Taman Nasional Bukit Duabelas merupakan salah satu hutan konservasi dengan keanekaragaman hayati tinggi khususnya dari flora atau tumbuhan. Kelestarian taman nasional ini juga akan terus dijaga oleh Suku Anak Dalam.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·5 menit baca
Papan informasi tampak terpasang di sebuah area plot tumbuhan obat seluas 1 hektar di dalam kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas atau TNBD, Desa Pematang Kabau, Kabupaten Sarolangun, Jambi, pertengahan Juni lalu. Beberapa kertas informasi juga disediakan untuk memudahkan masyarakat ataupun peneliti mengenali tumbuhan yang ada.
Bagi orang awam, adanya kertas informasi memang sangat membantu mengenali berbagai tumbuhan. Namun, bagi Nyuling yang merupakan Suku Anak Dalam (SAD) dan telah tinggal lebih dari 50 tahun di kawasan TNBD, ia sudah bisa mengetahui berbagai jenis tumbuhan beserta kegunaannya tanpa perlu membaca kertas atau paparan informasi di area tersebut.
”Dulu, setiap tumbuhan di area ini selalu saya bersihkan. Akan tetapi, sekarang sudah jarang dibersihkan sejak salah satu bagian tubuh saya sakit dan tidak berfungsi karena kecelakaan. Namun, kalau ada peneliti atau anak-anak sekolah yang meninjau tumbuhan obat, bisa saya bantu jelaskan,” ujarnya sembari menunjukkan salah satu jenis tumbuhan obat.
Keberadaan masyarakat adat ini kemudian menjadi salah satu tujuan khusus penunjukan TNBD, yaitu sebagai tempat hidup dan penghidupan Orang Rimba yang ada di dalamnya.
Nyuling masih mengetahui dengan jelas berbagai jenis dan ciri-ciri tumbuhan obat meski saat ini ia sudah hidup membaur bersama dengan orang-orang desa di luar hutan. Seluruh informasi tersebut ia ketahui secara turun-temurun dari orangtua, kerabat, ataupun nenek moyangnya sebagai SAD asli yang tinggal, menetap, dan menjalankan berbagai aktivitas di hutan.
Sejak dahulu, SAD atau Orang Rimba telah menggunakan bermacam jenis tumbuhan tersebut untuk berbagai pengobatan, mulai dari demam, memar, pencegah keguguran, penghilang gatal, penangkal racun, hingga penyembuh luka setelah proses persalinan.
Orang Rimba juga menggunakan bermacam-macam bagian daritumbuhan obat, seperti daun, batang, kulit batang, akar, umbi, air batang, getah, umbut, buah, tempurung, dan pelepah.Berbagai macam bagian tumbuhan tersebut diolah untuk menjadi obat dengan cara dibakar, digiling atau ditumbuk, dikerik, dilayu di atas api, direbus, ataupun diiris.
Menurut Nyuling, pada dasarnya semua kawasan hutan memiliki berbagai jenis tumbuhan obat. Namun, tumbuhan obat tersebut khususnya yang ada di kawasan TNBD tidak tentu bisa hidup di daerah lain. Oleh karena itu, banyak pihak tertarik meneliti tumbuhan tersebut.
Berbagai jenis tumbuhan obat di TNDB merupakan sebuah kearifan lokal dari Orang Rimba dalam memanfaatkan flora di dalam kawasan konservasi. Perlindungan terhadap tumbuhanobat juga termasuk ke dalam salah satu tujuan khusus penunjukan TNBD.
Hasil Ekspedisi Biota Medika yang dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (sekarang Badan Riset dan Inovasi Nasional/BRIN), Kementerian Kesehatan, dan IPB University menyebutkan, terdapat 101 jenis tumbuhan obat yang ditemukan di TNBD. Beberapa di antaranya ialah kenaikan biso (Tetrastigma lanceolaris), akar kunyit (Arcangelisia flava L. Merr), daun pengedur urat (Tinospora crispa L. Biels), dan puar lancang (Eltingera sp).
Selain tumbuhan obat, terdapat juga area plot reintroduksi tanaman anggrek hutan di kawasan TNBD. Tercatat terdapat 41 jenis anggrek dari 18 marga yang hidup di TNBD, antara lain anggrek epifit (Dendrobium hercoglossum, Dendrobium crumenatum,Dendrobium leonis, Eria pulchella,Eria bractescens, Eria multiflora, Bulbophyllum vaginatum, dan Bulbophyllum flavescens) serta anggrek tanah (Phaius tankervilleae).
Keanekaragaman hayati lainnya di TNBD yaitu terdapat berbagai jenis pohon yang juga dimanfaatkan oleh Orang Rimba. Beberapa di antaranya ialah pohon jelutung (Dyera costulata) yang disadap Orang Rimba untuk diambil getahnya. Kemudian pohon manggis-manggisan (Garcinia nervosa) yang dimanfaatkan daunnya untuk atap rumah.
Mengingat tingginya keanekaragaman hayati flora ini, Nyuling dan Orang Rimba lainnya menyadari untuk senantiasa menjaga serta melestarikan berbagai tumbuhan obat di TNBD. Sebab, melakukan berbagai kegiatan yang tidak ramah lingkungan juga akan turut berimbas pada kerusakan hutan sebagai apotek dan tempat penghidupan lainnya dari Orang Rimba.
Nilai penting kawasan
Kepala Balai TNBDYunaidi menyadari bahwa Orang Rimba merupakan salah satu nilai atau entitas penting dari kawasan konservasi TNBD untuk perlindungan ekosistem dan sumber daya alam hayati. Sebab, beberapa kelompok Orang Rimbatelah mendiami kawasan tersebut bahkan sebelum ditetapkan menjadi salah satu taman nasional pada tahun 2000.
Keberadaan masyarakat adat ini kemudian menjadi salah satu tujuan khusus penunjukan TNBD, yaitu sebagai tempat hidup dan penghidupan Orang Rimba yang ada di dalamnya. Hal ini menjadikan Orang Rimba sebagaibagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan TNBD.
Di sisi lain, selama ini mayoritas Orang Rimba juga telah menerapkan kehidupan yang sejalan dengan alam dan ramah lingkungan. Mayoritas orang rimba masih memegang aturan adat untuk tidak membuka lahan untuk perkebunan dengan cara dibakar agar tidak merusak. Kemudian Orang Rimba juga tidak memburu hewan-hewan dilindungi yang mereka anggap suci, seperti harimau sumatera, gajah sumatera, trenggiling, dan burung enggang.
”Sekarang, kami masih berupaya agar Suku Anak Dalam tidak tersisihkan sehingga perlu ditingkatkan harkat dan martabatnya sebagai manusia. Kami tidak membiarkan mereka tidak memiliki baju atau tidak berpendidikan. Jadi, pengelolaan TNBD juga unik karena tidak hanya mengelola ekosistem, tetapi juga Orang Rimba yang tinggal di dalamnya,” tuturnya.
Meski demikian, sebagai lembaga yang memiliki fungsi utama sebagai pelestari keanekaragaman hayati, Yunaidi mengakui bahwa pihaknya masih memiliki keterbatasan untuk memenuhi segala kebutuhan Orang Rimba. Porsi anggaran dari TNBD juga tidak bisa memenuhi kebutuhan Orang Rimba di berbagai aspek, mulai dari sosial, ekonomi, pendidikan, hingga kesehatan.
”Ke depan, selain penyelamatan keanekaragaman hayati, kami juga berfokus bagaimana pendidikan anak suku dalam menjadi program yang berkesinambungan. Saat ini juga sudah ada pihak perusahaan perkebunan yang bekerja sama untuk membantu pembuatan tiga sekolah, aspek kesehatan, dan pemberdayaan masyarakat,” katanya.
Penjabat (Pj) Bupati Sarolangun Bachril Bakri mengatakan, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sarolangun memiliki salah satu program fokus, yaitu pembinaan dan pemberdayaan SAD. Nantinya, masyarakat dibina agar dapat terus berdaya khususnya untuk aspek pangan dan pertanian. Pembinaan ini juga didukung pemkab dengan menyediakan lahan untuk pengembangan ubi kayu dan komoditas lainnya.
Bachril berharap kegiatan ini dapat melibatkan berbagai temenggung atau pemimpin adat dari tiap-tiap kelompok SAD dan anak-anak muda. Proses pembinaan ini akan terus dikawal hingga pemanenan oleh petugas agar hasil dari kegiatan lebih optimal.
”Suku Anak Dalam juga penduduk atau warga negara Indonesia yang memiliki hak dan kewajiban yang sama. Mereka memiliki hak untuk hidup sejahtera, sehat, dan mendapat pendidikan. Jadi sudah menjadi kewajiban pemerintah daerah untuk memperhatikan, dan kita harus berdampingan dengan mereka,” tuturnya.