Uji Kesetaraan untuk Pendidikan Nonformal Diprotes
Pendidikan anak-anak Indonesia diakomodasi lewat jalur formal, nonformal, dan informal. Pemerintah diminta menjamin layanan pendidikan berkualitas sesuai pilihan anak tanpa diskriminasi pada jalur di luar persekolahan.
Oleh
ESTER LINCE NAPITUPULU
·6 menit baca
ARSIP PKBM SARBINI
Suasana kegiatan belajar dan mengajar di Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) Sarbini, Sukamanah, Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Meskipun di jalur pendidikan nonformal, semakin banyak anak usia sekolah yang memilih belajar di luar persekolahan.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan nonformal dan informal kini semakin berkembang di masyarakat dan menjadi pilihan pendidikan bagi anak-anak usia sekolah dari jenjang pendidikan anak usia dini hingga menengah. Pendidikan nonformal mengacu pada standar nasional pendidikan yang ditetapkan dan diakreditasi pemerintah. Akan tetapi, adanya pemberlakuan uji kesetaraan di tiap akhir jenjang pendidikan dinilai membelenggu semangat merdeka belajar yang selama ini dipraktikkan di jalur nonformal.
Keberatan atas pemberlakuan uji kesetaran untuk pendidikan nonformal dan informal oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi yang mengacu pada Peraturan Mendikbudristek Nomor 31 Tahun 2023 tentang Uji Kesetaraan tersebut disampaikan dalam ringkasan kebijakan atau policy brief Asosiasi Sekolah Rumah dan Pendidikan Alternatif (Asahpena) Indonesia. Sekretaris Umum Asahpena Indonesia Lovely B di Jakarta, Jumat (7/7/2023), mengatakan, proses penyetaraan bagi pendidikan nonformal tidak perlu dimaknai sebagai uji kesetaraan, tetapi bisa menggunakan akreditasi mengingat standar yang digunakan sama dengan pendidikan formal.
”Kami meminta agar proses penyetaraan kelulusan pendidikan nonformal tidak serta-merta dimaknai sebagai uji kesetaraan. Justru yang dipertimbangkan adalah pemanfaatan proses akreditasi sebagai proses penyetaraan sekaligus penjamin mutu pendidikan nonformal. Meskipun uji kesetaraan disebutkan sebagai pilihan, konsekuensinya jadi menegaskan pendidikan nonformal tetap dipandang di bawah pendidikan formal,” kata Lovely.
Menurut Lovely, ada 50 lembaga pendidikan nonformal dan informal yang bergabung di Asahpena Indonesia. Di kedua jalur pendidikan ini ada sekitar 10.000 anak usia sekolah yang belajar tidak di TK, SD, SMP, dan SMA reguler/formal. Ada yang memilih belajar di luar jalur formal karena ingin lebih fokus mengembangkan bakat dan minat sebagai olahragawan, seniman, ahli komputer, hingga alasan menjadi korban perundungan di sekolah formal.
Secara terpisah, Ketua Perkumpulan Cyberschool dan Sekolah Online Indonesia (PACSI) Erlina V Ratu mengatakan, meski tidak wajib, uji kesetaraan bisa memengaruhi peralihan siswa nonformal ke formal.
”Sebenarnya tidak wajib, tidak ikut tidak masalah. Tetapi, ada saja yang kemudian memakainya sebagai syarat peralihan dari jalur nonformal/informal ke formal. Padahal, kan, pendidikan nonformal itu sudah selaras dengan semangat Merdeka Belajar dari Kemendikbudristek saat ini. Apalagi jika sudah menerapkan Kurikulum Merdeka. Asal lembaga pendidikan nonformal jelas dan terakreditasi serta pembelajaran juga berkualitas, tidak perlu lagi ada uji kesetaraan. Malah kebijakan uji kesetaraan ini makin membelenggu pendidikan nonformal,” kata Erlina.
Mengacu standar nasional
Permendikbudristek Nomor 31 Tahun 2023 dikeluarkan satu minggu sebelum pelaksanaan ujian kesetaraan untuk pertama kalinya di tahun ini. Kelulusan peserta didik nonformal/informal juga selama ini mengacu seperti pada kebijakan di pendidikan formal. Kelulusan peserta didik menjadi kewenangan satuan pendidikan. Adapun pemerintah menjamin mutu pendidikan dengan menggelar Asesmen Nasional.
Jika dulu di pendidikan formal ada ujian nasional (UN) yang memengaruhi kelulusan, di pendidikan nonformal juga ada UN Pendidikan Kesetaraan (UNPK) Paket A (setara SD), Paket B (setara SMP), dan Paket C (setara SMA), yang terdiri atas beberapa mata pelajaran. Setelah UN dihapus, kelulusan diserahkan kepada satuan pendidikan. Akan tetapi, khusus pendidikan nonformal/informal sejak tahun 2023 diberlakukan uji kesetaraan untuk menyetarakan hasil belajar seperti pendidikan formal.
Berdasarkan Permendikbudristek tentang Uji Kesetaraan, dalam Pasal 2 disebutkan, peserta didik pada pendidikan nonformal dan pendidikan informal harus mengikuti asesmen melalui uji kesetaraan. Uji kesetaraan ini dilakukan untuk mengukur kompetensi peserta didik, mencakup paling sedikit literasi membaca dan numerasi berdasarkan kriteria pencapaian standar kompetensi lulusan.
Kami meminta agar proses penyetaraan kelulusan pendidikan nonformal tidak serta-merta dimaknai sebagai uji kesetaraan.
Peserta yang ikut uji kesetaraan dan dinyatakan memenuhi capaian kompetensi minimum berdasarkan kriteria standar kompetensi lulusan berhak memperoleh sertifikat hasil uji kesetaraan. Mereka yang tidak mencapai kompetensi minimum hanya mendapat surat keterangan hasil uji kesetaraan. Peserta tetap bisa ikut ujian ulang dengan biaya mandiri.
Menurut Lovely, jika mengacu pada UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003, ketiga jalur pendidikan, formal, nonformal, dan informal, dirancang setara dan saling melengkapi. Jalur formal dan nonformal diselenggarakan oleh pemerintah dan masyarakat. Keduanya diizinkan menarik dana dari masyarakat sebagai bentuk kesertaan masyarakat. Sementara pemerintah, selain memastikan warga negara mendapatkan layanan pendidikan yang berkualitas dan bermartabat, juga terikat UU Perlindungan Konsumen untuk memastikan dana yang dikeluarkan masyarakat tidak disalahgunakan atau justru merugikan.
Dalam rangka perlindungan tersebut, pemerintah kemudian mensyaratkan pengajuan izin operasional bagi satuan pendidikan, baik formal maupun nonformal, serta akreditasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan sesuai standar nasional pendidikan, yang penerapannya pada satuan pendidikan formal dan nonformal sama.
”Dengan demikian, satuan pendidikan nonformal yang mendapatkan akreditasi A atau B telah mencapai atau memiliki standar kualitas yang sama dengan satuan pendidikan formal dengan akreditasi yang sama. Maka, adalah logis dan adil apabila kemudian pemerintah menggunakan proses akreditasi sebagai proses penyetaraan yang akan menjamin kesamaan kualitas kelulusan satuan pendidikan nonformal dan formal. Bukan dengan uji kesetaraan,” tutur Lovely.
Adapun satuan pendidikan nonformal yang belum menjalani akreditasi atau yang mendapatkan skor C mengikutkan peserta didiknya untuk menjalani ujian kelulusan di satuan pendidikan terakreditasi.
Sekolah rumah
Lovely memaparkan, karena belum jelasnya status sekolah rumah, keikutsertaan sekolah rumah di uji kesetaraan masih masuk akal. Sebab, saat ini sekolah rumah yang dilakukan oleh keluarga atau komunitas belum diakui sebagai satuan pendidikan sehingga tidak diakreditasi. Peserta didik sekolah rumah pun selama ini umumnya bergabung di pendidikan nonformal agar mendapatkan ijazah setara lulusan sekolah formal.
Sebelum ada permendikbud yang meneguhkan posisi sekolah rumah sebagai jalur pendidikan informal, ujar Lovely, uji kesetaraan diperlukan bagi peserta didik pendidikan informal yang ingin mendapatkan pengakuan atas kompetensi yang telah dicapainya. Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri dan karenanya tidak bisa diakreditasi sebagai sebuah lembaga satuan pendidikan.
Hal itu membuat sekolah rumah terkesan liar dan tidak terjamah. Karena itu, keberadaan permendikbudristek sekolah rumah yang mengukuhkan posisinya sebagai sebuah pendidikan informal sangat penting. Kepentingan uji kesetaraan sebagai penjamin mutu kelulusan menjadi masuk akal karena keluarga tidak bisa diakreditasi karena keberagamannya.
Sejumlah anak dari berbagai komunitas homeschooling mengikuti kegiatan membuat wayang yang difasilitasi oleh Studio Kotak-Katik di sebuah mal di kawasan Bintaro, Tangerang Selatan, Selasa (17/7/2018).
Sementara itu, Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus, Ditjen Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar, dan Pendidikan Menengah, Kemendikbudristek, Aswin Wihdiyanto mengatakan, uji kesetaraan bagi peserta didik nonformal dan informal lebih untuk pemetaan mutu, terutama kompetensi literasi dan numerasi peserta didik di pendidikan kesetaraan.
”Peserta didik nonformal/informal tidak wajib ikut. Ini lebih untuk pemetaan. Kami jamin tidak ada kaitannya ikut atau tidak ikut kesetaraan dengan syarat penerimaan peserta didik baru atau perpindahan jalur ke formal,” katanya.
Aswin menegaskan, uji kesetaraan berbeda dengan UNPK. Hal ini justru untuk menegaskan bahwa pendidikan nonformal bukan kelas dua karena pada kenyataannya penyelenggaraannya juga mengacu pada standar nasional pendidikan. Termasuk di pendidikan nonformal ada Asesmen Nasional dan standar isi sama seperti saat ini mengikuti Kurikulum Merdeka.