Guru Besar Lintas Profesi Ajukan Petisi ke Presiden dan DPR Terkait RUU Kesehatan
Forum Guru Besar Lintas Profesi mengajukan petisi kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani terkait Rencana Undang-Undang Kesehatan.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Forum Guru Besar Lintas Profesi mengajukan petisi kepada Presiden Joko Widodo dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Puan Maharani terkait dengan Rancangan Undang-Undang Kesehatan. Mereka meminta agar rancangan undang-undang tersebut ditunda pengesahannya karena substansinya dinilai dapat mengancam ketahanan kesehatan bangsa.
Para guru besar pun mengaku siap berkontribusi dan berkolaborasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat serta pihak-pihak terkait untuk memperbaiki substansi Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan. Petisi terbuka ini dibacakan ahli kandungan yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Indonesia Laila Nuranna Soedirman, di Gedung Juang 45, Jakarta, Senin (10/7/2023).
”Setelah kami membaca, menelaah, dan mendiskusikan secara saksama, dengan berbasis bukti, tentang RUU Kesehatan ini, kami mengidentifikasi sejumlah isu serius yang sangat perlu dipertimbangkan,” kata Laila.
Masalah yang diidentifikasi Forum Guru Besar Lintas Profesi (FGBLP) ini di antaranya penyusunan RUU Kesehatan tidak secara memadai memenuhi asas krusial pembuatan UU, yaitu keterbukaan/transparan, partisipatif, kejelasan landasan pembentukan (filosofis, sosiologis, dan yuridis), serta kejelasan rumusan.
”Langkah perbaikan dan peningkatan kualitas perumusan serta partisipasi publik harus menjadi fokus untuk mencapai UU Kesehatan yang lebih komprehensif dengan kebutuhan masyarakat,” ujarnya.
Menurut FGBLP, saat ini tidak ada urgensi dan kegentingan mendesak untuk pengesahan RUU Kesehatan yang akan mencabut sembilan UU terkait kesehatan dan mengubah empat UU lainnya. Padahal, hampir semua UU tersebut dinilai masih relevan digunakan dan tidak ditemukan adanya tumpang tindih ataupun kontradiksi di antara satu sama lain. Pada saat yang sama, Indonesia sedang menyiapkan hajatan demokrasi yang memerlukan perhatian serius, yaitu pemilihan umum.
Menurut FGBLP, berbagai aturan dalam RUU Kesehatan justru berisiko memantik destabilitas sistem kesehatan. ”Sejumlah pasal dalam RUU tidak kondusif dan menunjukkan ketidakberpihakan pada ketahanan kesehatan bangsa yang adekuat,” sebut Laila.
Beberapa pasal di antaranya, hilangnya mandatory spending yang tidak sesuai amanah Abuja Declaration WHO (Organisasi Kesehatan Dunia) dan TAP MPR RI X/MPR/2021. Selain itu, munculnya pasal-pasal terkait ruang multibar bagi organisasi profesi. Berikutnya ada kemudahan bagi dokter asing untuk masuk ke Indonesia dan implementasi proyek bioteknologi medis, termasuk proyek genome yang dinilai mengancam biosekuritas bangsa serta kontroversi terminologi waktu aborsi.
Laila menambahkan, pengesahan RUU yang memiliki banyak kontroversi ini akan menyebabkan lemahnya penerimaan dan implementasi UU, yang bisa berujung pada konflik dan ketidakstabilan bidang kesehatan, kurangnya legitimasi undang-undang, serta minimnya partisipasi kolektif, termasuk organisasi profesi.
Dalam petisi ini, selain meminta penundaan, para guru besar juga menyatakan siap berkontribusi dan berkolaborasi dengan DPR serta pihak-pihak terkait untuk menyempurnakan substansi RUU. ”Kami mohon dan berharap kiranya masukan ini menjadi pertimbangan serius bagi Bapak Presiden dalam menentukan proses selanjutnya dari RUU Kesehatan ini,” ujar Laila.
Dokter spesialis anak yang juga Guru Besar FK UI Sukman Tulus Putra mengatakan, petisi FGBLP dilayangkan karena pemangku kebijakan tidak mendengar aspirasi masyarakat terkait RUU Kesehatan.
”Kesehatan hak fundamental seluruh rakyat dan pembahasan UU memerlukan keterlibatan yang bermakna dari seluruh pihak. Namun, hingga kini mendekati waktu pengesahan yang akan diparipurnakan di DPR dalam beberapa hari ke depan, aspirasi yang berkembang tidak diberlakukan sebagaimana mestinya,” ujar Sukman.
Menurut Sukman, ada bagian yang sangat penting dalam RUU ini, tetapi banyak juga masalah, di antaranya terkait pendidikan kedokteran. ”Kita tidak menolak semuanya, tetapi kita berharap ditunda agar ada perbaikan yang krusial. Misalnya, masalah pembiayaan, mandatory spending yang sudah jadi ketetapan MPR ini harus ada. Ini kita heran, kenapa ini hilang. Paling tidak 5 persen APBN dan APBD 10 persen. Padahal, WHO menganjurkan minimal 20 persen,” katanya.
Sementara itu, Menaldi Rasmin dari FK UI yang juga mantan Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) mengatakan, petisi ini merupakan gerakan moral para akademisi untuk menyampaikan pendapat.
”Tidak ada yang menyuruh dan mengatur. Ini spontan dan hingga pagi sudah 200-an guru besar lintas disiplin yang terlibat dalam petisi. Banyak guru besar dari farmasi, hukum, teknik, ilmu budaya. Para akademisi senior ini melihat RUU ini akan mempengaruhi masyarakat luas,” ucapnya.
Sementara itu, Guru Besar dari Departemen Kedokteran Spesialis & Program Studi Bedah Saraf Universitas Diponegoro Zainal Muttaqin menilai, RUU ini akan menjadi pintu masuk dari kapitalisme global.
Adapun Guru Besar FK Universitas Hasanuddin, Makassar, Andi Asadul khawatir dengan rencana pengubahan pendidikan kedokteran yang sebelumnya berbasis universitas menjadi berbasis rumah sakit, seperti diusulkan RUU Kesehatan.
”Kami baru mempunyai kasus, ada satu kasus dokter spesialis lulusan hospital based di China, bedah saraf, mengajukan diri untuk berpraktik di Indonesia. Kami dari kolegium bedah saraf melakukan ujian dan yang bersangkutan hanya mendapat nilai 40 dari 100 sehingga dianggap tidak mampu beradaptasi dan harus mulai dari nol. Kalau perubahan university based ke hospital based secara drastis, ini akan berdampak besar,” ujarnya.
Respons pemerintah
Saat dimintai tanggapan, Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan, Kemenkes menyesalkan sikap beberapa Guru Besar Ilmu Kedokteran dari universitas ternama yang mengkritisi RUU Kesehatan hanya berdasarkan provokasi dan fakta sesat yang diembuskan oleh pihak-pihak tertentu.
Sementara itu, Juru Bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan, penolakan para guru besar hanya didasarkan pada hoaks yang beredar serta provokasi dari pihak-pihak tertentu untuk menolak RUU Kesehatan. Menurut dia, RUU ini akan membuat masyarakat lebih mudah mengakses dokter dan mendapatkan pengobatan serta layanan kesehatan yang murah.
Sebagai contoh, isu salah yang diembuskan para guru besar, menurut Syahril, terkait terminologi dan waktu aborsi. Padahal, masalah aborsi sudah diatur dalam UU KUHP yang baru, dan RUU Kesehatan hanya mengikuti apa yang sudah ada di UU KUHP agar tidak bertentangan. Isu lain yang salah kaprah terkait kebijakan genomik.