UGM-Nagoya University Teliti Alternatif Media Tanam Jamur Pengganti Sengon
UGM dan Nagoya University bekerja sama meneliti alternatif media tanam baru jamur pengganti limbah sengon.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta bekerja sama dengan Nagoya University Jepang melakukan penelitian terkait media tanam untuk budidaya jamur. Peneliti mencari alternatif limbah dari berbagai ragam kayu yang bisa dimanfaatkan sebagai media tanam baru pengganti limbah kayu sengon.
”Dengan mempertimbangkan harga limbah kayu sengon yang semakin mahal dan sulit didapatkan, kami berupaya mencari alternatif media tanam baru, dan sebisa mungkin limbah kayu tersebut bisa didapatkan dari pohon-pohon yang ada di lingkungan sekitar masyarakat desa saja,” ujar Denny Irawati, dosen sekaligus peneliti di Laboratorium Konversi Kimia Biomaterial Fakultas Kehutanan UGM, saat ditemui, Selasa (11/7/2023).
Alternatif pengganti ini perlu dipikirkan karena petani kini makin kesulitan mendapatkan sengon. Jika dahulu limbah kayu bisa dengan mudah didapatkan secara gratis dari industri, sekarang, untuk mendapatkannya, petani harus membeli limbah kayu tersebut dengan harga Rp 1,5 juta per muatan truk.
Pengujian tentang alternatif pilihan kayu lainnya ini, menurut dia, juga penting dilakukan karena petani jamur tidak mungkin mencoba-coba melakukannya sendiri. ”Uji coba tidak mungkin dilakukan petani sendiri karena kegiatan tersebut pasti akan berisiko menghabiskan waktu dan berpotensi juga merugikan petani,” ujarnya.
Sejauh ini, UGM dan Nagoya University sudah melakukan penelitian dan uji coba dengan memakai 10-11 jenis limbah kayu, antara lain mangga, akasia, jati, kleresede, dan mahoni. Dari hasil pengujian, disimpulkan jamur bisa tumbuh di 10-11 jenis limbah kayu yang dipakai. Hanya saja, lama waktu yang dibutuhkan untuk proses pertumbuhan jamur di tiap-tiap media tanam berbeda-beda.
Penelitian terkait media tanam jamur ini, menurut Denny, masih akan terus dikembangkan dan diperdalam lagi. ”Kami akan mencari alternatif media tanam dengan menguji coba ke lebih banyak variasi kayu dan akan meneliti kecocokan media tanam hingga akhirnya bisa memberikan hasil panen jamur,” ujarnya.
Kerja sama penelitian media tanam jamur antara UGM dan Nagoya University ini berlangsung selama tiga tahun, mulai Oktober 2021 hingga September 2024. Kegiatan ini memanfaatkan dana bantuan dari Japan International Cooperation Agency (JICA) yang diberikan kepada Nagoya University. Penelitian tersebut juga melibatkan sejumlah peneliti dari Gifu Forestry Research Institute.
Di Fakultas Kehutanan UGM juga telah dibuka Unit Penelitian dan Pengembangan Jamur Konsumsi (UP2JK). Unit ini bertugas memberikan pelatihan pendampingan kepada petani terkait teknik budidaya jamur yang tepat. Di gedung ini juga terdapat mesin pencacah kayu yang bisa dipakai petani untuk menguji kayu sebagai media tanam jamur.
Dekan Fakultas Kehutanan UGM Sigit Sunarta mengatakan, keterlibatan dalam kegiatan penelitian budidaya jamur ini dilakukan sebagai bagian dari kontribusi Fakultas Kehutanan dalam hal penyediaan pangan. ”Kita harus bergerak, terlibat dalam penyediaan dan diversifikasi pangan, sebagai bagian dari upaya mitigasi terhadap perubahan iklim yang berpotensi menimbulkan kegagalan panen,” ujarnya.
Penelitian terkait jamur, menurut dia, juga penting dilakukan karena tingkat konsumsi jamur terus meningkat. Tidak sekadar untuk memenuhi pasar luar negeri, kini masyarakat di Nusantara juga begitu menggemari jamur sebagai alternatif makanan sehat.
Wakil Bupati Sleman Danang Maharsa mengatakan, di Kabupaten Sleman, DIY, terdapat 13 petani jamur besar dengan produksi mencapai 3.866 jamur per tahun. Di luar itu, juga masih terdapat banyak petani jamur lainnya yang menjalankan budidaya dalam skala kecil. Petani-petani jamur kecil skala rumahan tersebut banyak bermunculan di masa pandemi.
Danang mengatakan, Pemerintah Kabupaten Sleman sangat mendukung upaya penelitian yang telah dilakukan UGM dan Nagoya University. Ke depan, hasil-hasil penelitian bisa diimplementasikan oleh petani untuk mendukung keberlangsungan aktivitas budidaya jamur yang mereka jalankan.