Integrasi Kecerdasan Buatan dan Masa Depan Pendidikan yang Masih Mencari Bentuk
Masa depan pendidikan terus mencari bentuk dengan perubahan dunia dan perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan. Pendidikan dengan teknologi diyakini masih akan mengutamakan manusia.
Ada pertanyaan sekaligus kekhawatiran yang mengusik soal perkembangan kecerdasan buatan (artificial intelligence)generatif terkait dunia pendidikan. Investasi untuk masa depan pendidikan akankah semakin lebih diarahkan untuk mengembangkan mesin kecerdasan buatan yang bisa membaca dan menulis ataukah orang yang bisa membaca dan menulis tetap jauh lebih penting?
Asisten Direktur Jenderal untuk Pendidikan UNESCO Stefania Giannini, dalam tulisan ”Generative AI and The Future of Education” yang dirilis Juli 2023 dan diakses pada Senin (3/7/2023), melontarkan pertanyaan tersebut. Dunia kecerdasan buatan (AI) yang baru muncul juga menimbulkan dilema dalam hal pilihan investasi.
”Sejauh mana kita harus mengarahkan investasi, termasuk investasi publik, untuk membangun kapabilitas mesin yang bertindak seperti manusia cerdas, atau untuk membangun kapabilitas manusia yang hidup?” tanya Stefania.
Baca juga : Menakar Untung Rugi Pemanfaatan Kecerdasan Buatan di Dunia Pendidikan
Stefania memaparkan, di masa lalu, kita dapat yakin bahwa istilah seperti ”belajar”, ”mendidik”, ”melatih”, dan ”mengajar” menyangkut manusia. Namun, di masa sekarang menjadi kurang jelas. Bisnis mesin ”mendidik” dan ”melatih” itu besar, global, dan berkembang. Ini juga semakin menjadi area persaingan, antara perusahaan dan aktor swasta, serta negara bangsa.
”Miliaran dollar sekarang diinvestasikan di perusahaan AI generatif, ketika mereka dapat diarahkan untuk pengembangan guru dan melakukan perbaikan yang diperlukan untuk sekolah dan infrastruktur fisik dan sosial lainnya yang bermanfaat bagi anak-anak. Dapat dibayangkan bahwa investasi yang ditujukan untuk membuat AI lebih pintar dan lebih mampu suatu hari nanti mungkin melampaui investasi yang diarahkan untuk mendidik anak-anak dan orang lain,” tutur Stefania.
Meskipun mudah untuk bersemangat tentang mesin cerdas, saat ini, di awal era AI, ada lebih dari 700 juta orang tidak melek huruf. ”Kami tahu bahwa sekolah dan guru yang baik dapat mengatasi tantangan pendidikan yang terus-menerus ini. Namun, kami terus kekurangan dana. Bahkan, jika AI mulai melampaui manusia dalam berbagai kemampuan intelektual, mendidik orang akan tetap penting dan yang paling penting adalah mengembangkan literasi,” ujar Stefania.
Baca juga : Teknologi yang Memperlebar Kesenjangan Pendidikan
Perkembangan dengan teknologi digital mempercepat perubahan dan menciptakan dunia baru yang dapat terasa asing dan membingungkan, bahkan saat kita memahami potensinya untuk memperkaya hidup, meningkatkan hubungan, dan membuka cakrawala baru untuk pendidikan. Pada kenyataannya, tidak semua orang dan tidak semua negara merasakan revolusi teknologi baru-baru ini dengan cara yang sama, juga tidak perlu berkembang selangkah demi selangkah.
Melawan ketidakadilan
Teknologi digital telah menunjukkan rekam jejak yang mengganggu dari melebarnya kesenjangan di dalam dan antarnegara dalam pendidikan dan di luarnya. Teknologi AI kemungkinan besar akan mempercepat otomatisasi sejumlah besar pekerjaan. Tampaknya juga secara dramatis meningkatkan produktivitas pekerja terpilih, terutama mereka yang sudah bekerja di bidang dan profesi bergaji tinggi.
”Kita perlu melawan AI yang semakin melebarkan ketidakadilan yang sudah terlalu luas di banyak masyarakat. Implementasi teknologi baru harus memprioritaskan penutupan kesenjangan ekuitas. Dalam kasus AI generatif, kita perlu bertanya: apakah penerapannya, menurut rencana dan garis waktu tertentu, kemungkinan akan memperluas atau mempersempit kesenjangan pendidikan yang ada? Jika jawabannya tidak, rencana dan jadwal harus direvisi. Kita harus tegas dalam harapan kita bahwa kelas teknologi baru ini membuka peluang bagi semua dan menegaskan kembali komitmen kita terhadap pendidikan yang adil,” papar Stefania.
Kita harus lebih waspada terhadap potensi teknologi AI generatif baru yang kuat, di samping alat dan layanan digital yang lebih lama, untuk merusak otoritas dan status guru. ”Kami akan naif untuk berpikir bahwa utilitas AI di masa depan tidak akan memperkuat seruan untuk otomatisasi pendidikan lebih lanjut: sekolah tanpa guru, pendidikan tanpa sekolah, dan visi dystopic lainnya,” ujar Stefania.
Perkembangan seperti ini terkadang dilakukan atas nama efisiensi dan sering berdampak pada pembelajar yang paling kurang beruntung terlebih dahulu. Otomasi digital pendidikan telah lama diusulkan sebagai ”solusi” dan ”perbaikan” bagi masyarakat di mana tantangan dan defisit pendidikan paling parah.
Dalam beberapa bulan dan tahun mendatang, beberapa orang akan memperdebatkan penggunaan AI generatif untuk membawa pendidikan berkualitas tinggi ke tempat-tempat di mana sekolah tidak berfungsi. Selain itu, guru kekurangan pasokan atau dibayar sangat rendah sehingga tidak muncul secara teratur untuk bekerja.
Melalui analisis pembelajaran dan sistem yang didukung AI, kami dapat membuka wawasan berharga berbasis data yang membantu kami memahami cara siswa belajar.
Namun, tetap ada keyakinan bahwa sekolah yang dikelola dengan baik, guru yang cukup, dan guru dengan kondisi yang dipersyaratkan, serta pelatihan dan gaji yang memungkinkan mereka untuk sukses tetap menjadi bahan utama dari pemulihan pendidikan yang berkelanjutan.
Bahkan, jika AI mulai melampaui manusia dalam berbagai kemampuan intelektual, mendidik orang akan tetap penting dan yang paling penting adalah mengembangkan literasi.
UNESCO bekerja sama dengan negara-negara untuk membantu mereka mengembangkan strategi, rencana, dan peraturan untuk memastikan penggunaan AI yang aman dan bermanfaat dalam pendidikan. Pada Mei 2023, UNESCO menyelenggarakan pertemuan global pertama para menteri pendidikan untuk berbagi pengetahuan tentang dampak alat AI generatif pada pengajaran dan pembelajaran. Pertemuan ini telah membantu UNESCO memetakan peta jalan untuk mengarahkan dialog kebijakan global dengan pemerintah serta akademisi, masyarakat sipil, dan mitra sektor swasta.
Dengan asumsi keamanan AI dapat lebih dipahami dan dipastikan sepenuhnya, kita harus terbuka dan optimistis tentang cara AI dapat mendukung, melengkapi, dan memperkaya pembelajaran penting yang terjadi sebagai bagian dari interaksi di situs fisik dan sosial pendidikan formal. ”Menyelaraskan kecerdasan mesin dengan nilai-nilai manusia, seperti yang telah dinyatakan oleh banyak ilmuwan dan filsuf, merupakan pekerjaan yang mendesak,” kata Stefania.
Meningkatkan kemampuan guru
Secara terpisah, ahli teknologi pendidikan terkenal dari University of South Australia, Profesor George Siemens, mengemukakan, munculnya alat bertenaga AI seperti ChatGPT telah memicu kekhawatiran di antara para pendidik serta memicu percakapan tentang kemungkinan kerugiannya terhadap pengajaran dan pembelajaran. Namun, penelitian yang dilakukan University of South Australia membuktikan, AI dapat meningkatkan hasil pembelajaran bagi siswa, membekali guru dengan alat pendidikan lanjutan, dan merombak total sektor pendidikan demi kebaikan.
Baca juga : Pemanfaatan Teknologi Memberikan Pengalaman Belajar yang Menyenangkan
Siemens lewat penelitiannya dalam analisis pembelajaran, pembelajaran digital, pembelajaran yang dipersonalisasi, dan augmentasi manusia-mesin mengungkap potensi transformatif AI dalam pendidikan. ”Melalui analisis pembelajaran dan sistem yang didukung AI, kami dapat membuka wawasan berharga berbasis data yang membantu kami memahami cara siswa belajar,” ucapnya.
Lebih lanjut Siemens mengatakan, wawasan lanjutan tentang kemajuan siswa akan memungkinkan mereka merancang pengalaman pendidikan yang lebih efektif dan personal. ”Integrasi AI akan memungkinkan kami untuk bergerak melampaui model tradisional dan merangkul pendekatan yang lebih adaptif dan berpusat pada pembelajar,” kata Siemens.
Siemens yang juga Direktur Pusat Perubahan dan Kompleksitas Pembelajaran (C3L) di University of South Australia menegaskan, peran AI bukan untuk menggantikan guru, melainkan untuk meningkatkan kemampuan mereka. Pengembangan kursus, rencana pelajaran, catatan kehadiran, dan entri data adalah tugas monoton yang mengurangi dan mengalihkan perhatian dari pengajaran di kelas. AI memiliki kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tersebut.
”Dengan mengotomatiskan tugas administratif, kami membebaskan waktu mereka untuk menumbuhkan pemikiran kritis, kreativitas, dan keterampilan sosial-emosional yang unik dari manusia,” tegas Siemens.
Pendidik dapat membuat pelajaran, tutorial, dan kuliah yang lebih menarik, relevan, dan dapat dihubungkan dengan siswa mereka, dan dengan demikian menghasilkan pemahaman yang lebih dalam dan retensi pengetahuan jangka panjang.
”Dalam skala yang lebih besar, kita dapat menggunakan AI untuk membuat program universitas yang benar-benar baru, menghemat banyak waktu dan ribuan, bahkan jutaan dollar,” ujar Siemens.