Sebagai pengajar, guru dituntut terus belajar secara kritis, tak menelan materinya mentah-mentah, tetapi beradu gagasan kritis untuk membangun rasionalitas pembelajaran.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·4 menit baca
Serbuan pertanyaan Hasbi Almuttaqien ”menghangatkan” kelas pengimbasan Gerakan Nasional Pemberantasan Buta Membaca (Gernas Tastaba) di SD Negeri 20 Rambang Niru, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Sabtu (17/6/2023) siang. Guru SD Negeri 12 Rambang itu tidak tinggal diam saat pemateri pelatihan memaparkan strategi membaca aktif, salah satunya lewat visualisasi.
Hasbi bukannya tak percaya strategi itu bisa memudahkan siswa memahami materi pembelajaran. Namun, ia mempertanyakan batasan-batasan visualisasi yang diterapkan kepada peserta didik.
”Imajinasi siswa SD kelas tinggi (IV, V, VI) bisa liar. Bagaimana kalau mereka menggambar yang tidak-tidak saat ditugasi memvisualisasikan teks pembelajaran?” tanyanya.
Oleh sebab itu, menurut dia, penerapan strategi visualisasi untuk kelas tinggi dan kelas rendah (I, II, III) perlu dibedakan. Sebab, peserta didik di kedua kelompok tersebut memiliki kebutuhan pembelajaran yang tidak sama.
Gagasan ini didukung oleh beberapa peserta guru lainnya. Meskipun mereka tak memungkiri gambaran terhadap materi pembelajaran lebih gampang dibayangkan jika divisualisasikan di atas kertas.
Sebagai pemateri pelatihan, Widia Fitri, guru SDN 2 Lembak, punya pandangan berbeda. Menurut dia, jika dari awal sudah dibatasi, siswa tidak lagi sepenuhnya bebas memvisualisasikan imajinasinya terhadap teks pelajaran.
”Padahal, imajinasi itu perlu seluas-luasnya. Dengan begitu, siswa bisa membayangkan apa yang dibaca, seakan ada film dalam kepala mereka,” katanya.
Perdebatan ini menyita waktu lebih dari 10 menit. Peserta lainnya menyelingi dengan beragam argumentasi. Beberapa guru menyetujui adanya batasan dalam visualisasi, tetapi ada juga yang tidak mempersoalkannya.
Master trainer Gernas Tastaba, Trimadona B Wiratrisna, menyimak perdebatan itu. Setelah para peserta menyampaikan pendapatnya, barulah ia menengahi perdebatan itu dengan mengajukan beberapa pertimbangan.
Menurut Trimadona, metode visualisasi membutuhkan kejelian guru dalam memahami karakter siswa. Oleh sebab itu, perbedaan penerapannya sangat mungkin terjadi.
”ika dalam memvisualisasikan siswa menggambar yang tidak sesuai, guru bisa bertanya lebih jauh mengapa siswa membuat gambar itu. Ini juga akan menjadi masukan bagi guru mengenai apa yang dibayangkan siswa,” tuturnya.
Onde-onde versus klepon
Di kelas pengimbasan lainnya, pemakaian diksi onde-onde dan klepon memantik diskusi dalam pelatihan strategi membuat hubungan pertanyaan dengan jawaban. Para guru diminta merangkai pertanyaan dengan beberapa tingkat kerumitan dari teks berjudul ”Kue Tradisional Indonesia”.
Semula, kelas ini berjalan tenang. Para peserta sibuk membuat pertanyaan dengan mengidentifikasi jawabannya pada teks tersebut.
Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal bagi Pipin Saputra, guru SDN 6 Rambang. Dalam teks itu disebutkan kue berbentuk bola yang terbuat dari tepung beras ketan dan gula merah dikenal sebagai klepon di Jawa, sementara di Sumatera dinamai onde-onde.
Metode visualisasi membutuhkan kejelian guru dalam memahami karakter siswa. Oleh sebab itu, perbedaan penerapannya sangat mungkin terjadi.
Pipin menuturkan, walaupun hanya persoalan nama kue, hal ini sangat substansial dan bisa memengaruhi jawaban siswa. Sebab, di Muara Enim, kue itu lebih dikenal dengan nama klepon. Meski di daerah Sumatera lainnya disebut sebagai onde-onde.
”Misalnya, guru bikin pertanyaan, kue berbentuk bola berbahan tepung beras ketan dan gula merah disebut apa di Sumatera? Jika mengacu pada teks, jawaban yang benar adalah onde-onde. Namun, dalam kehidupan sehari-sehari, siswa lebih mengenalnya dengan klepon,” tuturnya.
Menurut Pipin, siswa tidak bisa disalahkan jika menjawab klepon. Sebab, hal itu sesuai dengan pengetahuan mereka. Oleh karena itu, ia mengusulkan agar teks pembelajaran disesuaikan dengan pengetahuan umum di lingkungan sekolah masing-masing.
Di kelas pengimbasan fonologi, terjadi diskusi menarik mengenai pembunyian huruf. Keberagaman dialek kesukuan dan daerah asal siswa berpengaruh terhadap pelafalan huruf.
Pipin berharap kelas pengimbasan yang merupakan rangkaian Festival Belajar Kabupaten Muara Enim tersebut dapat berkelanjutan. Dengan begitu, kompetensi guru terus berkembang sehingga meningkatkan capaian pembelajaran.
Keberagaman dialek kesukuan dan daerah asal siswa berpengaruh terhadap pelafalan huruf.
Program ini digagas Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas bekerja sama dengan pemerintah daerah setempat dan Universitas Sriwijaya, serta didukung oleh PT Bukit Asam Tbk. Dalam sekitar setahun terakhir, Gernas Tastaba telah melatih 160-an guru dari sejumlah sekolah. Pelatihan terdiri dari tiga topik utama, yaitu ”Menjadi Pembaca Aktif”, ”Membaca Dasar”, dan ”Membaca Bermakna”.
Kepala Bidang Pembinaan Ketenagaan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Muara Enim Marsip Agustam menuturkan, adu gagasan membuat pelatihan guru itu menjadi lebih bergairah. Jadi, selain menambah pengetahuan, juga melatih guru agar interaktif saat mengajar.
Ketua Dewan Pembina Yayasan Penggerak Indonesia Cerdas Ahmad Rizali mengatakan, daya kritis merupakan salah satu kebutuhan siswa di masa depan. Oleh sebab itu, para guru juga harus mengasahnya sehingga dapat menerapkannya di kelas.
”Bagaimana bisa kolaboratif dan komunikatif kalau tidak kritis. Pembelajaran jangan satu arah. Menjadi guru kritis itu penting,” katanya.
Menurut Rizali, kritik memang tidak selalu benar. Namun, hal itu akan memancing dialektika dan pertarungan gagasan untuk menguji ketajaman pemikiran guru.
”Dari situ diharapkan lahir kreativitas dan gagasan-gagasan baru dalam memajukan pendidikan,” ucapnya.
Saat sumber pengetahuan semakin beragam, kekritisan guru kian diperlukan. Sebagai katalisator pembelajaran, mereka tak cuma bertugas mentransfer ilmu kepada siswa, tetapi juga membuatnya mudah dipahami dan bermakna.