhan yang berbeda-beda. Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, dan banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi.
”Jadi, regulasi ini melahirkan peraturan turunan di daerah-daerah, yang satu sama lain saling bertabrakan. Jadi, masyarakat bingung, lalu terjadilah gaduh. Apabila hanya ada satu atau dua daerah yang gaduh, maka bisa jadi daerah tersebut yang salah tafsir. Tetapi, jika ricuh itu terjadi di mana-mana di semua daerah, berarti acuan permendikbudnya yang bermasalah,” ujar Ubaid.
Masalah lainnya adalah pelaksanaan PPDB tidak pernah diaudit, apakah benar berkeadilan. Permendikbud tentang PPDB terakhir diterbitkan tahun 2021. Namun, hingga kini belum juga direvisi. Padahal, hal itu jelas memakan banyak korban karena ketidakadilan yang sistemik. Kemendikbudristek malah mengklaim secara sepihak bahwa sistem ini adalah sistem terbaik serta untuk pemerataan akses dan mutu.
Masih mimpi
Nyatanya, ujar Ubaid, sejak diberlakukan tahun 2017 hingga kini 2023, pemerataan akses dan mutu itu masih jadi mimpi bersama, belum nyata. Dari sisi akses, mayoritas anak tak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Soal mutu juga masih terjadi kesenjangan. Tahun ini, pendaftar PPDB masih saja menumpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit.
”Bahkan, kini pemerataan kualitas pendidikan kian rancu dengan adanya label sekolah penggerak. Kehadiran sekolah dengan label sekolah penggerak ini menjadi favoritisme atau stigma unggulan baru,” kata Ubaid.
Sistem PPDB saat ini dinilai belum mampu menjamin semua anak dapat mendapatkan haknya untuk bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas. Padahal ini adalah amanah konstitusi (UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sisdiknas Pasal 34). Karena itu, sistem PPDB harus mampu memberikan kepastian dan jaminan layanan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, tanpa diskriminasi.
Adanya ”sistem seleksi” dalam Permendikbud No 1/2021 dengan sendirinya akan menganulir dan mendiskriminasi mayoritas anak Indonesia untuk mendapat layanan pendidikan yang berkeadilan. Jadi, selama ”sistem seleksi” ini diberlakukan, tentu praktik diskriminatif ini kian subur.
Selain perlu merevisi Permendikbud No 1/2021, harus ada kepastian tentang nasib anak-anak usia sekolah yang hendak mendaftar ke jenjang berikutnya.
Baca juga: Kampanye Baca Tanpa Batas demi Dongkrak Literasi Papua
Permendikbud tentang PPDB yang baru sebagai acuan utama harus mewajibkan semua pemda untuk melibatkan sekolah swasta saat PPDB di tingkat SD/MI, SMP/MTs, dan SMA/MA. Ini penting karena kuota kursi di negeri sangat minim. Kuota kursi yang disediakan pemerintah saat PPDB harus sebanding dengan jumlah kebutuhan.
Sistem zonasi bisa terus diterapkan, tetapi harus dibarengi dengan pemerataan kualitas sekolah (di swasta dan negeri) tanpa harus melalui sistem seleksi. Jadi, semua anak akan dapat jatah sekolah yang berkualitas dan bebas biaya di dekat rumah.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah Kemendikbudristek Iwan Syahril menegaskan, prinsip pelaksanaan PPDB dilakukan tanpa diskriminasi, kecuali bagi sekolah yang secara khusus dirancang untuk melayani peserta didik dari kelompok jender atau agama tertentu. Ada empat jalur pendaftaran PPDB tahun ajaran 2023/2024 jenjang SD, SMP, dan SMA, yaitu zonasi (untuk SD paling sedikit 70 persen, SMP paling sedikit 50 persen, SMA paling sedikit 50 persen), afirmasi (paling sedikit 15 persen), perpindahan orangtua/wali (paling banyak 5 persen), dan prestasi (jika persentase kuota masih tersisa).
Menurut Iwan, empat jalur tersebut bertujuan memberikan kesempatan yang adil dan sebesar-besarnya bagi peserta didik untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas dengan tidak menjadikan keterbatasan ekonomi maupun kondisi disabilitas sebagai penghalang. Pemda diberi keleluasaan dalam menentukan formula terbaik sesuai kondisi wilayahnya.
Baca juga : Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah Dibuat Menyenangkan
Pemda menetapkan kebijakan pada setiap jenjang melalui proses musyawarah atau kelompok kerja kepala sekolah. Musyawarah tersebut memperhatikan sebaran sekolah, data sebaran domisili calon peserta didik, dan kapasitas daya tampung sekolah yang disesuaikan dengan ketersediaan jumlah anak usia sekolah pada setiap jenjang di daerah tersebut.
Iwan tidak menampik jika masyarakat masih memburu sekolah negeri unggulan tertentu. Ada sekolah unggulan karena proses belajarnya, ada juga yang karena input siswa yang baik.
”Kami mendorong supaya sekolah-sekolah dapat meningkatkan kualitas dari proses pembelajarannya. Dengan demikian, siapa pun siswa yang masuk ke sekolah tersebut setelah lulus mendapatkan peningkatan kompetensi karena adanya proses pembelajaran yang baik selama bersekolah,” ujar Iwan.
Terkait jalur zonasi, meskipun masih ditemukan beberapa tantangan, Kemendibudristek juga telah memotret beberapa praktik baik yang dilakukan pemda. Contohnya, Kabupaten Donggala yang menyinkronkan data siswa sekolah asal dari Dapodik dengan data dari dinas dukcapil. Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Pasuruan menetapkan zonasi secara detail untuk memastikan semua wilayah masuk dalam penetapan zonasi.
Adapun Pemerintah Provinsi Riau dan Pemerintah Kota Bogor membangun unit sekolah baru (USB) untuk menambah daya tampung sekolah. Lalu, Pemerintah Kabupaten Tangerang melakukan pakta integritas bersama antara seluruh pimpinan musyawarah daerah, kepala sekolah, LSM, dan tokoh masyarakat agar pelaksanaan PPDB berlangsung tanpa tekanan, bebas dari KKN, dan pungutan liar.
Baca juga : Ketika Sekolah Negeri Jadi ”Kemewahan” bagi Sebagian Keluarga Jakarta
Inspektur Jenderal Kemendikbudristek Chatarina Muliana Girsang menambahkan bahwa secara berkala, Kemendikbudristek memantau penyelenggaraan PPDB. Berdasarkan evaluasi, ditemukan fakta bahwa dalam proses PPDB masih lemah sosialisasi dan pengawasan di tingkat daerah.
Sekretaris Jenderal Kemendikbudristek Suharti menjelaskan, Kemendikbudristek bersama dengan Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (KemenPPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menyusun standar pelayanan minimum yang merujuk pada rapor pendidikan. Hal ini menjadi acuan bagi dinas pendidikan dan satuan pendidikan dalam menyusun kebijakan, termasuk PPDB.
”Mudah-mudahan dengan langkah ini pemda terus terdorong untuk memastikan pemerataan akses pendidikan yang berkualitas merujuk pada perencanaan berbasis data,” kata Suharti.
Sistem zonasi yang semestinya memudahkan masyarakat mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri terdekat, faktanya malah menyulitkan.
Beberapa hal yang disepakati dalam RDP dan akan ditindaklanjuti Kemendikbudristek adalah mengevaluasi regulasi untuk mengatasi kecurangan administrasi, menjalin komunikasi efektif dengan komunitas di berbagai daerah untuk memaksimalkan sosialisasi kebijakan, mengoptimalkan pemanfaatan rapor pendidikan dalam menyusun rencana kebijakan di daerah, melakukan pengawasan yang lebih ketat untuk mengatasi permasalahan di lapangan, serta membentuk satgas di tingkat pemda.
Anggota Komisi X DPR, Ali Zamroni, mengatakan, PPDB seharusnya menjadi dasar untuk merancang program pemerintah yang mendukung terciptanya pemerataan sekolah berkualitas. Dengan demikian, orang-orang tidak berbondong-bondong memperebutkan sekolah favorit.
Muhamad Dhofier, pegiat guru kebinekaan dari Yayasan Cahaya Guru, mengingatkan agar sekolah menjadi tempat yang mengembangkan keberagaman peserta didik. Sistem zonasi memberi ruang untuk siswa beragam belajar bersama. Namun, sistem zonasi yang semestinya memudahkan masyarakat mendaftarkan anaknya ke sekolah negeri terdekat, faktanya malah menyulitkan.
Menjunjung keberagaman
Padahal, ujar Dhofier, jika sistem zonasi berjalan sesuai dengan spirit kesetaraan dan menjunjung nilai keberagaman, maka akan ada beberapa keuntungan yang diperoleh masyarakat. Pertama, kedekatan lokasi anak dengan sekolah akan menghemat biaya perjalanan, anak-anak relatif lebih aman, dan energi anak-anak tidak habis karena perjalanan yang jauh.
Kedua, tak ada lagi stigma sekolah unggulan dan non-unggulan. Semua sekolah seharusnya unggulan. Sekolah-sekolah memiliki keunikannya sendiri berdasarkan karakter yang dikembangkan, bukan unggulan oleh karena input siswanya adalah mereka yang nilainya terbaik atau mengantongi banyak piagam prestasi.
Ketiga, merawat keberagaman. Dengan siatem zonasi, syarat yang perlu diatur adalah lokasi domisili si pelajar, bukan apa prestasinya sehingga yang mendaftar di sekolah negeri akan beragam.
”Sistem zonasi mestinya dikembalikan lagi pada niat utamanya. Maka syarat yang dimaksud adalah pemetaan zonasi dan keberagaman individu. Selain syarat itu, sebaiknya dihapus,” kata Dhofier.