Membuka Kembali Lembar Karya dari Maestro Tari Gusmiati Said
Buku ”Gusmiati Suid: Arsip dan Refleksi” berisi catatan perjalanan dari maestro tari yang memperkenalkan budaya Minang ke banyak negara dunia.
Oleh
NASRUN KATINGKA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Perjalanan dan mahakarya dari maestro tari tanah Minang Gusmiati Suid direfleksikan dalam buku Gusmiati Suid: Arsip dan Refleksi. Sang maestro tari tersebut berhasil membawa budaya Minang melalui tari dan pementasan di berbagai panggung di seluruh penjuru negeri.
”Ini bukan cuma arsip, tetapi banyak refleksi perjuangan ibu (Gusmiati Suid) bagi pelaku seni di masa kini,” kata penyusun buku Gusmiati Suid: Arsip dan Refleksi, Dian Trisnawati, saat acara peluncuran buku tersebut, di Jakarta, Sabtu (24/6/2023).
Peluncuran buku Gusmiati merupakan salah satu program Dokumentasi Pengetahuan Maestro, Dana Indonesiana, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Dian menyebut, proses riset dan pengumpulan data buku ini dimulai sejak Oktober 2022 hingga Januari 2023.
Dian menyebut, Gusmiati Suid menjadikan kekayaan budaya Minang sebagai akar dalam mengkreasikan karya-karyanya. Di sisi lain, karya yang diciptakan tidak dibatasi oleh sekat-sekat tradisi, sosial, dan jender. Gusmiati Suid merupakan penata tari kontemporer kelahiran Batusangkar, Sumatera Barat, 1942. Sepanjang kariernya, dia telah membawa dan menampilkan kekayaan tari Nusantara ke banyak penjuru negeri.
Sejak tahun 1978-2000 tercatat ada 32 pertunjukan tari Gusmiati Suid, baik dalam maupun luar negeri. Berbagai festival seni internasional di Hong Kong (1989), Amerika Serikat (1991), Perancis (1990), Swiss (1996), Jerman (1994 dan 1996), serta Singapura (1997) menjadi panggung dunia pertunjukan Gusmiati Suid.
Sementara itu, Minangkabau Festival di Taman Ismail Marzuki (2000) menjadi penampilan terakhirnya sebelum berpulang pada 2001.
Ini bukan cuma arsip, tetapi banyak refleksi perjuangan ibu (Gusmiati Suid) bagi pelaku seni di masa kini.
Gumurang Sakti
Adapun sanggar tari Gumarang Sakti yang didirikannya di Batusangkar, Sumatera Barat, pada tahun 1982, menjadi salah satu tonggak perjalanan kariernya. Perjalanan menggeluti seni tari tersebut semakin panjang ketika Gusmiati Suid mencoba peruntungan ke ibu kota Jakarta dan membawa Gumarang Sakti ke Depok, Jawa Barat, pada 1987.
Helly Minarti, satu dari enam penulis buku, mengungkapkan, karya Gusmiati tidak pernah lepas dari tradisi Minang. Dia mengeksplorasi berbagai kebudayaan minang, seperti teater rakyat, Randai. Dari eksplorasi ini, Gusmiati menciptakan karya, antara lain Tunjuak (1982-1984), Bulan Maroak (1984), Nyonya Besar (1985), dan Sintak Minangkabau (1986).
”Ibu (Gusmiati Suid) menilisik gerak tiap detail dari berbagai tradisi di tanah Minang dan kemudian merancangnya,” ucap Helly.
Selain gerakan, untuk elemen bunyi dan musik, Gusmiati selalu berlandaskan tradisi dan kebiasaan masyarakat Minang. Epi Martison, penata musik sanggar Gumarang Sakti, mengatakan, salah satu elemen musik berasal suara entak kaki dan teriakan pada tradisi berburu babi masyarakat Minang.
”Bagi ibu (Gusmiati Suid), di mana ada rantak kaki, di situ bunyi bisa diciptakan,” kata Epi.
Penampilan Gumarang Sakti di Festival Kebudayaan Indonesia di Amerika Serikat pada 1991 menjadi catatan fenomenal perjalanan karier Gusmiati Suid. Dalam catatan Kompas, Gumarang Sakti turut memadukan dua tari dari Aceh bertajuk ”Tarian dari Sumatra”.
Anyaman suara perkusi kulit dan logam, suara saluang yang meliuk seperti tak pernah kehabisan napas, dan entakan kaki ke lantai papan, ketiganya segera menyeret ingatan akan ”Minang”. Kostum penari serba hitam dengan garis merah, oranye dengan tata cahaya kebanyakan temaram, mengisyaratkan keinginan menokohkan gerak dan warna tunggal nada. Pilihan ini mempertebal kesan seperti terungkap di muka (Kompas, 24/2/1991).
Selain menuai prestasi, karya-karya Gusmiati juga tak lepas dari kritikan. Ina Suwita (56), anak kedua Gusmiati Suid, mengungkapkan, sejumlah kalangan menganggap pakaian serta gerakan tariannya yang dibuat seolah jauh dari nilai-nilai lokal masyarakat Minang. ”Ibu (Gusmiati Suid) selalu teguh dengan pendiriannya. Kendati dia mencoba untuk menjelaskan, mustahil untuk bisa meyakinkan semua orang,” tutur Ina.
Berbagai kritikan yang disematkan seakan terbalas dengan penampilan Gumarang Sakti di Festival KIAS 1991 dinobatkan sebagai Bessies Award, yang merupakan penghargaan kepada pertunjukan terbaik tahunan yang dipentaskan di Kota New York. Prestasi ini sekaligus membuka panggung internasional bergengsi, Festival Von Isadora Zu Pina di Jerman pada 1994. ”Ibu tetap maju dan menunjukkan karya-karya dihargai di mata dunia,” kata Ina.