Penghapusan alokasi belanja wajib atau ”mandatory spending” dalam UU Kesehatan bisa mengancam ketahanan kesehatan nasional.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Setelah Rancangan Undang-Undang Kesehatan disetujui menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat, sorotan dan kritik masih bermunculan. Sorotan tersebut di antaranya penghapusan alokasi belanja wajib atau mandatory spending yang dianggap kontraproduktif dalam upaya transformasi kesehatan.
UU Kesehatan yang disetujui dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (11/7/2023), tidak lagi memuat tentang kewajiban penganggaran kesehatan minimal 5 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Moh Adib Khumaidi, Rabu (12/7/2023), menyebut, misi kemandirian kesehatan yang menjadi bagian dalam transformasi kesehatan akan sulit terwujud. Apalagi terkait penghapusan mandatory spending yang justru kontraproduktif dengan upaya transformasi kesehatan.
Penghapusan tersebut, lanjut Adib, membuat tidak ada lagi kepastian hukum bagi setiap warga negara dalam pembiayaan kesehatan. Ada potensi masyarakat dihadapkan pada privatisasi, bisnis, komersialisasi kesehatan yang justru tidak sejalan dengan upaya pemerataan akses kesehatan.
”Ini (penghapusan mandatory spending) justru membawa konsekuensi pada ketahanan kesehatan nasional Indonesia,” ucap Adib dalam siaran video IDI, Rabu (12/7/2023).
Dihubungi secara terpisah, anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Dede Yusuf Effendi, mengatakan, penghapusan mandatory spending berartihilangnya komitmen negara dalam pembiayaan kesehatan. Kepastian alokasi anggaran serta tercantum dalam UU berarti menunjukkan komitmen dari negara.
”Hilangnya komitmen ini akan membuat kemungkinan pembatalan anggaran atau perubahan anggaran. Itu akan mengancam ketahanan kesehatan,” katanya.
Dede mengindikasi, ketidakpastian anggaran akan memunculkan kemungkinan pembiayaan kesehatan dibebankan pada sektor bisnis. ”Padahal, kesehatan merupakan tanggung jawab negara yang paling prioritas,” ucapnya.
Terkait anggaran kesehatan ini, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengungkapkan, penghapusan mandatory spending diubah menjadi mekanisme penganggaran berbasis program. Hal ini akan membuat skema pengalokasian anggaran lebih terukur.
Alokasi anggaran telah diperhitungkan sesuai dengan program dan laporan kinerja yang dilaporkan.
”Seperti yang disampaikan Menteri Kesehatan (Budi Gunadi Sadikin) kemarin, ke depan yang didahulukan melihat program, kemudian dianggarkan,” kata Syahril saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (12/7/2023).
Masih diperlukan
CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) Diah Satyani Saminarsih mengutarakan, kewajiban alokasi masih diperlukan. Saat masih berlaku saja, masih ada daerah yang proporsi anggaran kesehatannya kurang dari 10 persen.
Diah memaparkan, masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia yang proporsi anggaran kesehatannya di bawah 10 persen pada 2021, dengan distribusi alokasi timpang.
”Realitas di lapangan memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional sulit terlaksana di daerah dengan dalih keterbatasan anggaran. Sektor kesehatan juga kerap tidak jadi prioritas penyusunan rencana pembangunan daerah,” ujar Diah (Kompas.id, 11/7/2023).
”Hilangnya mandatory spending (belanja wajib) anggaran kesehatan membuat tidak ada jaminan atau komitmen perbaikan untuk menguatkan sistem kesehatan di tingkat pusat ataupun daerah,” ujar Diah.
Sementara itu, Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan dan Desentralisasi Kesehatan Kementerian Kesehatan Yuli Farianti mencoba meyakinkan, penghapusan mandatory spending justru akan membuat pengelolaan anggaran jauh lebih terukur. Dalam skema yang termuat dalam Rencana Induk Kesehatan, alokasi anggaran berbasis program akan diatur setiap tahun bersama DPR.
Adapun segala hal yang menjadi kebutuhan setiap daerah akan diatur berdasarkan program dan kinerja pemerintah daerah. ”Akan disusun rencananya dulu, setiap tahun dibahas dengan DPR. Acuannya penganggaran berdasarkan laporan kinerja di suatu daerah,” katanya.
Yuli mencontohkan, ada temuan di sejumlah daerah, anggaran kesehatan justru tidak digunakan sesuai peruntukan. Dengan demikian, evaluasi mandatory spending diperlukan untuk memastikan alokasi anggaran bisa terukur di setiap daerah.
Dia menambahkan, skema penganggaran berbasis kinerja justru akan memangkas disparitas anggaran di setiap daerah yang belum merata. ”Jadi, daerah tidak perlu khawatir, alokasi anggaran telah diperhitungkan sesuai dengan program dan laporan kinerja yang dilaporkan,” kata Yuli.