Kebijakan Pengendalian Resistensi Antimikroba Perlu Diperkuat
Kebijakan pengendalian resistensi antimikroba baik sektoral maupun lintas sektor saat ini belum cukup ideal.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sejumlah kebijakan pengendalian resistensi antimikroba telah disusun kementerian dan lembaga, baik secara sektoral maupun lintas sektor. Namun, kebijakan tersebut dinilai masih belum cukup ideal dalam mengendalikan resistensi antimikroba sehingga pelaksanaannya ke depan akan ditinjau, diukur, dan diperkuat kembali.
Hal tersebut mengemuka dalam diskusi grup terfokus bertajuk ”Permasalahan, Tantangan, dan Riset yang Mendukung Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia”, di Jakarta, Kamis (22/6/2023). Diskusi ini bertujuan memaparkan sekaligus merumuskan langkah-langkah, termasuk riset, guna menanggulangi masalah resistensi antimikroba (AMR) di Indonesia.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mendeklarasikanAMRsebagai salah satu dari 10 besar ancaman kesehatan masyarakat global. Tercatat, sekitar 1,27 juta orang di dunia meninggal setiap tahun akibat AMR dan diperkirakan akan terus meningkat.
Koordinator Penanggulangan Kejadian Luar Biasa Wabah dan Kedaruratan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Rama Prima Syahti Fauzi menyampaikan, para pemimpin negara melihat terdapat potensi dan risiko terkait kesehatan di masa mendatang. AMR merupakan salah satu isu kesehatan yang disoroti setelah pandemi akibat zoonosis dan pencemaran bahan makanan (food hazard).
Kebijakan pengendalian AMR baik sektoral maupun lintas sektor yang disusun pada masa pandemi belum cukup ideal karena di saat yang sama masih memikirkan kedaruratan Covid-19.
”Dalam penyusunan kebijakan lintas sektor, kami melihat terdapat lima besar masalah AMR. Pertama, masih terjadi penggunaan antimikroba secara tidak tepat, berlebihan, dan tidak bijak. Kedua, terjadinya AMR berpotensi menggangu tercapainya berbagai program pembangunan nasional bidang pengendalian penyakit dan ketahanan pangan,” ujarnya.
Masalah utama lainnya dari AMR adalah dapat menimbulkan kegagalan pengobatan penyakit infeksi yang berdampak pada peningkatan beban pembiayaan kesehatan masyarakat dan hewan. Di sisi lain, pengendalian AMR masih dilaksanakan secara sektoral dan sampai sekarang masih banyak penjualan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter.
Sejak 2020 sampai saat ini, sejumlah kementerian/lembaga sudah banyak membuat kebijakan di tiap sektor untuk mengendalikan AMR. Beberapa di antaranya adalah Kementerian Kesehatan (7 kebijakan), Kementerian Pertahanan (1 kebijakan), Badan Pengawas Obat dan Makanan (2 kebijakan), Kementerian Pertanian (6 kebijakan), serta Kementerian Kelautan dan Perikanan (6 kebijakan).
Menurut Rama, sidang majelis kesehatan dunia tahun 2015 telah mengamanatkan agar setiap negara memiliki rencana aksi nasional pengendalian AMR. Hal ini kemudian ditindaklanjuti pemerintah dengan mengeluarkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang PMK Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pengendalian Resistensi Antimikroba (RAN-PRA) Tahun 2020-2024.
Meski demikian, Rama menyebut, kebijakan pengendalian AMR baik sektoral maupun lintas sektor yang disusun pada masa pandemi belum cukup ideal karena di saat yang sama masih memikirkan kedaruratan Covid-19. Oleh karena itu, kebijakan lintas sektor yang telah ada saat ini akan mulai ditinjau dan diukur pelaksanaannya pada Agustus 2023.
Selain itu, pengendalian AMR juga memerlukan dukungan riset untuk menemukan tata cara pengobatan, metode diagnostik, dan vaksin baru. Peningkatan bidang riset ini dilakukan melalui pengembangan lima dokumen kerja sama tentang pengendalian AMR dengan organisasi masyarakat sipil, organisasi internasional atau regional, mitra pembangunan, perguruan tinggi atau lembaga riset, dan dunia usaha.
”Khusus untuk BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) perlu mempersiapkan agenda riset dan peluang kerja sama. Ke depan, BRIN juga bisa memosisikan diri pada RAN-PRA periode selanjutnya,” kata Rama.
Riset AMR
Kepala Kelompok Riset Molecular Pathogen Pusat Riset Biologi Molekular Eijkman BRIN Dodi Safari mengatakan, pengurutan keseluruhan genom (whole genome sequencing/WGS) memiliki potensi dalam meningkatkan kemampuan surveilans AMR baik di tingkat nasional maupun global. Pengurutan seluruh genom juga dapat memberikan informasi karakterisasi bakteri patogen mekanisme resistensi, evolusi, dan dinamika populasi patogen.
”Kita bisa menginisiasi dari sekarang untuk membuat data WGS sebagai sampel dan bisa diakses pihak-pihak yang berkepentingan. Hal terpenting adalah bagaimana kita bisa menstimulasi penelitian terkait dengan AMR melalui WGS,” ucapnya.
Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan Anis Karuniawati menyatakan, upaya pengendalian sangat penting karena antimikroba adalah kelompok obat dengan sistem target kerja yang berbeda dibandingkan dengan obat-obatan lain. Antimikroba merupakan obat yang ditargetkan kepada makhluk hidup lain yang berada di tubuh manusia, sementara target untuk obat-obatan lain banyak ditujukan pada sel.
”Kita harus memikirkan pencegahan dan pengendalian infeksi agar tidak menularkan ke pasien lain ataupun lingkungan rumah sakit. Upaya ini memang tidak mudah, tetapi inilah yang harus dikerjakan untuk mengatasi resistensi, khususnya di rumah sakit,” ujar Anis yang juga pengajar di Departemen Mikrobiologi Klinik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.