Wabah Antraks di Gunung Kidul Bisa Dicegah dengan "One Health"
Kematian tiga orang warga di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta setelah mengonsumi daging sapi yang mati karena penyakit antraks di Gunung Kidul menunjukkan belum dijalankannya pendekatan One Health.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS—Kematian tiga orang warga di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta setelah mengonsumi daging sapi yang mati karena penyakit antraks di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogakarta menunjukkan belum dijalankannya pendekatan One Health. Kasus ini bisa dicegah jika dilakukan surveilans yang konsisten terhadap penyakit ternak yang bersifat zoonosis dan edukasi kepada masyarakat.
"Kasus antraks pada manusia di Indonesia merupakan kejadian berulang, biasanya dimulai dari sapi sakit dan mati yang kemudian dagingnya dikonsumsi. Hampir selalu pemicunya itu," kata Tjandra Yoga Aditama, Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang juga Mantan Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan, Rabu (5/7/2023).
Dengan demikian, edukasi ke masyarakat bahwa hewan yang sakit seharusnya tidak dikonsumsi itu jadi langkah pertama untuk pencegahan penyakit ini pada manusia.
Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melaporkan, terdapat tiga korban meninggal dunia karena antraks. Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi, ketiganya berasal dari Kecamatan Semanu, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Satu dari tiga orang yang meninggal teridentifikasi suspek, dan dua lainnya meninggal dengan gejala antraks. Kemenkes, menurut Nadia, akan mengorfimasi lebih lanjut kasus ini, termasuk melakukan penyelidikan epidemiologi dari mana kasus bermula.
Kasus antraks pada manusia di Indonesia merupakan kejadian berulang, biasanya dimulai dari sapi sakit dan mati yang kemudian dagingnya dikonsumsi. Hampir selalu pemicunya itu.
Tjandra mengatakan, antraks (anthrax) merupakan penyakit hewan menular yang disebabkan oleh bakteri Bacillus anthracis. Penyakit ini umumnya menyerang hewan herbivora seperti sapi, kambing, domba, dan lainnya. Karena bersifat zoonosis, penyakit ini dapat ditularkan dari hewan ke manusia.
"Bakteri penyebab antraks, apabila terpapar udara, akan membentuk spora yang sangat resisten terhadap kondisi lingkungan dan bahan kimia termasuk desinfektan tertentu dan dapat bertahan di dalam tanah, sehingga kadang-kadang antraks juga disebut 'penyakit tanah'," ujarnya.
Tjandra menambahkan, karena antraks adalah zoonosis dan bahkan juga ada di tanah, maka penanganannya harus melalui pendekatan One Health, yang merupakan kerja bersama kesehatan manusia, kesehatan hewan dan kesehatan lingkungan. "Tanggungjawabnya lintas kementerian dan seharusnya bisa dikoordinasikan oleh Kemenko PMK (Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia)," ungkapnya.
Kasus antraks telah dilaporkan sejak empat tahun terakhir di Gunung Kidul, yaitu pada tahun 2019, 2020 dan awal 2022. Kasus pertama suspek antraks dialami warga Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu, Gunung Kidul pada 2 Juni 2023. Balai Besar Veteriner Wates pada 15 Juni 2023 juga menerima sampel-sampel tanah dari lokasi kematian ternak diduga antraks dan hasil uji laboratorium menunjukkan positif antraks pada sampel-sampel tanah yang diambil.
Tjadra mengatakan, jika surveilans terhadap ternak menemukan adanya penyakit zoonotik seperti antraks, seharusnya juga disurvei kesehatan manusianya dan tanahnya. "Perlu dicek risiko penularannya pada manusia termasuk pada spora antraks di tanah. Jangan menunggu adanya kasus pada orang," ujarnya.
Menuruut Tjandra, kasus antraks pernah terjadi di Maros tahun 2010 yang lalu. Diawali dengan lima sapi yang mati dalam dua pekan di Maret 2010, satu diantaranya dipotong pada waktu sakit dan dagingnya dibagikan yang memicu penularan di masyarakat. Menurut hasil pengujian di Balai Besar Veteriner tanggal 29 Maret 2010 maka sapi-sapi tersebut positf antraks.
Sementara itu, kejadian antraks di Boyolali tahun 2011 yang lalu itu kronologi penyebaran wabah dimulai dari adanya seekor sapi yang sakit pada akhir Januari 2011. Oleh pemiliknya sapi tersebut dipotong untuk dikonsumsi sendiri dagingnya dan sebagian lagi dijual ke pasar.
"Pengalaman di Maros dan Boyolali ini menunjukkan penularan antraks dari binatang yang sakit yang lalu malahan dipotong dan dikonsumsi manusia, sesuatu yang perlu terus diberi pemahaman ke masyarakat luas agar jangan terus berulang kejadian dan bahkan kematian pada manusia seperti di Gunung Kidul sekarang ini," kata dia.
Ahli kesehatan global dari Griffith University Dicky Budiman mengatakan, Indonesia merupakan negara yang sangat rentan terjadinya beragam wabah zoonotik, termasuk antraks. "Pendekatan One Health di Indonesia sejauh ini masih tataran konsep dan kebijakan. Bagaimana detil implementasi kesehatan manusia dan hewan masih menjadi pekerjaan rumah. Ini butuh koordinasi lintas sektor," ungkapnya.
Menurut Dicky, kasus antraks yang menelan korban di Indonesia menunjukkan lemahnya koordinasi antar instansi dalam mencegah potensi wabah zoonotik. Hal serupa terjadi dengan rabies yang masih menjadi wabah di sejumlah daerah di Indonesia.