Ikhtiar Memperjuangkan Hak Cipta
Adanya hak moral dan ekonomi dalam suatu karya cipta kerap menjadi obyek sengketa. Bagaimana cara efektif untuk melindungi hak tersebut?
Hak cipta mewujud dalam setiap karya eksklusif di bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memberi kepastian pengelolaan hak moral dan ekonomi pemilik atau pemegang karya cipta untuk menjamin kesejahteraannya, serta menyelesaikan sengketa. Sementara itu, ketidakpahaman atau pengetahuan yang setengah-setengah akan aturan ini masih sering melanggengkan sengketa atas nama hak cipta.
Persoalan dua legenda hidup musik Indonesia, Ahmad Dhani, dengan mantan vokalis band-nya, Dewa 19, Once Mekel, beberapa waktu lalu, misalnya, memberi hikmah bagi industri musik di Indonesia. Dhani selaku pencipta lagu menuntut penyelenggara acara yang mengundang Once untuk menyanyikan lagunya agar meminta izin dan membayarkan hak ekonomi atau royalti. Teranyar, ia juga melarang Once sebagai penampil ciptaan untuk menyanyikan lagu-lagu Dewa 19.
Di sisi lain, Once berpandangan berbeda. Ia berpendapat, bisa menyanyikan lagu Dhani tanpa meminta izin terlebih dulu karena telah membayar royalti kepada Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
Kegaduhan ini sempat ditengahi langsung oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna H Laoly di Jakarta, 18 April 2023. Dalam pertemuan itu, Dhani dan Once berdebat mengenai Pasal 9 dan Pasal 23 UU Hak Cipta yang diperbarui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 56 tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik (Kompas.com, 18/4/2023).
Menengok Pasal 23 Ayat 5 UU Hak Cipta, setiap orang dapat menggunakan ciptaan dalam suatu pertunjukan secara komersial tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta. Ini diizinkan dengan syarat penyelenggara acara membayar royalti atau imbalan yang nilainya ditetapkan secara standar oleh LMK kepada pencipta melalui LMK.
Meski demikian, pemegang atau pemilik hak cipta tetap berkuasa atas penyerahan pengelolaan royalti itu ke LMK. Ini merujuk pada Pasal 1 angka 22 juncto Pasal 88 Ayat 2 Huruf b UU Hak Cipta. Adapun di Pasal 9 Ayat 2 UU Hak Cipta, setiap orang yang melaksanakan hak ekonomi, seperti yang Once lakukan dengan menyanyikan lagu Dewa 19 harus mendapat izin pencipta atau pemegang hak cipta.
Sengketa dua musisi itu kian menguatkan pendapat Tim Pengawas Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) tentang pentingnya peningkatan sosialisasi UU Hak Cipta. Pendapat lembaga yang bertugas mengawasi badan hukum nirlaba penghimpun dan pendistribusi royalti yang diamanahkan pencipta/pemegang hak cipta itu cukup beralasan.
”Agar semua yang berkepentingan memahami keseluruhan isi dengan benar dan apa adanya bahwa tidak ada pertentangan antarpasal,” kata salah satu anggota Tim Pengawas LMKN, Candra Darusman, saat dihubungi, Rabu (21/6/2023).
Candra berpendapat, dalam kisruh dua musisi ini, hak ekonomi untuk mengumumkan yang dituntut pencipta lagu sudah dipenuhi dengan adanya pembayar royalti, apalagi hak moralnya tidak dilanggar. Pasal 23 Ayat 5 tersebut dapat diposisikan sebagai 'eksepsi' atau pengecualian dalam UU Hak Cipta.
Eksepsi ini membuat hak mengumumkan pencipta direduksi menjadi hak mendapatkan remunerasi. Hak mendapatkan remunerasi atau pembayaran royalti yang sepaket dengan pemberian izin, memudahkan penghimpunan royalti menjalankan hak mengumumkan secara satu pintu.
”Eksepsi dan pengaturan seperti di atas tidaklah aneh dalam UU Hak Cipta untuk memanajemen penghimpunan royalti dan dapat dikonfirmasi oleh otoritas terkait di bawah Kemenkumham. Hanya saja, perlu juga dirumuskan secara sangat seksama mengapa, dan dalam situasi khusus bagaimana, izin perlu dikedepankan terlebih dahulu dalam ’paket’ yang dimaksud tadi,” ujar Candra.
Jika perseteruan tersebut masih terjadi di antara dua musisi itu, ia meminta masalah itu diselesaikan di luar hukum. Salah satunya secara musyawarah dan etika pergaulan antarsesama musisi.
Baca juga: Ahmad Dhani, Once, dan Lembaga Manajemen Kolektif
Penyelesaian Dewan Pers
Mei 2023, gugatan terkait hak cipta juga pernah dilayangkan seorang youtuber kepada Redaksi Kompas TV dan Kompas.com. Youtuber menuntut penggunaan videonya oleh media tersebut untuk pemuatan berita tentang utang Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) yang membengkak Rp 8,5 triliun.
Pemimpin Redaksi Kompas TV Rosianna Silalahi menjelaskan melalui siaran persnya, seluruh materi visual yang digunakan untuk membuat berita tersebut diambil dari akun Youtube resmi PT KCIC. Namun, youtuber itu melalui pengacaranya meminta pembayaran uang senilai Rp 200 juta per video, yang jika ditotal sekitar Rp 1,3 miliar.
Data Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri sejak 2016 hingga Mei 2023 mencatat, kepolisian seluruh Indonesia menangani 349 laporan terkait hak cipta. Jumlah itu menempati urutan kedua pelanggaran hak kekayaan intelektual yang banyak dilaporkan setelah pelanggaran hak merek dengan 725 laporan. Lainnya, ada 46 laporan desain industri, 23 laporan rahasia dagang, dan 21 laporan paten.
Gugatan itu lantas diadukan kedua media ke Dewan Pers. Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengatakan, penyelesaian konflik pemberitaan yang didistribusikan melalui media sosial seharusnya dilakukan melalui Dewan Pers. Hal ini karena pihaknya telah membuat regulasi terkait distribusi berita di era digital. Mereka juga dapat menyelesaikan pengaduan masyarakat atas kasus terkait pemberitaan seperti diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers (Kompas.id, 15/5/2023). Sementara itu, perihal gugatan ini, pihak KCIC tidak juga memberikan klarifikasi.
Koordinator Penindakan dan Pemantauan Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum dan HAM, Ahmad Rifadi, menjelaskan, gugatan atau pemidanaan merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana hak cipta. UU Hak Cipta pun mensyaratkan agar mediasi ditempuh terlebih dahulu oleh para pihak sebelum melakukan tuntutan pidana. Ini dikecualikan dalam kasus pembajakan.
”Semangat penyelesaian sengketa melalui mediasi ini merupakan cara untuk mencapai win-win solution kedua belah pihak sehingga dapat memulihkan keadaan dan kerugian yang dialami,” katanya saat dihubungi terpisah.
Mediasi memerlukan proses tersendiri di luar penegakan hukum. Kedua belah pihak harus menyamakan visi agar bisa mencapai kesepakatan damai tanpa harus menempuh jalur hukum pidana.
Baca juga: Hak Cipta dan Kebebasan Berkarya di AI
Penanganan hukum
Jalur hukum atau peradilan bisa menjadi penyelamat atas terjadinya pelanggaran hak cipta jika telah melampaui batas. Pencipta atau pemegang hak cipta dapat melaporkan pelanggaran melalui jalur hukum pidana dan perdata.
”Ada pidana dan perdata, dilaporkan ke salah satu boleh, bersamaan boleh. Pencipta atau pemegang hak cipta bisa juga memakai penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau alternative dispute resolution (ADR), misalnya melalui arbitrase atau mediasi, negosiasi, dan sebagainya sepanjang masih diatur UU Hak Cipta,” jelas advokat dan Konsultan Hak Kekayaan Intelektual Managing Partner Sheyoputra Law Office, Donny A Sheyoputra.
Jalur pidana dinilai paling baik untuk dipilih jika mediasi tidak membuahkan kesepakatan atau pelanggaran hak cipta memiliki bukti yang perlu segera diamankan. Kasus pelanggaran pembajakan perangkat lunak, contohnya. Tindakan penyidikan seperti penyitaan barang dan penangkapan pelaku oleh penegak hukum, dalam hal ini polisi, bisa mencegah penyebarluasan pelanggaran. Sementara itu, gugatan perdata bisa diajukan ke pengadilan niaga untuk mendapatkan ganti rugi hak ekonomi yang timbul setelah adanya pelanggaran hak cipta.
”Kalau mediasi dulu, yang dituduh melanggar hak cipta bisa bersih-bersih barang bukti. Jadi, mediasi atau somasi jangan diletakkan di depan, sebelum lapor ke penyidik kepolisian, tetapi diletakkan setelah proses hukum, seperti penggeledahan dan penyitaan dilakukan,” ujarnya.
Fotografer profesional seperti Yuan Adriles (37), asal Jakarta, baru-baru ini, misalnya, hendak meminta bantuan hukum untuk menangani penggunaan foto karyanya di situs komunitas sebuah portal media daring tanpa izin. Sementara itu, foto aslinya dipublikasikan di situs resmi yang memberi kebijakan bahwa penggunaan karyanya harus melalui izin tertulis.
”Penyalahgunaan karya ini sudah sejak tahun 2020. Saya menegur melalui e-mail, tetapi tidak ditanggapi. Hingga tahun ini foto saya masih digunakan di portal media online itu,” tuturnya.
Gagal menegur pelanggar hak cipta, ia pun coba melaporkannya ke satu lembaga bantuan hukum pers. Namun, lembaga itu hanya dapat memberikan pendampingan ghost lawyer dan memintanya untuk menyelesaikan melalui mediasi di Dewan Pers.
Untuk itu, ia berencana mengajukan gugatan secara arbitrase tanpa pendampingan pengacara. Ini dimungkinkan dalam penanganan gugatan sederhana, sebagaimana diatur dalam Peraturan Majelis Agung Nomor Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Cara Gugatan Sederhana.
”Saya tentunya akan mengambil langkah hukum melalui arbitrase untuk menyelesaikan sengketa ini lewat gugatan hak ekonomi. Nanti biar pengadilan yang tentukan berapa besarannya. Saya mungkin juga akan ajukan melalui hukum pidana setelah putusan arbitrase keluar,” katanya.
Baca juga: Pelanggaran Hak Cipta Kian Mudah Terjadi
Data Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri sejak 2016 hingga Mei 2023 mencatat, kepolisian seluruh Indonesia menangani 349 laporan terkait hak cipta. Jumlah itu menempati urutan kedua pelanggaran hak kekayaan intelektual (HKI) yang banyak dilaporkan setelah pelanggaran hak merek dengan 725 laporan. Lainnya, ada 46 laporan desain industri, 23 laporan rahasia dagang, dan 21 laporan paten.
Terkait penyelesaiannya, mediasi banyak ditempuh pelapor dan terlapor dalam penanganan pidana pelanggaran HKI. Pilihan ini menjadi salah satu alasan penghentian penyidikan (SP3) pelanggaran HKI. Berdasarkan data yang sama, dari total 1.167 laporan pelanggaran HKI ke polisi sejak 2016, sebanyak 709 laporan (60,7 persen) selesai di polisi.
Pembuktian
Dalam menghadapi sengketa hak cipta, pencipta atau pemegang hak cipta selayaknya menunjukkan bukti yang kuat untuk mempertahankan haknya. Selvie Sinaga, pengajar Hak Kekayaan Intelektual Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya, mengatakan, pembuktian hak cipta kerap menjadi tantangan saat dihadapkan pada saat adanya sengketa.
”Menurut dalil perdata kita, siapa yang menggugat, dia yang perlu membuktikan. Untuk itu, pencipta perlu mendokumentasikan karya cipta yang merupakan bukti dia penciptanya. Kalau misalnya dia pencipta lagu, bisa difoto barcode yang ada tanggal dan sebagainya,” jelasnya.
Pencatatan hak cipta untuk mendapatkan sertifikat khusus, menurut dia, juga bisa jadi alat pendukung pembuktian. Meski tidak diwajibkan, negara melalui DJKI Kemenkumham dapat mengeluarkan Sertifikat Pencatatan Hak Cipta sebagai kedudukan hukum dalam membuat laporan pengaduan. Sertifikat ini setara dengan pendaftaran HKI lainnya.
Bagaimanapun, pemahaman akan hak cipta dan kebijakannya penting dimiliki setiap orang agar hak terkait dapat optimal dimanfaatkan dan mendukung kesejahteraan penciptanya. Pada saat bersama, negara perlu memberikan perlindungan yang optimal bagi para pencipta atau pemegang hak cipta.
”Memang ada orang yang menciptakan karya tanpa memikirkan unsur komersialnya. Kalau sekarang hak cipta sudah dikomersialisasikan dengan begitu besarnya sehingga tidak adil jika pencipta tidak menikmati hasil dari karya cipta. Kreativitas bisa mati, orang tidak mau mencipta lagi karena tidak ada imbalan atau tidak merasa dilindungi,” jarnya.