Ancaman Krisis Pangan Masyarakat Lokal di Tengah Kegagalan ”Food Estate”
Harapan pemerataan pangan lewat ”food estate” yang menghilangkan perladangan tradisional justru mendatangkan krisis pangan bagi masyarakat setempat.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·4 menit baca
KOMPAS/AGUS SUSANTO
Yulita mengayak beras di Kampung Serapu, Distrik Semangga, Merauke, Papua, Selasa (7/11/2022). Pergeseran pola pangan dari sagu ke beras di Merauke dimulai seiring berbagai proyek cetak sawah yang dimulai Belanda yang dilanjutkan Pemerintah Indonesia dengan program transmigrasi.
JAKARTA, KOMPAS — Program lumbung pangan atau food estate yang dicanangkan pemerintah belum menunjukkan hasil maksimal. Program pemerataan pangan tersebut justru berpotensi menghadirkan krisis pangan bagi masyarakat di lokasi proyek tersebut.
Mengacu Peraturan Presiden Nomor 108 Tahun 2022 tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2023, program food estate menjadi proyek prioritas strategis. Adapun sejumlah provinsi yang dijadikan sebagai sentra produksi pangan ini, yakni Sumatera Utara, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, serta Papua Selatan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan, program yang dijalankan lintas kementerian tersebut membuat masyarakat setempat harus meninggalkan kebiasaan perladangan tradisional. Namun, dalam perkembangannya, program tersebut justru gagal dalam upaya menjadi lumbung pangan.
”Food estate yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis pangan, dilakukan dengan menghilangkan pangan lokal. Pangan-pangan lokal yang dihilangkan justru membuat masyarakat setempat mengalami krisis pangan,” kata Arie dalam diskusi publik ”Tiga Tahun Proyek Food Estate” di Jakarta, Kamis (13/7/2023).
Arie mencontohkan, di Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, misalnya, sekitar 600 hektar sebagai daerah lokasi penanaman lumbung pangan nasional dengan komoditas singkong. Namun, lahan singkong tersebut tak kunjung panen dan justru mangkrak.
Salah satu lokasi penanaman singkong di kawasan food estate di Desa Tewai Baru, Kabupaten Gunung Mas, Kalimantan Tengah, Kamis (10/11/2022). Kawasan ini sebelum tahun 2019 merupakan kawasan hutan hujan tropis.
Alhasil, masyarakat tidak mendapatkan manfaat dari program food estate tersebut. Di sisi lain, lahan mereka untuk mendapatkan sumber pangan lokal telah berubah menjadi lahan tandus. Padahal, sebelum berubah menjadi lahan untuk food estate, lahan tersebut merupakan sumber penghidupan masyarakat.
Arie menyayangkan, program food estate yang dijalankan terlalu berorientasi pada penyeragaman jenis pangan. Pola perladangan tradisional dihilangkan dan diganti dengan jenis pangan yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan dan budaya masyarakat setempat.
”Skema seperti (food estate) ini telah dilakukan oleh masa pemerintahan sebelumnya dan gagal. Namun, tetap ditiru, alhasil dampak yang diberikan hanya membuat kerusakan dan dampak buruk semakin parah,” ujar Arie.
’Food estate’ yang dimaksudkan untuk mengatasi krisis pangan dilakukan dengan menghilangkan pangan lokal. Pangan-pangan lokal yang dihilangkan justru membuat masyarakat setempat mengalami krisis pangan.
Skema lumbung pangan, seperti food estate, lanjut Arie, seharusnya perlu dievaluasi secara menyeluruh. Apalagi jika melihat kegagalan pada program serupa, yakni Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE), pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Adapun dampak buruk peralihan perladangan tradisional dalam MIFEE juga terpotret dalam reportase Kompas pada akhir 2022. Wartawan harian Kompas, Ahmad Arif, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi publik, mengungkapkan hal tersebut, seperti temuan di Kabupaten Merauke, Papua Selatan.
Arif menuturkan, saat MIFEE mulai dijalankan 12 tahun lalu, pola perladangan tradisional yang telah dilakukan turun-temurun oleh masyarakat setempat kemudian dihilangkan diganti lumbung pangan lewat cetak sawah.
Begitu pun, saat Merauke kembali dimasukkan sebagai lokasi proyek food estate, cetak sawah baru terus dilakukan. Namun, sebagian kawasan tersebut kembali menjadi semak belukar karena masyarakat tidak bisa menggarap lahan yang ada.
Kegagalan masyarakat dalam mengelola perladangan ini membuat pergeseran pola pangan ini menyebabkan berbagai masalah gizi dan kesehatan. Dari sebelumnya mengonsumsi makanan tradisional yang bisa diambil dari hutan, seperti sagu, umbi-umbian, dan daging liar. Kini, masyarakat harus mengonsumsi pangan yang berkualitas rendah, seperti mi instan.
Peneliti dan juru kampanye Foodfirst Information and Action Network (FIAN) Indonesia, Betty Tiominar, mengungkapkan, pelarangan penanaman pangan lokal tersebut berarti membatasi akses masyarakat dalam pemenuhan pangan.
”Jadi bayangkan, saat masyarakat dilarang menanam, ada berapa jenis pangan lokal yang hilang? Hak pemenuhan pangan ini tidak bisa dipisahkan dengan hak asasi manusia,” ujarnya.
Dengan demikian, Betty berharap dengan kegagalan program food estate di sejumlah daerah, seharusnya ada upaya evaluasi dari pemerintah. Menurut dia, pemerintah tidak seharusnya melakukan penyeragaman pangan, tetapi mengembangkan pangan yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi di suatu daerah.
Sementara dalam sejumlah kesempatan kunjungan ke sejumlah lokasi food estate, Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo menampik anggapan kegagalan proyek tersebut.
”Food estate Kalimantan jangan dilihat apa yang dihasilkan hari ini. Tapi, kami berharap ini konsep yang menembus masa depan secara nasional. Ingat, kita tidak bisa bertumpu lagi hanya di Jawa,” kata Syahrul saat meninjau lokasi food estate di Kalimantan Tengah (Kompas.id, 16/2/2023).