Satu Tahun Menuju Cakupan Semesta
Pemerintah wajib menjamin kesehatan seluruh masyarakat, khususnya masyarakat rentan, miskin, dan tidak mampu. Butuh upaya ekstra untuk memastikan tak ada warga yang tertinggal.

Sardin (11) berjalan tanpa alas kaki menuju wilayah Baduy Dalam di Kabupaten Lebak, Banten, Sabtu (10/6/2023). Tiga tahun lalu, Sardin mengalami lumpuh akibat kecelakaan. Ia akhirnya bisa sembuh setelah mendapatkan perawatan kesehatan yang ditanggung dalam program JKN.
Langkah Sardin (11) cepat tidak terkejar. Dengan kaki tanpa alas, ia sesekali berlari di atas jalanan tanah yang berbatu. Kali itu, ia membantu untuk memandu rombongan yang akan mengunjungi kawasan Baduy Dalam yang terletak di Kabupaten Lebak, Banten.
Pengalaman itu mungkin tidak terbayang oleh Sardin dan keluarganya pada tiga tahun lalu. Sardin, pada akhir 2020 mengalami kecelakaan yang menyebabkan kakinya lumpuh. Bocah laki-laki tersebut terjatuh ketika memanggul tumpukan kayu bakar. Ketika itu, keluarganya pun sudah pasrah bahwa Sardin akan lumpuh selamanya.
Kakek Sardin, Nalim (69), merupakan jaro adat atau pemangku adat Suku Baduy Dalam. Warga Baduy Dalam memiliki keyakinan untuk tidak terpapar budaya modern dan perkembangan teknologi, termasuk perkembangan teknologi kedokteran. Hal tersebut yang awalnya membuat Sardin tidak segera ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan. Pengobatan tradisional berupa tumbuh-tumbuhan yang ada di Tanah Baduy yang diberikan.
Namun, hal baik datang saat pemerhati Suku Baduy dari Mapala Universitas Indonesia Rahmi Hidayati bertemu dengan Sardin pada awal 2022. Ketika tahu Sardin lumpuh, ia langsung mencoba untuk menghubungi Menteri Kesehatan agar bisa membantu perawatan Sardin.

Sardin (11), warga suku Baduy, menunjukkan kartu kepesertaan JKN-KIS, Sabtu (10/6/2023).
Pada Januari 2022, akhirnya Sardin bisa dibawa ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, untuk dirawat. Akan tetapi, kendala dihadapi ketika sampai di rumah sakit. Sardin belum terdaftar sebagai peserta Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS). Sebagian besar warga Baduy, terutama Baduy Dalam memang belum menjadi peserta JKN.
Rahmi pun mencoba untuk berdialog dengan kakek Sardin, Nalim, agar Sardin sebagai masyarakat Baduy bisa mendapatkan identitas diri dari negara sehingga bisa mendaftar sebagai peserta JKN-KIS. Meski awalnya ada perdebatan, Nalim pun merestui hingga Sardin bisa dirawat dan didaftarkan sebagai peserta JKN-KIS. Setelah itu, Sardin mendapatkan terapi dan pengobatan sampai akhirnya bisa berjalan kembali.
Baca juga: Penerapan Kelas Standar Jangan Tergesa-gesa
Nalim saat ditemui pada pertengahan Juni lalu mengatakan, Sardin menjadi pembuka akses kesehatan bagi warga di Baduy. Dari saat itu, Nalim pun memberikan pemahaman bagi warga Baduy agar mau mendapatkan pelayanan kesehatan dari dokter ketika dibutuhkan. Itu termasuk untuk menjadi peserta JKN-KIS. ”Tidak ada salahnya, asal itu demi keselamatan manusia,” katanya.
Namun, agar kepercayaan Suku Baduy Dalam tetap terjaga, Nalim memberikan ketentuan bagi warga yang hendak mendapatkan perawatan di luar wilayah Baduy akan dikeluarkan sementara sebagai anggota suku. Jika sudah selesai, warga tersebut bisa kembali menjadi bagian dari suku Baduy.

Sardin (11) berfoto dengan kakeknya, Nalim (69).
Kepersertaan JKN
Masyarakat adat merupakan salah satu kelompok masyarakat yang paling banyak belum menjadi peserta program JKN-KIS. Selain karena kepercayaan, kendala kepesertaan juga ditemukan karena sebagian masyarakat adat belum memiliki kartu tanda penduduk (KTP). Padahal, KTP merupakan syarat untuk menjadi peserta JKN-KIS.
Hal ini pula yang selama ini menjadi tantangan pencapaian cakupan kesehatan semesta (universal health coverage/UHC) di Indonesia. Untuk mencapai cakupan kesehatan semesta, setidaknya 98 persen dari populasi penduduk terjamin kesehatannya dengan menjadi peserta JKN-KIS.
Data Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan per 1 Maret 2023 menunjukkan, cakupan kepesertaan JKN sebesar 252,17 juta jiwa atau 90,79 persen dari total penduduk. Sebanyak 96,71 juta di antaranya merupakan peserta penerima bantuan iuran (PBI) yang masuk dalam kelompok masyarakat tidak mampu yang iurannya ditanggung oleh pemerintah.
Pemerintah daerah bisa menyisir penduduknya yang belum terdaftar sebagai peserta JKN-KIS.
Capaian tersebut terbilang cepat jika dibandingkan dengan negara lain. Mengutip jurnal the Lancet pada 2012 berjudul ”Aspek Politik dan Ekonomi dari Transisi untuk Cakupan Kesehatan Semesta”, Indonesia mencapai cakupan kepesertaan jaminan kesehatan hingga 90 persen selama 10 tahun.
Itu terbilang cepat dibandingkan Korea Selatan yang mencapai cakupan kesehatan semesta sebesar 97,2 persen selama 12 tahun dan Jepang yang mencapai 100 persen selama 36 tahun. Sementara, jumlah penduduk Indonesia jauh lebih besar dibandingkan kedua negara tersebut.

Capaian Cakupan Kepersertaan JKN-KIS per 1 Maret 2023
Meski begitu, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dalam acara Penyerahan Penghargaan UHC kepada Pemerintah Daerah pada pertengahan Maret 2023, menyampaikan, kerja keras masih harus dilakukan untuk meningkatkan capaian kepesertaan JKN-KIS pada masyarakat. Sebab, sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, cakupan kesehatan semesta ditargetkan mencapai 98 persen pada 2024. ”Itu berarti targetnya sekarang belum tercapai.” ujarnya.
Baca juga: Kurang dari Dua Tahun untuk Mengejar Target Kepesertaan
Ia menuturkan, optimalisasi cakupan kesehatan semesta membutuhkan peran sejumlah pihak, mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, serta lembaga lainnya. Pemerintah pun sudah menerbitkan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program JKN. Kebijakan tersebut mendorong setidaknya 30 kementerian/lembaga, termasuk gubernur, bupati, dan wali kota untuk mengoptimalkan program JKN, termasuk untuk mendorong capaian UHC.
Wakil Presiden Ma’ruf Amin mendorong seluruh pemerintah daerah bisa menyisir penduduknya yang belum terdaftar sebagai peserta JKN-KIS. Itu terutama masyarakat rentan, seperti penyandang disabilitas, lansia, dan masyarakat telantar. Pada seluruh pemberi kerja pun diminta untuk segera mendaftarkan pekerjanya sebagai peserta JKN, termasuk anggota keluarganya.
Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron menuturkan, upaya yang masif juga dilakukan BPJS Kesehatan untuk mendorong percepatan capaian cakupan kesehatan semesta di Indonesia. Itu dilakukan melalui empat upaya utama, yakni memetakan penduduk yang belum menjadi peserta JKN, menyisir masyarakat desa yang belum menjadi peserta, mengadvokasi masyarakat untuk segera mendaftarkan diri, serta mempermudah pendaftaran sebagai peserta JKN-KIS.
Baca juga: Pembatasan Layanan Pasien BPJS Kesehatan Diskriminatif
”Kerja sama dengan fasilitas kesehatan juga diperluas agar masyarakat lebih mudah mengakses fasilitas kesehatan. Saat ini sudah ada 23.730 fasilitas kesehatan tingkat pertama dan 2.963 fasilitas kesehatan rujukan tingkat lanjut yang bekerja sama dengan BPJS Kesehatan,” tuturnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F02%2F04%2Fbe226f58-ced6-4b86-8508-3d707b39ba2a_jpg.jpg)
Sujadi (60) dibantu oleh petugas puskesmas memasukkan data kepesertaan JKN-KIS untuk didaftarkan dalam sistem pelayanan kesehatan di Puskesmas Temon 1 Kulon Progo, Yogyakarta, Jumat (4/2/2022). Jumlah peserta program JKN-KIS yang tercatat saat ini sebanyak 223 juta orang.
Ghufron mengatakan, pemanfaatan pelayanan kesehatan dalam program JKN-KIS juga meningkat signifikan jika dibandingkan dengan awal program JKN dibentuk. Pada 2014, jumlah kunjungan peserta JKN ke fasilitas kesehatan hanya sekitar 252.000 kunjungan per hari. Sementara pada 2022, jumlah kunjungan mencapai 1,4 juta kunjungan per hari atau sekitar 502,8 juta kunjungan per tahun.
Kesehatan semesta
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyampaikan, cakupan kesehatan semesta perlu dipahami secara tepat. Cakupan kesehatan semesta meliputi kepesertaan, pelayanan dan manfaat, serta pembiayaan. Namun, pemerintah selama ini dinilai hanya berfokus pada capaian kepesertaan, sementara pelayanan dan pembiayaan belum dilihat sebagai satu kesatuan cakupan kesehatan semesta.
”UHC dalam pelayanan dan manfaat juga sangat penting. Dengan pelayanan dan manfaat yang baik, akan ada kepuasan peserta. Itu yang akan mendorong pembayaran iuran lebih aktif sehingga mendukung masyarakat yang belum mendaftar untuk mau mendaftar,” tuturnya.
Mencapai cakupan kesehatan untuk seluruh masyarakat memang tidak mudah. Austria, misalnya, untuk mencapai 99 persen populasi dalam UHC membutuhkan waktu hingga 79 tahun. Begitu pula dengan Belgia yang baru bisa mencapai UHC hingga 100 persen populasi selama 118 tahun. Namun, bukan berarti Indonesia juga harus memakan waktu hingga puluhan tahun untuk mencapai kesehatan semesta.

Tri (38), salah satu kader Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), mengunjungi salah seorang warga di Kelurahan Ciputat, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (12/11/2019).
Dengan upaya yang kuat dan kerja sama yang solid, masyarakat seperti Sardin seharusnya tidak perlu menunggu lama untuk mendapatkan layanan kesehatan. Pendekatan dengan budaya lokal serta upaya lainnya bisa dilakukan untuk membantu setiap masyarakat bisa mendapatkan hak atas kesehatan.
Selain itu, ketersediaan fasilitas kesehatan yang mumpuni serta mudah diakses juga perlu dipastikan. Kepesertaan tidak akan berarti jika pelayanan dan manfaat kesehatan tidak bisa diakses serta pembiayaan masih menjadi kendala.