Penurunan Tanah di Sepanjang Utara Jawa Semakin Mengkhawatirkan
Pemantauan menggunakan data geodesi dalam 10 tahun terakhir mengungkap, tanah di pantai utara Jawa turun jauh lebih cepat daripada tingkat kenaikan permukaan laut global.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penurunan tanah di kota-kota sepanjang garis pantai utara Jawa telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan. Upaya pemantauan menggunakan data geodesi secara menerus dalam 10 tahun terakhir mengungkapkan bahwa tanah di Jakarta, Pekalongan, Semarang, dan Demak turun jauh lebih cepat daripada tingkat kenaikan permukaan laut global saat ini, yang akan mengancam masa depan kawasan tersebut.
Penurunan tanah di sepanjang pantai utara Pulau Jawa ini ditunjukkan dalam studi terbaru yang dipublikasikan di Scientific Data, bagian dari jurnal Nature, pada Sabtu (1/7/2023). Kepala Pusat Riset Geospasial Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) Susilo menjadi penulis pertama paper ini. Turut menulis paper ini adalah Irwan Meilano dari Institut Teknologi Bandung (ITB) serta para peneliti Badan Geologi, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Earth Observatory of Singapore.
Upaya pemantauan untuk mempelajari luasan spasial penurunan muka tanah dan lajunya di 10 kota pantai utara Jawa, yaitu Jakarta, Bekasi, Subang, Cirebon, Pekalongan, Kendal, Semarang, Demak, Surabaya, dan Sidoarjo, telah banyak dilakukan dengan menggunakan teknik berbasis darat dan antariksa. Dari 10 kota tersebut, penurunan tanah di Jakarta dan Semarang merupakan yang paling intensif dikaji dengan sejarah pemantauan yang panjang.
Dari beberapa riset sebelumnya, memang Pekalongan mempunyai laju penurunan tanah yang paling tinggi.
Di Jakarta, pengukuran menggunakan Sistem Satelit Navigasi Global (GNSS/GPS) terus-menerus antara tahun 1982 dan 2010 memperkirakan bahwa laju penurunan daratan berkisar 1-28 cm per tahun. Studi terbaru yang menggunakan data InSAR (Interferometric Synthetic Aperture Radar) Sentinel-1 antara tahun 2014 dan 2020 memperkirakan bahwa angkanya adalah dari 1 hingga 11 cm per tahun.
Tingkat yang berbeda antara upaya pemantauan sebelumnya dan baru-baru ini juga telah diamati di Semarang. Pengukuran GNSS antara tahun 1999 dan 2011 memperkirakan bahwa tingkat penurunan daratan berkisar 14-19 cm/tahun, sementara penelitian terbaru menggunakan data InSAR Sentinel-1 antara tahun 2015 dan 2020 mengungkapkan bahwa penurunan berkisar dari 2 hingga 3 cm per tahun.
Sebagai perbandingan, kenaikan muka air laut global saat ini rata-rata hanya 3 mm per tahun. Ini berarti penurunan tanah di pantai utara Jawa jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan muka air laut.
Selain Jakarta dan Semarang, pemantauan penurunan muka tanah menggunakan data InSAR juga telah dilakukan di kota-kota lain sejak 2013. Meski demikian, pemantauan menggunakan pengukuran GNSS menerus masih kurang.
Dalam studi terbaru ini, Susilo dan tim menerbitkan rangkaian waktu perpindahan tiga dimensi yang diamati oleh dua puluh stasiun GNSS terus-menerus antara tahun 2010 dan 2021. ”Kami menyajikan data time series koordinat stasiun GNSS pertama yang terbuka untuk umum dan diproses secara ketat yang berguna untuk mengukur penurunan muka tanah secara akurat di kota-kota padat penduduk yang tenggelam di Jawa,” tutur Susilo, yang diwawancara pada Minggu (2/7/2023).
Data tersebut juga menyediakan cara untuk menghubungkan observasi geodetik lainnya, seperti InSAR, ke kerangka referensi global dalam upaya membangun observasi penurunan tanah pesisir di seluruh dunia.
Pekalongan paling tinggi
Susilo mengatakan, berdasarkan rerata pengamatan menerus selama 10 tahun, stasiun GNSS di Pekalongan terekam mengalami penurunan tanah 107 mm (10,7 cm) per tahun. Penurunan ini merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan di stasiun GNSS lainnya. ”Dari beberapa riset sebelumnya memang Pekalongan mempunyai laju penurunan tanah yang paling tinggi,” ujarnya.
Adapun penurunan daratan yang terekam di stasiun GNSS di Semarang menunjukkan angka 0,8 mm per tahun. ”Hal itu karena lokasi stasiun GPS berada di Semarang barat, dekat Krapyak, sedangkan penurunan daratan di Semarang yang terbesar terutama di utara dan timur,” katanya.
Susilo menambahkan, tujuan utama dari stasiun GNSS/GPS yang dipasang BIG di Pulau Jawa adalah untuk pendefinisian sistem dan kerangka referensi geospasial nasional, serta mendukung aplikasi survei dan pemetaan di Indonesia. ”Stasiun ini bukan khusus untuk pemantauan penurunan tanah. Akan tetapi, produk turunan dari stasiun GPS ini bisa untuk mendukung riset dan aplikasi lainnya, salah satunya untuk pemantauan penurunan tahan dan pemantauan sesar,” tuturnya.
Penyebab penurunan tanah
Dalam kajian ini, Susilo dan tim tidak menjelaskan penyebab penurunan tanah di kota-kota utara Jawa. Namun, studi sebelumnya menunjukkan, penurunan tanah ini dipicu oleh berbagai aktivitas alam dan antropogenik.
Menurut penelitian Hasanuddin Z Abidin dari ITB dan tim di Natural Hazard (2014), penurunan tanah di Jakarta disebabkan oleh empat faktor utama, yaitu pengambilan air tanah, beban konstruksi, konsolidasi alami tanah aluvial, dan penurunan karena faktor tektonik.
Adapun laporan studi Dwi Sarah dari BRIN di The Mining-Geology-Petroleum Engineering Bulletin (MGPB) pada 2021 menunjukkan, penurunan daratan di Pekalongan disebabkan oleh pemadatan sedimen, selain karena pengambilan air tanah berlebih dan peningkatan area terbangun. Fenomena serupa juga terjadi di Semarang dan Demak.
Sementara itu, laporan Estelle Chaussard dari School of Marine and Atmospheric Science, University of Miami, dan tim di Remote Sensing of Environment (2013) menyebutkan, penurunan tanah di Sidoarjo terutama disebabkan oleh ekstraksi gas.